Setelah itu gosip tentang hubunganku yang putus dengan Kazuki menyebar sangat cepat. Beberapa gadis kegirangan mendengarnya. Bahkan di kelasku pun aku bisa mendengar dengan jelas mereka menyindirku karena hal ini. Jujur aku masih heran, apa diusianya yang keenam belas tahun itu masih kurang baginya untuk bersikap dewasa--maksudku kenapa mereka tidak mengurusi saja masalah mereka sendiri?
Beruntung di bangku kelas dua SMA aku tidak menemukan sepesies semacam itu lagi di kelasku. Atau setidaknya sejauh ini. Namun sebenarnya itu bukan berita yang cukup bagus, karena di tahun ini aku berada di kelas yang sama dengan dua Akiyama.
Tidak terjadi hal apa pun--mungkin. Kami jarang--sangat jarang--berkomunikasi satu sama lain. Dan jika pun kami terpaksa berbicara itu pasti karena kebetulan kami satu kelompok dalam sebuah tugas atau semacamnya.
"Kalian beruntung karena tahun ini aku menjadi wali kelas kalian, karena dalam festival budaya bulan depan aku sudah mengajukan proposal penampilan drama untuk kelas kita!"
Beberapa murid yang kontra menghela napasnya tidak semangat. Kanna-sensei--yang entah bagaimana menjadi wali kelasku sekarang--sepertinya akan merencanakan sesuatu yang aneh. Hidupnya terlalu di penuhi drama.
"Dan untuk skenario aku sudah menyiapkannya tadi malam!" Senyum di sudut bibir Kanna-sensei berbumbu seringai. Atau mungkin hanya imajinasiku. Aku termasuk di tim netral, jadi aku hanya menyimak pidato itu sambil memutar-mutar pensil mekanik diantara jari-jariku.
Sebenarnya aku tidak sepenuhnya menyimak. Malahan sekarang aku sedang sibuk dengan imajinasiku sendiri. Memikirkan bagaimana aku bisa menjadi mangaka profesional setelah lulus nanti.
"Erika!" Risa memanggilku dengan bisikan yang cukup keras. Aku tersadar sebelum akhirnya memutuskan untuk meminta penjelasan pada gadis itu. Dengan dagunya Risa menujuk ke arah depan tempat Kanna-sensei menulis beberapa deret kalimat. Tunggu, itu bukan kalimat. Itu nama murid-murid di kelasku. Dan lagi namaku terpampang di bagian teratas--maksudku, paling atas meski masih ada satu tulisan dengan huruf hiragana di atas namaku. Lalu diikuti dengan satu nama asing setelah anak panah. Tertulis dengan huruf romanji, Guinevere.
Aku yakin pernah mendengar nama itu. Tidak berada dalam jeda yang lama. Irisku melebar ketika tulisan di atas namaku dan tulisan romanji lainnya menjelaskan semuanya. Aku berdiri dan menggebrak meja--bercanda. Aku berdiri reflek dan memprotes keputusan sepihak dari Kanna-sensei.
"Maaf sebelumnya, Sensei. Mengapa Anda menunjuk saya tanpa meminta persetujuan sebelumnya?" Aku sadar suaraku meninggi, dan juga, aku mulai berada di pihak tim kontra.
"Karena kurasa kau cocok memainkannya," balas wanita muda itu santai--dan kelewat santai dari sudut pandangku.
"What? Hanya it--"
"Ya, Akiyama-san?" Kalimatku terpotong ketika Kanna-sensei mengalihkan perhatiannya pada pemuda di sudut ruangan paling belakang. Reflek aku mengikuti arah pandang sensei tanpa mengubah raut masamku. Meski aku ingin sedikit protes karena beliau bisa mengingat nama pemuda itu dengan benar aku tidak melakukannya.
Haruto duduk di sana dan baru saja menurunkan tangan. "Saya keberatan dengan keputusan Anda." Singkat dan jelas. Aku bisa melihat ketidaksenangannya dengan hal ini. Mataku lalu beralih kembali ke papan tulis. Di bawahku dan bawahnya lagi tertulis "Akiyama Haruto = Lancelot".
Hellooow! Jangan membuatku tertawa keras! Dan lebih parah lagi di sebelum nama Haruto aku kembali membaca "Akiyama Kazuki = Arthur".
Kumohon sensei... jangan membuatku dalam posisi ini. Aku melirik ke sudut ruangan yang lain. Kazuki bergeming dan tidak memunculkan tanda-tanda akan memprotes. Sial, apa sih yang dipikirkan sensei maniak drama itu?! Mendadak separuh tubuhku terasa kebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Roman pour Adolescents"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...