Dan entah bagaimana semua ini bisa terjadi. Tapi aku akui Fadli benar-benar telah menjadi teman dekatku. Aku jarang menyebut tentang teman dekat. Jadi jika sekarang aku membahasnya itu berarti sesuatu yang luar biasa telah terjadi.
Kebanyakan orang akan cepat bosan ketika bersamaku. Itu terjadi karena mereka bilang aku memiliki sifat yang terlalu tidak peduli. Tapi kurasa itu ada benarnya. Adakah yang menghitung berapa kali aku menyebutkan kata tidak peduli sejauh ini? Tapi aku benar-benar tidak suka mencampuri urusan orang lain. Dan karena itulah hanya sedikit orang yang mau mengajakku bicara. Kebanyakan dari mereka anak laki-laki, karena mungkin mereka tertarik dengan paras campuranku.
Kembali pada Fadli. Jika dipikir-pikir dia memang tidak kenal lelah dengan hal yang membuatku bicara minimal sepuluh kalimat sehari padanya. Entah itu dengan memancing emosiku atau hal-hal tidak penting lainnya. Padahal aku masih ingat benar bagaimana sikap dinginku sering menyambut semangatnya. Hingga berakhir aku merasa kasihan juga mendiamkannya seperti yang lain. Khusus untuk yang tidak kenal lelah, anggap saja.
Bel tanda berakhirnya kagiatan pembelajaran berbunyi. Semua murid bergegas mengemasi buku mereka dan bersiap untuk pulang. Termasuk diriku yang tidak akan membuang kesempatan sekecil apapun untuk menghabiskan waktu dengan hobi-hobiku.
Aku beranjak pergi. Seperti biasa jika laki-laki itu tidak sedang ada kegiatan ekstrakulikuler ia akan berlari menyusulku dan mengajakku pulang bersama. Namun hari ini, sebelum ia sempat menyusulku seseorang terlebih dahulu menghampiriku. Ia mengajakku keluar dari keramaian dan aku tak punya pilihan selain menurutinya.
Bukannya besar kepala, tapi aku sudah bisa menebak isi kepalanya sekarang. Semacam pernyataan cinta. Disaat-saat seperti ini aku ingin Fadli bersamaku supaya aku mudah membuat alasan untuk menolaknya.
"Maukah kau menjadi pacarku?"
Tepat seperti tebakanku. Huh, apa dia gila? Aku bahkan tidak ingat pernah mengenalnya. Sungguh tidak mungkin aku menerima perasaannya itu. Kubuang napasku panjang lantas kembali menatapnya. Berniat memberinya jawaban.
Baru saja kalimatku akan keluar dari bibirku jika saja seseorang tidak menarik tanganku untuk mundur. "Maaf, ya, tapi Erika milikku," akunya pada orang yang menembakku tadi. Dia adalah Fadli. Aku tertolong, tapi tidak untuk jantungku. Dia berdetak keras sekali. Kuharap wajahku tidak terlalu merah supaya mereka tidak menyadarinya.
Setelah laki-laki tadi menjauh--dengan muka masam--kami masih menatap kepergiannya. "Kau suka jadi milikku, ya?" tanyanya sambil mengangkat tangan kami yang masih bertautan. Aku terkesiap. Cepat-cepat kutarik tanganku dari genggaman tangannya.
"Bukan, bodoh!" Meski aku dapat menjawabnya tanpa gugup aku tetap tidak berani menatap matanya. Kuhembuskan nafas lagi dengan jengah.
"Aku hanya berfikir betapa dirimu terlalu percaya diri hingga mengatakan itu pada laki-laki tadi.
Aku yakin kabar itu akan segera menyebar. Kau tahu artinya, bukan?" Dia mengangguk mantap membalasnya. Aku bingung apa yang dipahaminya dari kalimatku tadi, hingga kuputuskan untuk bertanya."Itu artinya kita hanya perlu pacaran sungguhan dan membuat kabar itu menjadi benar." Dan itulah jawabannya.
Aku memukul perutnya sedikit keras. Entah kenapa aku tidak tahan ingin melakukannya. "Kau bodoh sekali, ya?"
Ia meringis menahan sakit. "Dan si bodoh inilah yang telah menolongmu barusan," koreksinya mengingatkan.
Kurapikan dasi dan rok seragamku sebelum akhirnya melangkah pergi. "Yeah, aku tidak bisa memungkiri itu. Sankyuu untuk pertolongan yang tidak kubutuhkan."
_________________________________________
Sankyuu = terima kasih
_________________________________________Beberapa detik kemudian dia sudah berjalan santai di sebelah kananku. "Hey, kau kenal laki-laki tadi?"
"Entahlah, aku hanya merasa familiar."
"Mengejutkan. Kau tidak mengenalnya meski dia seorang ace di klub basket yang sekarang ramai dibicarakan karena turnamennya bulan lalu."
Aku hanya ber-oh-ria. Aku memang pernah mendengar pembicaraan teman-nya tentang pertandingan itu. Tapi kurasa kalian tahu apa yang akan kukatakan jika mendengarnya. Ya, aku tidak peduli.
Aku meliriknya sekilas. Dalam waktu singkat itu aku bisa melihat sudut bibirnya yang terangkat. "Senyummu aneh. Menjijikkan," komentarku.
Fadli terkesiap. Untuk pertamakalinya aku melihatnya terkejut. Heh, cukup menarik. Mungkin kapan-kapan aku akan membuatnya terkejut lagi.
"Erika, hinaanmu tidak tanggung-tanggung, ya?"
Ekspresiku berubah hapir seperti ice, es, atau apalah tadi yang menembakku. Berubah masam. "Huh, jika kau tidak tahan pergilah sana. Seperti yang lainnya," cibirku lalu tersenyum sinis. Tidak hanya ketidakpedulianku pada yang lain, terkadang mulutku juga pedas. Tapi percayalah, aku cukup mengerti dimana aku harus menggunakan mulut pedasku dengan benar.
"Berarti jika aku berbeda kau akan mengizinkanku untuk tetap bersamamu?"
Entah sudah berapa kali aku memutar bola mataku jengah karena dirinya. "Kenapa kau sangat menginginkannya?"
"Erika ga suki dakara."
_________________________________________
Erika ga suki dakara = Karena aku menyukai Erika
_________________________________________Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyilaukan dari biasanya. Indah. Aku ingin waktu melambat agar aku dapat menikmatinya lebih lama lagi.
~~~TBC~~~
Hai, jika kalian menemukan kesalahan dalam penerjemahan kosa kata Jepang, tolong di benarkan, ya? Aku juga masih newbie di sini...
Lagipula metode belajarku hanya dari anime dan google terjemah...Lalu, terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca tulisanku. 🙂
Publikasi pertama [1 Januari 2018]
Revisi [18 Juli 2019]Salam hangat
Asano Hime~
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Novela Juvenil"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...