"Erika, Fadli, tolong kembalikan buku cetaknya ke perpustakaan, ya?" Itu suara Pak Miko, yang entah secara kebetulan menjadi wali kelasku dua tahun terakhir ini. Ah, satu lagi. Kurasa aku belum memberitahukannya karena aku juga merasa tidak penting. Tapi aku ingin kalian tahu untuk sekarang.
Dalam pembentukan struktur kelas aku dan Fadli secara disengaja oleh teman dekatku, Dea, ditunjuk sebagai seksi perpustakaan. Dea bilang ia terpaksa. Ia tak ingin mengisi struktur kelas tanpa temannya. Sebenarnya dia juga korban karena ditunjuk sebagai sekretaris kelas. Di hari itu entah apa yang menyenangkan dari tugas ini Fadli tampak sangat bersemangat.
"Hey, kau yang di sana. Bisakah kita selesaikan ini sekarang juga?"
Kalimat teguran dari Fadli mengejutkanku. Ia tampak tidak bersemangat hari ini. Huh, dimana semangatnya dulu ketika mendapatkan tugas itu? Hmm. Lupakan. Aku sendiri juga ingin segera pulang dan tidur. Sepertinya mapel olahraga tadi pagi cukup menguras tenaga. Segera kuangkat tumpukan buku yang lebih sedikit dan berjalan meninggalkan Fadli.
Sesampainya di depan perpustakaan pintu itu terkunci. Heh, apa? Kenapa pintunya sudah ditutup. Aku baru saja akan bertanya pada Fadli jika saja aku tidak menyadari ketidakhadirannya di belakangku. Sejurus kemudian sosoknya muncul dari lorong yang berbelok. Lama sekali.
"Tahan sebentar," pintanya padaku dengan mendadak. Aku sedikit bingung hingga tumpukan buku yang ia berikan padaku menjawab kebingungan itu.
"Tung--, apa yang--" semua kalimatku tidak dapat kuselesaikan. Apa dia gila? Membiarkan seorang gadis mengangkatnya sendirian? Ugh, sungguh menyebalkan!
"Kau tidak bisa membukanya tanpa sebuah kunci." Aku tidak menggubrisnya saat ia bicara. Disamping itu, apa dia tidak bisa lebih cepat lagi? Semua buku ini membuat tanganku nyaris patah.
Aku bernafas lega saat akhirnya dia mengambil kembali bagiannya. Ia masuk mendahuluiku dan mulai menyusun satu persatu buku di dalam rak. Ketika kami telah menyusun beberapa buku di rak, ia membuka suara memecah keheningan.
"Hei, besok minggu ada acara?"
Langsung saja aku teringat percakapanku dengannya minggu lalu. Ketika dia mengatakan jika dia menyukaiku. Aku tidak langsung menjawabnya dan malah melupakan moment itu hingga saat ini. Aku terlalu terkejut kala itu.
"Erika, kau mendengarku?" tanyanya lagi tanpa menatap si lawan bicara. Aku terkesiap dan hampir menjatuhkan buku-bukuku.
"Ah, ya, kurasa… tidak." Sebenarnya aku mendengarnya.
"Kau tahu taman hiburan yang baru saja dibuka itu, kan? Mau pergi denganku? Aku membeli ticket lebih."
Aku mengendikkan bahuku. "Itu ide yang bagus. Kurasa Dea juga akan menyetujuinya."
Kami masih sibuk menyusun buku di tempatnya. Tiga puluh tiga buku ternyata bukan jumlah yang sedikit. Ditambah beberapa tempat yang agak tinggi membuat kami memakan waktu hanya dengan menyusunnya saja.
"Tidak," sanggahnya cepat. "Hanya kita. Aku dan juga dirimu."
Beberapa saat aku mematung. Tubuhku memanas. Jantungku kembali berpacu dengan cepat. Seolah aku baru saja sampai di garis finish setelah menang di perlombaan lari marathon. Kuberanikan diriku untuk menatap matanya. Iris mata itu terlihat bersungguh-sungguh. Atau mungkin ini raut muka terserius dari wajah Fadli.
~*~
Dan pagi hari ini di hari minggu. Aku berteriak kencang di balik bantal. Mendadak diriku mendapat serangan panik akut!
AAAAAAAAGGGHHH! Harusnya kutolak saja tawaran itu! Beberapa kali aku menggulingkan tubuhku ke kanan dan ke kiri. Merasa frustasi! "Ugh! Bodohnya diriku! Aku ingin mati saja," rengekku ketika aku bangkit dari ranjang.
Iris mataku terbuka dan kudapati pakaianku yang berserakan setelah aku menyapu pandang keseluruh ruangan. Aku kembali menghela napas pasrah. Sayangnya aku sudah terlanjur berjanji. Entah apa yang merasuki diriku saat itu hingga aku memutuskan untuk menerima tawarannya.
~*~
Ceklek
Suara pintu yang tertutup makin membuatku gugup saja. Seakan semua itu akan semakin mendorong dan membawaku padanya. Aku sama sekali tidak siap dalam hal mental. Ah, sejak kapan aku menjadi seperti ini. Mungkinkah kalimatnya yang telah merubah diriku? Apa sebenarnya kekuatan yang dimilikinya untuk melakukan itu? Aku yakin dia bukan penyihir dengan ribuan mantra.
Tapi... ah, sudahlah.
Kakiku terhenti tepat setelah beberapa langkah menjauh dari pintu pagar rumah. Dress biru yang kukenakan melambai tertiup angin. Laki-laki dengan jaket hitam dan kaus putih itu berdiri bersandar di pagar dinding pembatas milik rumah tetanggaku. Sepatu kets yang didominasi dengan warna putih sesekali menendang kerikil di dekatnya.
Ia berpaling kala menyadari kehadiranku. Senyuman manis tersungging di bibirnya. Mempercerah langit tanpa awan di hari itu.
"Apa yang kau lakukan disini? Kau bilang--"
"Kau lama sekali. Aku hanya memutuskan untuk menjemputmu," potongnya tanpa rasa bersalah.
Alisku tertaut. Kuangkat tangan kiriku untuk memastikan waktu yang tertera di sana. Aku yakin aku masih punya waktu lima belas menit sebelum waktu yang kami tentukan untuk bertemu. Lantas aku menatapnya tajam."Fadli, sejak kapan kau disini?" tanyaku serius. Aku punya firasat dia sudah menungguku lama. Waraskah dia?
"Baru saja."
Good. Dia bilang aku sangat lama, tapi dia juga bilang jika dia baru saja datang. Sekarang aku bisa melihatnya salah tingkah. Apa dia sangat menantikan ini? Hingga membuatnya bertingkah konyol? Ah, seperti bukan dirinya saja. Aku mulai menyesal kenapa aku terlalu gugup hanya karena akan menemui orang ini?
"Baiklah aku tidak terlalu peduli kapan kau datang. Lebih baik kita berangkat sekarang."
~~~TBC~~~
Publikasi pertama [8 Januari 2018]
Revisi [20 Juli 2019]Salam hangat
Asano Hime~
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...