Seusai Om Jo mengakhiri ceritanya, aku masih bergeming. Fakta yang ia ceritakan sukses mencampuradukkan perasaanku. Di satu sisi aku merasa senang karena dugaanku bahwa Gavin tidak bersalah ternyata benar. Namun, di sisi lain, aku merasa sangat bersalah pada cowok itu. Selama ini dia pasti berada di posisi yang sulit. Seharusnya aku tidak memaksakan kehendakku padanya. Seharusnya aku tidak meninggalkannya secara perlahan.
Tiba-tiba aku menyadari ada yang salah dengan pemikiranku selama ini. Bukan Gavin yang menghilang. Akulah yang membuatnya pergi. Kalau saja aku tak mencampakkan chatnya dan pura-pura sibuk ketika ia menelepon, mungkin kami masih terhubung. Penyesalan lagi-lagi terulang dalam hidupku.
"Keira, Om sudah nggak punya keberanian untuk meminta maaf. Sudah terlalu banyak kesalahan yang Om lakukan sama kamu dan keluargamu. Om nggak pantas untuk dimaafkan."
Kugigit bibir bawahku seraya menyugar rambutku, sedikit frustrasi. Kutatap bola mata Om Jo dalam-dalam. "Keira udah maafin Om."
Belajar dari pengalamanku, aku tidak ingin lagi menyimpan dendam. Kemarahan dan kebencianku hanya akan membuat segalanya semakin buruk. Sejauh ini, memaafkan adalah hal terbijak.
Aku tersenyum getir. "Semoga Gavin juga mau maafin aku karna aku udah salah sangka ke dia."
Om Jo menatapku sedih. "Maaf, Om baru punya keberanian buat ngomong sekarang. Sebenarnya Om sudah berusaha mencari cara agar kamu nggak meninggalkan Gavin. Om sengaja memberi tahumu soal masalah perusahaan bukan hanya untuk mencegahmu pergi dari ayahmu, tapi juga dari Gavin. Dan dulu waktu kamu pengen pindah ke Bogor, Om sengaja nasihatin kamu untuk nggak meninggalkan orang-orang yang mencintaimu supaya kamu berubah pikiran. Supaya kamu tetap di Jakarta sama Gavin."
Kupejamkan mataku sebentar, merenungkan kalimat Om Jo. Tubuh dan pikiranku mendadak terasa lelah. Setelah menarik napas, aku bangkit dari kursiku. "Makasih Om atas makan malamnya. Aku mau istirahat."
Sebelum sempat melangkah lebih jauh, Om Jo memanggilku.
"Ini," ia menyodorkan kartu nama Gavin yang kutinggalkan di atas meja. "Semuanya masih bisa diperbaiki."
Aku menerima kartu nama itu, lalu tersenyum pada Om Jo. "Makasih, Om."
Setelah meninggalkan restoran, bukannya langsung naik ke kamarku, aku justru menuju ke kolam renang dan meletakkan pantatku di kursi pantai. Kupeluk lututku erat ketika angin malam menusuk tubuhku. Aneh! Seharusnya dinginnya malam membuatku meringkuk di atas kasur. Namun, yang kulakukan justru berdiam diri di sini sambil menatap air kolam yang tampak bercahaya oleh pantulan lampu.
Kukeluarkan ponselku dari kantong dan kuketikkan chat untuk Rino yang menginap di kamar yang terletak satu lantai di bawahku.
Rino, besok lo pulang duluan, ya. Gue masih ada urusan di Jakarta.
Rencananya, aku akan pulang besok bersama Rino dan segera kembali mengurus pekerjaan. Namun, kartu nama Gavin membuatku bertahan. Kutatap alamat kantor serta nomor ponselnya.
Aku mulai memainkan ponselku. Kutekan angka-angka sesuai dengan yang tertera di kartu nama itu. Sebelum menekan tombol bergambar telepon, keraguan menyusup hatiku. Kuhapus semua angka-angka itu.
"Kei, apa susahnya sih nelpon? Lo kangen kan?" aku mulai bermonolog.
Aku kembali menekan angka-angka yang sama. Kali ini tekadku sudah bulat. Sambil berdoa dan mengatur getaran di dadaku, aku menunggu panggilanku tersambung.
Tak lama kemudian terdengar suara dari ujung sana. "Halo?"
Deg!
Dadaku mulai bergemuruh, aku menahan napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Teen Fiction⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...