Chapter 13 : Luka

74 12 4
                                    

Sedikit demi sedikit kubuka kelopak mataku. Terbangun dari tidur panjang. Aku mengerjap. Menyesuaikan cahaya yang masuk di penglihatanku. Putih. Tempat ini tampak menyilaukan. Ini bukan kamarku.

Kemudian, kurasakan tubuhku yang lemas. Kerongkonganku terasa kering. Seperti tak pernah dilewati air selama berminggu minggu. Sakit. Bahkan untuk mengucapkan satu suku katapun terasa sulit karenanya. 

Aku mencoba menggerakkan tanganku. Tapi aku yakin tadi itu masih belum bisa disebut bergerak. Aku mengurungkan niatku. Mendadak tanganku terasa nyeri.

"Kamu di rumah sakit, Erika. Jangan banyak bergerak dulu, lukamu belum sembuh total." Sebuah suara menjawab pertanyaanku yang dari tadi tak bisa terucap oleh lisan. Aku mengenalnya. Bibi Emi, adik dari ibuku. Jadi aku tadi sudah bergerak. Dan sekarang aku berada di rumah sakit. Tunggu, apa? Sedang apa aku di sini?

Pikiranku melayang mencoba mengingat-ingat kejadian apa yang terjadi sebelum ini. Spontan iris mataku membulat, jantungku mulai berpacu tidak normal. Aku mengingatnya.

Hari itu, bus yang kunaiki saat pulang pasca pengembilan rapor mengalami kecelakaan. Aku masih ingat bagaimana kepanikan yang melanda seluruh penumpang saat sopir bus mengatakan jika bus itu tidak bisa berhenti. Pria paruh baya itu juga tak kalah paniknya. Beberapa penumpang menangis dan berdoa untuk keselamatan mereka. Hingga akhirnya bus itu terperosok kejurang. Aku tidak tahu sedalam apa jurangnya, tapi aku tahu itu cukup untuk menggulingkan benda berukuran besar yang kunaiki itu.

Benturan kepalaku di kaca itu terbayang jelas diingatanku. Sakit. Telingaku mulai berdengung dan mataku terasa berat untuk di buka. Sebelum seluruh kesadaranku menghilang aku bisa merasakan tangan hangat yang memelukku.

Ibu! Aku memekik dalam hati. Aku ingat aku tidak sendiri di perjalanan itu. Aku bersama ibuku. Perasaanku memburuk. Apa ibuku baik-baik saja?

"Ibu." Suaraku hampir menghilang. Untunglah bibi masih bisa mendengar suaraku yang hampir menjadi bunyi ultrasonik itu.

Meski aku tidak melihatnya aku tahu bibi sedang membuang nafasnya panjang. Mataku kembali terbuka. Ia tersenyum padaku. Ibumu baik-baik saja. Dia juga sedang melakukan perawatan sama sepertimu.

~*~

Seingatkku ini adalah hari kedua aku bangun dari pingsanku. Aku masih di rumah sakit dan tentu tidak beranjak dari ranjang polos ini. Tubuhku sudah lebih baik dibandingkan kemarin. Aku mulai terbiasa menggerakkannya. Meski jujur setiap gerakanku yang tidak berhati-hati akan berujung nyeri di setiap lukanya.

"Bi, berapa lama aku di sini?"

"Dengan ini sudah tiga hari."

Aku mengangguk kecil. Tiga hari, ya? Berarti aku sudah tidak berangkat sekolah tiga hari? Biarlah, lagipula semester dua sudah berlalu. Mungkin mereka tengah menikmati masa classmeeting sekarang. Oh ya, bukankah aku juga harus ikut menari? Tapi itu mustahil dengan kondisiku yang seperti ini. Kuharap mereka menemukan pengganti untukku.

Kusapu pandang keseluruh ruangan dan berhenti pada nakas di sampingku. Handphoneku tergeletak di sana bersama dengan sebuah kalung dan gelang yang selalu kupakai. Aku bernafas lega. Kedua benda itu tidak hilang.

Mendadak jantungku berdebar. Nyeri. Aku ingin bertemu dengannya. Benar-benar terasa aneh. Belum genap tiga bulan ini aku menyadari perasaanku. Dan aku hampir gila hanya karena aku tidak bertemu dengannya selama dua hari. Ya, dua hari. Karena yang kurasakan adalah dua bukan tiga, jadi aku menganggapnya dua hari.

Aku dapat mendengar suara ketukan pintu di ujung ruangan berlanjut dengan suara knop pintu yang dibuka. Tapi aku masih terdiam. Merasakan sesak hatiku dalam diam. Menikmati keanehan itu tanpa keluhan. Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya.

Kimi Ga Suki Dakara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang