Seminggu ini semuanya berjalan lancar. Ujian tengah semester sudah usai. Itu artinya waktu kelulusanku sudah semakin dekat. Ibu juga sudah mulai menjalani terapi bersama perawat barunya. Awalnya, aku mengira Ibu akan bertanya dari mana aku mendapat uang untuk menyewa perawat itu. Namun, ternyata perkiraanku salah. Ibu tak bertanya apapun. Aku percaya ia hanya ingin sembuh. Oleh karenanya, ia pasti berusaha untuk tidak memikirkan hal lain. Syukurlah, aku tidak perlu menjelaskan tentang Ayah padanya.
Ada satu hal lagi yang mengusik pikiranku. Dan ini tentang Gavin. Seharusnya aku senang karena ia tidak muncul di hadapanku lagi belakangan ini. Namun, aku merasa ada yang salah. Tiga hari yang lalu, tanpa sengaja aku berpapasan dengannya di apotek. Anehnya, ia hanya meliriku sekilas, bibirnya bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Benar-benar seperti orang asing.
Aku menjinjitkan kakiku, sedangkan tanganku terulur ke atas, berusaha meraih minyak goreng yang ada di rak atas. Hanya tersisa satu stok minyak goreng diskon di sana. Sebelum orang lain mengambilnya, aku harus mendapatkannya duluan.
Sebuah tangan tiba-tiba terulur di sampingku. Namun, tak sepertiku yang kesulitan menyentuh minyak goreng itu, tangan seseorang di sampingku ini dengan mudah mengambilnya. Aku menurunkan tanganku.
"Gavin?"
Di sampingku, sudah ada Gavin dengan minyak goreng itu di tangannya. Orang ini sepertinya tak berniat membeli minyak goreng, batinku. Dia pasti hanya ingin membantuku. Aku mengulurkan tanganku.
"Apa?" Gavin menatap heran pada tanganku yang terulur.
"Lo ngambilin minyak itu buat gue kan?" tanyaku balik.
Gavin tertawa. "Ngapain juga gue ambilin buat lo. Ini buat gue, tahu?"
Aku mendecakkan lidah. Seorang pegawai supermarket tiba-tiba melintas di samping kami. Aku segera menghampirinya dan menanyakan apakah masih ada stok minyak goreng diskon. Sayangnya, ia menggeleng.
Gavin tertawa lagi melihat wajah cemberutku. "Kalau lo mau minyak goreng ini, lo harus nemenin gue makan."
Sebelah alisku terangkat. "Ya udah, mending lo ambil aja deh minyaknya." Tak mau berdebat atau pun berurusan dengannya, aku pun memilih berjalan ke kasir.
"Totalnya seratus dua puluh ribu," ujar perempuan penjaga kasir.
Aku merogoh tasku. Tunggu dulu... Kenapa aku tidak bisa menemukan dompetku? Sambil menahan malu, aku mengangkat wajahku.
"Maaf, Mbak, dompetku ketinggalan. Aku nggak jadi beli." Aku menggigit bibir.
"Mbak, tolong dihitung jadi satu sama punya saya ya."
Suara yang tak asing itu membuatku menoleh. Aku mengamati bagaimana Gavin membayar belanjaanku dan tanpa menungguku mengucap terimakasih, ia berjalan melewatiku. Aku segera mengejarnya.
"Gavin!" panggilku sehingga ia pun menoleh.
"Ya?"
Aku menjulurkan ponselku. "Tolong tulis nomor rekening lo di note, biar nanti gue transfer."
Gavin mulai memainkan ponselku. Lalu menyodorkannya kembali padaku. "Itu nomornya," ujarnya. "Tapi itu bukan nomor rekening gue. Itu nomor ponsel gue. Kalau lo kangen, telpon aja." Ia mengedipkan sebelah matanya.
Aku membaca deretan nomor yang terpampang di ponselku. Gavin bahkan tak menulisnya di note, ia langsung menyimpannya di kontakku.
"Lo nggak usah main-main, deh. Gue nggak suka punya utang!"Gavin memutar bola matanya, "kalau gitu lo bayar aja. Tapi nggak pake uang. Lo temenin gue makan aja."
"Ta... tapi," kataku terbata.
"Lo mau utang lo lunas kan?"
***
Aku menelan suapan terakhirku dengan tergesa. Setelah membersihkan mulutku dengan tissue, aku membereskan tasku. "Gue udah selesai. Gue cabut duluan, ya."
"Eh, tunggu dulu." Gavin mengangkat tangannya. "Lo sengaja kan makan dicepet-cepetin?" tuduhnya. "Tunggu gue selesai dulu. Oke?"
Aku mendesah. Ya sudahlah tak apa. Toh, dia sudah menolongku tadi. Aku mengamati Gavin yang sedang memotong daging di hadapannya. Huh, pasti dia sengaja makan dengan perlahan. Kalau aku protes, sudah pasti ia akan mengelak maka lebih baik aku diam saja.
"Ah, enaknya." Gavin menyeruput minumannya begitu piringnya sudah bersih tak bersisa.
"Udah selesai kan? Gue pulang dulu. Makasih udah ditraktir." Aku hendak bangkit dari kursiku, tapi Gavin malah memanggilku.
"Lo lupa sesuatu." Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda yang tadi kucari-cari. "Dompet lo, nih."
Mataku langsung berbinar melihat benda itu. "Kok bisa ada di lo sih?"
"Oh, tadi gue ambil," ujarnya tanpa rasa bersalah.
"Apa??" Sungguh, rasanya aku ingin marah. Namun, mengingat ini adalah tempat umum maka kuurungkan niatku itu. "Kapan lo ambil?"
Gavin menopangkan kepalanya di tangan, sedangkan tangan satunya lagi ia gunakan untuk memainkan dompetku. "Lo sih naruh sembarangan. Waktu lo lagi ngobrol sama pegawai masalah perminyakan itu, gue ambil dari keranjang lo."
Aku mengingat kejadian tadi. Benar juga, selama ini aku sering sekali meletakkan dompetku di keranjang. Ya ampun, ternyata aku ceroboh juga. Untung hanya Gavin yang mengambilnya, bukan orang lain.
"Ya, udah. Sini dompetnya!" Aku mengulurkan tanganku.
Bukannya menyerahkan kembali padaku, Gavin justru memukulkan dompetku ke kepalaku. "Lain kali jaga bener-bener." Ia meletakkan dompet itu di hadapanku. Lantas, di luar dugaanku, ia malah mengacak-ngacak rambutku. "Ini pelajaran buat lo, adik kecil."
Aku segera menepis tangannya dari san. "Jangan pegang-pegang!" ujarku sengit. Aku berdiri. "Gue duluan, ya," pamitku.
Kali ini Gavin mengangguk. Setelah berjalan sekitar dua menit, tiba-tiba Gavin sudah berjalan di sampingku. "Ngapain lo ngikutin gue?" tanyaku tanpa memandang ke arahnya.
"Gue cuma mau bilang, habis makan steak-nya tadi, gue jadi pengen makan lagi."
Aku menghentikan langkahku dan menatapnya heran. "Lo belum kenyang? Lo masih mau makan steak?"
Gavin menggelengkan kepalanya. "Bukan, gue nggak mau makan steak lagi."
"Terus?" tanyaku tak acuh.
"Gue jadi pengen makan sama lo lagi."
Wajahku pasti sudah semerah tomat sekarang. Tiba-tiba saja aku jadi salah tingkah. Rasanya aku ingin tertawa, tapi kupaksakan mulutku untuk bungkam. Aku kembali berjalan.
Justru Gavinlah yang sekarang tertawa. "Tahu nggak, selama lo ujian, gue nahan diri buat nggak nemuin lo. Gue pengen lo fokus ke ujian. Lo tahu kan beratnya saat-saat itu?"
Aku mengangkat bahu sambil terus berjalan. Oh, jadi ini alasan kenapa ia nggak menyapaku waktu kami bertemu di apotek?
"Ra, gue mau ke sana dulu." Ia menunjuk arah menuju parkiran. Aku mengangguk. "Jangan lupa telpon gue. Oke?" ujarnya setengah berteriak saat sudah berada beberapa meter dariku.
***
Udah banyak juga ya ternyata chapternya. Yuk, siapa yang nunggu chapter selanjutnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Teen Fiction⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...