Dan berakhirlah aku dengannya di sini. Pintu gerbang besi dengan gaya khas dunia fantasi menjulang tinggi sekitar empat meter. Di kejauhan dapat kudengar teriakan-teriakan histeris dari beberapa wahana yang cukup menantang adrenalin.
Aku menelan susah salivaku. Bahkan aku baru ingat jika aku takut ketinggian. Kenapa aku bisa melupakan hal sepenting itu? Jeritku dalam hati. Pikiranku mulai menjelajah waktu. Mengingat bagaimana diriku saat duduk di bangku sekolah dasar, aku langsung masuk angin setelah menaiki ayunan kapal. Ayunan raksasa itu seperti mencabut jantungku saat aku pertama kali menaikinya. Aku hanya berharap aku tidak akan jadi seperti dulu lagi.
"Erika, kau baik-baik saja?" Teguran itu menyadarkanku.
"Ah, ya, aku baik-baik saja," jawabku gelagapan. Huh? Bahkan aku sampai gagap karena terlalu gugupnya. Tapi percayalah kegugupanku terasa berbeda dengan yang sebelumnya.
"Kau bisa memberitahuku jika tubuhmu sakit."
"Sungguh, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku."
Ia mengangguk kecil tanda mengerti. "Kalau begitu mau naik itu?" tunjuknya pada wahana mirip kereta yang melaju di rel yang meliuk-liuk. Aku hampir tidak bisa menyebutnya melaju. Melesat adalah kata yang lebih tepat. Rollercoaster. Aku bergidik membayangkannya. Tapi, harga diriku dipertaruhkan disini. Aku harus menerima ajakannya.
Dapat kurasakan tanganku yang dingin mulai terasa berair. Aku berkeringat dingin. Kutatap sejenak lintasan mengerikan di depan mataku. Kembali aku bergidik ngeri. Mataku terpejam. Mencoba mencari ketenangan di sana.
"Erika, kau takut ya?" Itu suara Fadli. Ia duduk tepat di sampingku.
Aku terkesiap. "Eh? Apa maksudmu? Apa yang perlu kutakutkan dari kereta anak-anak ini?" jawabku lantas tertawa seolah semua baik-baik saja. Ah, bodoh sekali. Ini akan semakin memperburuk suasana jika sampai dia tahu aku tengah ketakutan.
Dia mengangguk lagi. Dan setelah wahana itu mulai meluncur aku nyaris tak bisa merasakan nyawa di tubuhku.
~*~
Sekujur tubuhku terasa lemas. Kududukkan tubuhku di kursi panjang putih di dekat taman bunga. Aku membiarkan Fadli membeli minuman sendiri dan menunggunya kembali. Kepalaku sedikit terasa pusing.
Rasa dingin menyentuh pipiku. Aku membuka mata dan kudapati Fadli tengah berdiri di depanku sambil menyodorkan sebotol minuman. Aku menghela napasku kasar lalu menyambar botol minuman tadi.
"Sudah kuduga Erika takut ketinggian." Ekspresi itu sangat polos hingga membuatku ingin memukulnya saja.
"Berisik! Kenapa kau tertawa?!" bentakku kalut.
Fadli menahan tawa. "Habisnya melihatmu ketakutan itu sangat menyenangkan.""Ah, terserah!" Segera kuteguk minuman itu hingga setengah bagiannya. "Sial, kuharap tubuhku baik-baik saja," gumamku pada diriku sendiri. Silahkan saja panggil aku payah. Tapi jika sudah berurusan dengan yang namanya ketakutan aku bisa apa?
"Kau mengatakan sesuatu?" Tiba-tiba saja laki-laki itu sudah duduk di sebelahku. Terlalu dekat. Kudorong bahunya untuk menjauh.
"Bukan urusanmu. Diamlah saja!"
"Kenapa kau tidak terus terang saja jika kau takut?"
"Apa yang kau katakan? Aku tidak takut!" bantahku lagi.
"Oh, begitu ya?" Sambil meneguk minuman kalengnya ia terlihat tengah berpikir. "Hey, Erika, temani aku naik tornado," pintanya yang membuat kepalaku kembali berputar. "Naik saja sendiri sana!"
"Nah, kau takut, bukan?"
Menyebalkan! Dia memprovokasiku. Kuteguk habis sisa minumanku tadi dan bangkit dari kursi panjang itu. Fadli menatapku bingung. "Kenapa kau masih saja duduk? Kau bilang kau ingin naik tornado, kan? Aku akan menemanimu!"
![](https://img.wattpad.com/cover/126493862-288-k962239.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...