Pernah dengar siklus anak SMP? Tidak apa-apa jika belum pernah mendengarnya, lagipula aku baru saja menemukan kata itu di kepalaku. Jika sudah pernah, aku juga tidak mau menyangkal, karena kata itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Aku menyebutnya siklus anak SMP karena menurutku ini terjadi di setiap tahun.
Dalam siklus ini kelas tahun pertama umumnya akan berisi anak-anak yang rajin, pendiam, dan polos. Di tingkat kedua mereka mulai berubah karena sudah merasa jadi senior. Biasanya sifat nakal mereka baru puncak-puncaknya. Lalu di tahun terakhir kenakalan mereka mulai berkurang. Singkatnya tobat karena mendekati ujian.
Aku sendiri sedang berada di tingkat kedua. Dan, ya, aku tidak menyangkal perubahan yang ada dalam diriku. Aku mulai berani berpacaran dan yang paling penting aku sudah berani membusungkan dadaku di depan junior bahkan senior. Wah, sudah mulai nakal ternyata.
Sebagai contoh, kini aku sedang duduk melipat tangan dan menyilangkan kakiku dengan angkuhnya di depan beberapa siswi yang menemuiku di dalam kelas.
Tidak tanggung-tanggung, mereka mendatangi kelasku dengan percaya diri. Mengabaikan beberapa teman kelasku yang belum pulang. Hmmm. Ini sudah yang ketiga kalinya di bulan ini. Dan semua wajah itu terlihat asing di mataku. Berarti mereka bukan yang kemarin.
Aku sudah menebak akar masalahnya. Pasti sama dengan yang kemarin.
"Jadi, hal membosankan apa yang membuat kalian menemuiku?" tanyaku mencoba berbasa-basi. Lantaran ketiga makhluk itu terus menatapku dengan aura membunuh. Sebenarnya itu sedikit membuatku gugup.
"Apa yang kau lakukan pada Fadli kami?" tanya si surai ikal dengan penuh penekanan.
Ugh! Tatapan angkuhku seketika berubah menjadi kerutan di kening. Aku cukup kesal mendengar pengakuan kepemilikan Fadli dari mereka. Memangnya ikatan apa yang sudah mereka buat hingga sanggup menyebut Fadli sebagai miliknya? Bahkan aku tidak bisa menyebut Fadli sebagai milikku meski kami berpacaran.
"Milikmu? Apa kau ibunya? " tanyaku balik, sok polos.
"Jangan bercanda! Bukan hanya karena darahmu campuran, sedikit pintar, dan tenar di kalangan laki-laki kau bisa merebut Fadli dari kami! " Gadis di sebelah kirinya menyahut. Matanya berapi-api.
Aku melirik sekilas pada lengan kanannya. Oh, pantas saja dramatisnya minta ampun. Dia satu angkatan denganku. Dari sudut pandangku aku menyimpulkan dia sedang berada pada tahap kenakalan puncaknya. "Jadi?" kini aku mulai tenang.
"Jadi?" Dia bergumam pelan sekali hingga aku hampir tidak mendengar suaranya.
"Apa hanya itu yang ingin kalian katakan?"
Mereka jelas tersentak meski sudah mencoba menutupinya. Mereka terdiam sedikit lama. Aku pun tersenyum dan meluruskan kakiku yang masih menyilang. "Jika hanya itu bisakah aku pulang sekarang? " Aku tak perlu mendapat izin dari mereka untuk segera pergi, jadi aku beranjak dari sana dan mengabaikannya.
"Tunggu dulu! Urusan kita belum selesai!" kini gadis ketiga yang mengambil perannya.
"Benarkah? Memangnya ada apa lagi?" Aku yang hampir menjangkau pintu memutar tubuh untuk menatap mereka.
"Ka--"
"Aku tidak tahu siapa dan apa yang telah dia lakukan supaya kalian berbuat seperti ini. Tapi aku yakin kalian akan lebih baik jika menjadi diri kalian sendiri."
Aku memotong kalimatnya. Ini hanya pendapatku, tapi kurasa mereka tidak semata-mata berinisiatif sendiri. Mungkin ada semacam provokator atau diktator yang membuat mereka berakhir melakukannya.
Setelah itu aku berlalu meninggalkan mereka. Percayalah, yang tadi itu hanya alasan yang kubuat untuk lari. Berurusan dengan mereka itu membosankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Fiksi Remaja"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...