Chapter 5 : Friend

118 15 4
                                    

Lima belas menit sudah kududuk di sana. Tempat itu sudah sepi. Berbanding terbalik dengan waktu istirahat tiba. Seorang wanita berdiri tak jauh dariku. Mengusap meja dengan kain putih yang sedikit kotor di tangannya. Kuminum tegukan terakhir dari susu kotak rasa vanilla di genggamanku sebelum akhirnya kutegakkan tubuhku untuk berdiri dan keluar dari ruangan itu.

Segera pulang.

Jalanan benar-benar sepi, hanya ada satu dua murid yang masih berseliweran di sana. Aku sengaja menunggu sepi karena aku tak suka berdesak-desakan di bus dengan murid lain di cuaca sepanas ini. Atau telingaku sakit karena teriakan-teriakan tidak jelas dari mereka.

Aku berhenti di depan zebracross. Menengok kanan dan kiriku memastikan tidak ada kendaraan lagi yang tengah melintas. Setelah kurasa jalanan telah lengang, kembali kulangkahkan kakiku untuk menyeberang.

"AWAS!"

Aku mendengar teriakan itu dan aku juga merasa jika suara itu ditujukan untukku, tapi reflekku terlalu lambat untuk memastikan apa yang terjadi. Genggaman kuat itu menarikku bersamaan dengan bunyi klakson sepeda motor yang melengking memekakkan telinga.

Aku terjatuh di pinggir jalan, begitu juga si penyelamatku. Aku pun meringis menahan sakit di telapak tangan. Lalu saat aku membuka mata dapat kulihat bulu mata hitam milik Fadli yang tebal itu dari jarak sedekat ini. Irisku membola tepat sebelum pandangan kami bertemu.

Dengan cepat kutarik tubuhku menjauh darinya saat menyadari posisiku yang hampir menindihnya jika tangan ini tak cukup kuat untuk menopang tubuhku. Jangan bertanya seperti apa diriku. Mungkin wajahku sudah berkali-kali lipat lebih merah dari saat kejadian perpustakaan kemarin. Kubuang jauh-jauh pemikiranku yang sekarang dan beralih pada Fadli yang menggenggam lengannya kuat-kuat.

"Fadli, kau baik-baik saja?" tanyaku mulai panik. Lengan anak itu terluka karena bergesekan dengan aspal.

"Yeah, sepertinya terluka. Tapi bukan masalah kok," tukasnya dan menatapku sehabis mengamati lukanya. Seketika ekspresinya berubah. Ya, aku tidak merasa aneh dengan itu. Itu karena...

"Maafkan aku, sungguh maafkan aku." Aku merengek dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Hampir menangis. Silahkan katai aku anak cengeng tapi aku benar-benar takut jika berada diposisi ini. Fadli terluka karena menyelamatkanku dan aku akan merasa sangat bersalah jika dia terluka karena itu.

"E-eh, kenapa denganmu? Dan lagi, kau tak perlu minta maaf," katanya sambil mencoba tersenyum. Aku tak bisa membalas senyum itu meski kutahu itu senyum yang benar-benar ditujukan untukku.

Ia lebih dulu bangkit dan mengulurkan telapak tangannya padaku. "Ayo, pulang?" ajaknya. Aku ikut berdiri mengabaikan tangannya yang menawariku bantuan. Ayolah, bahkan lengannya itulah yang terluka. Aku tak akan membuatnya menjadi lebih parah lagi.

"Bagaimana dengan lenganmu? Apa kita harus kembali kesekolah lagi?" tanyaku masih dengan nada kepanikan.

"Aku akan mengobatinya di rumah. Kau tak perlu mengkhawatirkannya."

Aku menelan ludah. Kemudian, "Biarkan aku mengobatimu," pintaku penuh keraguan. Aku hampir tahu apa yang sekarang ada di pikirannya.

"Kau akan kerumahku?" Kedua alisnya bertaut.

Tepat.

Aku juga berfikir Fadli akan mengatakannya tadi. "Ayo kita ke UKS sebentar,” ajakku memperjelas.

"Tidak mau, aku mau pulang," balasnya santai.

"Setidaknya biarkan aku mengobati lukamu." Aku mencoba untuk tetap tenang karena aku mulai kesal. Dia keras kepala.

"Kalau begitu ayo kerumahku, kau bisa mengobatiku di sana."

Dalam hati aku menggeram. "Jangan keras kepala! Mana mungkin aku kerumahmu, baka!" Entah kenapa aku tak bisa mengontrol emosiku. Aku membentaknya dengan mengatakan dia bodoh dalam bahasa asalku yang setengahnya lagi. Aku menutup mulutku cepat. Berharap Fadli tidak menyadarinya.

Ketika irisku yang berapi-api menatapnya ia tengah menutup mulut. Tertawa tertahan sambil memalingkan tubuhnya. "Wibu," celetuknya yang masih dapat kudengar dengan jelas.

Seketika pipiku kembali memanas. Kali ini bercampur dengan kemarahan. Bahkan aku sempat membayangkan beberapa kata kotor yang mungkin ingin kulontarkan padanya. "Berhenti menertawakanku!" Kuangkat tanganku ingin memukulnya namun terhenti saat dia mengaduh kesakitan sambil meremas lengannya tepat di sebelah luka itu.

"Fadli," tegurku. "Sudah kubilang ayo kita kembali sebentar."

Dia merubah ekspresinya. Berhenti kesakitan. Seoalah hal yang baru saja terjadi tak pernah ia rasakan sebelumnya. "Kenapa kau begitu bersikeras ingin mengobatiku? Sudah kubilang aku baik-baik saja, kan?"

Kulipat tanganku di depan dada dan memalingkan pandanganku kearah lain. Berharap dia tidak mengiraku yang aneh-aneh. "Aku hanya tak mau berhutang budi padamu tahu!"

Sepersekian detik ia nampak berfikir sebelum akhirnya berkata, "Kau bisa melakukan sesuatu untukku tanpa harus mengobatiku sekarang. Kau bisa membalasnya dengan itu, kan?"

Aku menatapnya was-was. Takut jika dia punya rencana yang aneh-aneh. "Sesuatu? Apa maksudmu?"

"Jadilah temanku."

~~~TBC~~~

Publikasi pertama [19 November 2017]
Revisi [9 Juli 2019]

Salam hangat
Asano Hime~

Kimi Ga Suki Dakara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang