Chapter 14

68 11 0
                                    

Setelah mendengar kabar itu aku menolak mendatangi makam ibuku. Beberapa kali aku pingsan setelah menangis menjerit-jerit bak orang gila. Itu berlangsung kira-kira tiga hari. Hingga aku mulai berfikir jika tangisku tidaklah berguna.

Di samping itu aku memang tidak tahu diri. Aku mendiamkan dua orang yang selama ini merawatku dan bergantian menjagaku di rumah sakit. Selama dua hari terakhir setelah aku lumayan tenang aku mengunci diriku. Tak ada yang berhasil membuatku bicara.

Kutatap jendela dengan sinar mentari yang redup. Awan kelabu sedikit menutupinya. Hening, tak ada seorang pun pagi ini di ruang perawatanku. Irisku beralih, menatap benda berbentuk balok yang berdiri di atas nakas. Sekotak susu coklat itu membuatku haus. Aku ingin meminumnya.

Kuulurkan tanganku untuk menggapainya. Alisku berkerut. Sejauh inikah jarak nakas dengan ranjangku? Atau memang tanganku yang pendek? Sebelum aku menemukan alasan kenapa aku tidak bisa menjangkau benda itu seseorang mengambilnya dan menyerahkannya padaku.

Heh? Sejak kapan dia masuk ke dalam ruangku? Aku bahkan tidak mendengar suara knop pintu yang dibuka. "Hai', douzo," katanya. Tunggu, orang asing? Lantas aku menatap dirinya.
_________________________________________

Douzo = silahkan
_________________________________________

Pria yang hampir seumuran dengan paman Bima itu tersenyum padaku. Kelopak matanya sedikit sipit dengan warna kulitnya yang tampak putih. Lebih putih dari punyaku. Dia bukan orang melayu. Aku gelagapan. Tidak pernah berhadapan dengan orang asing sebelumnya. Ragu-ragu aku mengambil kotak itu.

"Maaf, Anda siapa?"

AAAAGGHHH! Seketika aku berteriak pada diriku sendiri. Tentu hanya aku yang dapat mendengarnya. Aku lupa dia orang asing. Kenapa aku bertanya dengan bahasa Indonesia?!

Bukannya menjawab pria itu malah tertawa kecil dan mengusap pucuk kepalaku. Sudah kuduga dia tidak mengerti dengan yang kukatakan! Bodohnya diriku! Tapi, telapak tangannya yang lebar terasa nyaman di atas kepalaku. Aku merasa tidak asing dengan dirinya. Ia lantas duduk setelah puas mengacak-acak rambutku.

"Bagaimana keadaanmu?"

Heh? Tunggu, dia bisa bicara dalam bahasa Indonesia? Tidak tahu harus menjawab apa aku mengangguk kecil. Dengan sedikit tidak nyaman aku memaksakan diriku untuk bertingkah biasa. Dia tidak berbicara lagi. Hanya tersenyum kecil dan mengamatiku menghabiskan sekotak susu coklat tadi.

Suara knop pintu memecah keheningan di antara kami. Aku menoleh dan mendapati paman Bima berdiri di ambang pintu. Ia tampak tidak terkejut dengan kehadiran orang asing di sebelahku ini. Bahkan ia tidak berniat untuk mendekatiku. Itu membuatku merasa bersalah.

"Erika, dokter bilang kau sudah boleh pulang setelah mereka memeriksa keadaanmu. Aku hanya ingin bilang itu. Maaf mengganggu waktumu." Ia baru akan beranjak pergi sebelum akhirnya panggilan dariku membuatnya mengurungkan niat.

"Terima kasih, Paman. Maaf, merepotkan kalian."

Aku sedikit lega ketika Paman Bima tersenyum. "Apa maksudmu? Sudah menjadi kewajibanku untuk menjagamu, kan?" jawabnya.

Aku tersenyum cangggung membalasnya mengingat sikap egoisku kemarin yang malah memperburuk suasana. Ia kembali berbalik. "Ah, dan untukmu, kuharap kau bisa menjaganya dengan baik," pesannya sebelum ia melangkah pergi.

Aku tidak terlalu mengerti. Apa Paman Bima sedang berbicara padaku? Kurasa bukan. Tapi jika paman berbicara dengan pria ini aku tidak yakin. Memangnya siapa pria ini?

"Mau jalan-jalan keluar?" tawaran itu mengejutkanku. Aku mulai was-was jika pria ini adalah orang jahat. Tapi jika dia orang jahat bukankah Paman Bima seharusnya tidak meninggalkanku sendirian dengannya?

"Tidak apa-apa, aku tidak memiliki niat buruk padamu." Dia tersenyum di antara jeda singkat itu. "Aku hanya ingin berbicara lebih banyak lagi denganmu."

Ragu-ragu aku menerima tawarannya. Pria itu mengambilkan satu tongkat untukku dan menuntunku berjalan keluar. Ia mengajakku duduk di kursi taman. Taman yang tidak terlalu indah karena hanya ada sedikit bunga yang mekar.

"Cuacanya cukup cerah, ya?"

Aku mendongak. Menatap langit yang mulai membiru ketika awan mendung menyingkir. Aku hanya mengangguk dan bergumam kecil. Entah sudah berapa kali ia mencoba mencairkan suasana dan berakhir gagal karena diriku. Kalian tentu tahu seberapa buruknya diriku dalam hal basa-basi bukan?

Pria itu tertawa sumbang. Menertawai dirinya sendiri. "Ternyata benar, ini lebih sulit dari yang kubayangkan. Aku bahkan tidak memperkenalkan diriku dengan baik."

Alisku bertaut. Lantas menatap dirinya yang menurutku aneh.

"Maaf, Erika, aku tahu ini mendadak untukmu." Ia menjeda beberapa saat untuk membuang napas dalam-dalam. "Namaku Miyazaki Hiroki."

Aku tersentak bersamaan dengan iris mataku yang melebar. Dapat kurasakan debaran jantungku yang semakin cepat. Tanganku bergetar, mengepal kuat di samping pahaku. Lalu, mataku mulai merabun oleh cairan bening.

"Ayah." Bersamaan dengan kata yang terucap itu air mataku tumpah. Aku menangis. Bibirku terkatup. Disusul dengan punggung tanganku yang mulai mengusap air mata yang membasahi pipiku.

Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Ini sungguh mengejutkan untukku. Ayahku menghilang sepuluh tahun yang lalu, meninggalkanku dengan ibuku yang berusaha keras merawatku sendirian. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat aku bertemu dengannya.

Aku marah, aku takut, aku sedih, aku senang. Aku tidak tahu mana yang paling mendominasi emosiku. Semua itu bercampur keruh dalam hatiku.

"Maafkan aku, aku tahu aku terlalu kejam untuk dirimu."

Aku tidak menjawabnya. Kata maaf tidaklah cukup untuk mengganti sepuluh tahun yang telah berlalu. Aku bisa merasakan tangannya yang merengkuhku. Aku membiarkannya. Dan tangisku semakin menjadi.

~~~TBC~~~

Publikasi pertama [11 Februari 2018]
Revisi [30 Juli 2019]

Salam hangat
Asano Hime~

Kimi Ga Suki Dakara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang