Chapter 17

63 12 0
                                    

Aku berdiri di depan rumahku dengan tanganku membawa sebuah koper berukuran besar.

Kupandang rumah yang penuh kenangan itu sekali lagi. Bayang-bayang diriku ketika aku kecil berkelebat. Seakan aku berada disana saat ini. Berlarian di halaman bersama ibuku yang kewalahan menuruti permainanku.

Aku tersenyum getir. Sayangnya itu hanyalah masa lalu. Hanya kenangan yang tak akan pernah bisa terulang kembali. Jika aku bisa memilih, aku ingin hidup kembali di usia balitaku. Hanya bermain yang ada di pikiranku. Tertawa gembira seakan tak punya masalah sedikit pun dalam hidupku. Menangis di pelukan ibu saat jatuh kehilangan keseimbangan. Tapi itu hanya jika , bukan? Karena pada kenyataannya aku sedang berhadapan dengan konflik di kehidupanku.

Kutarik napas yang terasa berat itu bersamaan dengan kelopak mataku yang terpejam. Aroma debu basah bercampur dengan wangi bunga kanthil, melati, mawar, dan kenanga. Aku ingat harum itu berasal dari gundukan tanah di depan kakiku. Aku tidak lagi menangis, namun aku meremas kuat tangan lebar ayah yang berdiri di sampingku.

"Erika, ayo! Pesawatnya akan segera terbang satu jam lagi!" Teguran dari ayah menarikku kembali dari lamunan. Menyadarkan diriku dari bayangan kelam masa lalu.

"Iya," sahutku dan segera menarik koper untuk masuk kedalam mobil yang mulai meninggalkan rumah.

Pukul tujuh pagi. Dan ini adalah hari minggu. Jalanan tidak terlalu ramai. Itu artinya kami akan sampai di bandara tepat waktu. Langit sungguh cerah setelah semalaman terus menitikkan air matanya. Seakan seluruh masalahnya telah selesai menyisakan senyum sang Surya yang menenangkan hati. Genangan air masih banyak terlihat. Memberi tanda pada makhluk lain jika hujan baru saja melintas di sana.

Mobil itu terus melaju. Meninggalkan semuanya. Semua kenanganku. Kenangan menyenangkan, menyesakkan, juga kehancuran kepercayaanku.

Aku menggelengkan kepala cepat. Lupakan dia. Jangan pedulikan masa lalu kelabu itu, karena masa depan yang cerah pasti tengah menungguku.

~*~

"Apa yang kau pikirkan, Sayang?" Ayah menegurku. Melihat raut murung di wajahku membuatnya khawatir jika putrinya ini masih belum bisa menerima kenyataan tentang kematian sang ibu.

Aku menggeleng, "Tidak ada, aku hanya gugup," jawabku sekenanya. Sebenarnya gugup bukanlah hal yang mendominasi perasaanku. Memang aku gugup karena aku akan tinggal di negeri orang, terlebih dengan perbedaan budaya dan kebiasaan yang akan membuatku mau tak mau harus mengikuti tradisi itu. Juga bahasa disana. Memang tidaklah sulit bagiku untuk mempelajarinya. Karena aku sendiri sudah memimpikan negeri itu sejak lama.

Tapi hatiku tetaplah resah mengingat dirinya. Dia yang telah melukaiku. Bagaimana pun dia adalah laki-laki pertama yang mengisi hatiku. Itu akan sulit bagiku untuk membuang segala kenangan tentang semuanya.

Ayah mengusap pucuk kepalaku, "Kau akan terbiasa," hiburnya yang sama sekali tidak menghiburku.

~*~

Gadis dengan surai sebahu itu terus melangkah. Tatapannya datar meski dalam hatinya berbagai pikiran terus berkecamuk tak beraturan.

Love Coco. Tempat yang kadang ia kunjungi setelah pulang sekolah. Gadis itu masuk kedalamnya. Disapunya pandangan ke seluruh ruangan untuk mencari orang yang memintanya membuat janji pertemuan.

Tak butuh waktu yang lama untuk gadis itu menemukan orang yang dia cari. Maniknya telah menangkap sosok itu. Duduk di sudut ruangan dengan bertopang dagu. Memandang kosong keluar jendela lalu memejamkan mata. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Apapun itu pasti tak akan jauh dengan masalah yang tengah dihadapinya sekarang.

Ngomong-ngomong posenya itu dia jadi terlihat elegant. Mungkin itu yang menjadi salah satu alasan dirinya memiliki banyak penggemar. Ah lupakan itu. Fokus ke titik awal. Gadis itu lantas menghampirinya. Segera saja ia duduk di kursi tepat di hadapan laki-laki tadi. Mengabaikannya yang tidak menyadari kehadiran gadis itu di depannya.

Gadis itu berdehem. Membuat makhluk di hadapannya ini terkejut dan spontan menatapnya. Makhluk itu mengernyitkan kening. "Dea, kau sendiri? Dimana Erika?" Selanjutnya ia bertanya.
"Jangan bilang Erika menolak ajakanmu," tebaknya. Yang tentu jelas salah. Bahkan gadis itu belum mengatakan pertemuan ini pada Erika.

Tak memberi jawaban Dea membuka tas miliknya. Sebuah amplop dikeluarkannya dari tas itu. "Ini titipan dari Erika," katanya.

Masih dengan kerutan di dahi ia menerima kertas itu. "Apa ini? Yang kubutuhkan Erika, bukan surat misterius ini," ia mulai kesal. Dea memutar bola matanya, mengacuhkan protesan dari laki-laki itu.

"Fadli, kau terlalu banyak memprotes. Buka saja! Aku juga tidak tahu."

Menurut, Fadli membukanya. Memahami deretan kalimat singkat yang tertulis rapi di atas lembaran kertas biru langit yang menjadi warna kesukaan si penulis.

Aku pergi,
Jangan mencariku, karna itu mungkin sia-sia

Bibirnya terkatup. Surat itu menusuk hatinya.

"Dea, apa maksudnya ini?"

Gadis yang di panggil Dea mengambil alih kertasnya. Beberapa detik ia berkutat dengan kertas itu lalu mengalihkan pandangannya kembali pada sosok Fadli. Dea berdehem. "Seperti yang kau baca, dia sudah pergi."

"Kemana?"

"Tentu saja ke rumah ayahnya. Hanya itu keluarga yang dia miliki."

"Kau bilang tadi dia sudah pergi, memangnya kapan dia berangkat?"

"Kau lebih tenang dari dugaanku untuk ukuran seseorang yang ditinggal pergi pacarnya," komentar Dea. Gadis itu lantas mengangkat tangan kanannya melirik arloji. "Sekitar tiga jam yang lalu," jawabnya kemudian.

Iris Fadli melebar. "Sungguh? Kenapa dia tidak berpamitan sama sekali?!" tanyanya frustasi. Ini sungguh di luar perkiraannya. Dia akan pergi secepat ini tanpa kabar.

"Dia akan memberitahukannya padamu jika saja kau tidak mencium managermu," balas gadis itu santai.

"Aku tidak menciumnya!" bantahnya cepat. Fadli membuang napasnya kasar. Mendadak kepalanya berdenyut. Ini membebani pikirannya.

~*~

Aku bergumam tak jelas kala mendengar suara samar yang terus memanggil namaku. Lama kelamaan suara itu makin jelas terdengar. "Erika," lalu panggilan terakhirnya berhasil membangunkanku. Saat si pemanggil itu menyadarinya ia mengganti kalimat. "Pesawat akan segera turun. Pasang sabukmu!" perintahnnya.

Aku mengerjap. Masih tidak bisa mencerna ucapan pria di sebelahku ini. "Hn?" gumamku lagi sambil berusaha melebarkan mata.

"Buka matamu, Sayang. Kita hampir mendarat. Jangan lupa kita di pesawat. Oh, dan pasang sabukmu," pesannya.

Dua, tiga detik kemudian kesadaranku sepenuhnya kembali. Segera kupasang sabuk pengaman dan kembali memejamkan mataku hanya untuk sesaat. Aku benar-benar lelah. Mungkin juga suasana hatiku.

~~~TBC~~~

Publikasi pertama [12 Maret 2018]
Revisi [8 Agustus 2019]

Salam hangat
Asano Hime~

Kimi Ga Suki Dakara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang