Empat bulan berlalu sejak saat itu. Sangat disayangkan liburan berakhir begitu cepat. Dan, oh! Mimpi buruk apa yang tengah menghantuiku semalam, hingga kabar buruk ini menimpaku di pagi yang sangat cerah.
Aku senang karena selama empat bulan terakhir ini hari-hariku berjalan normal, tepat seperti yang kuinginkan. Tapi, oh, ayolah..., ini pembagian kelas terburuk yang pernah kualami.
Kutiup poni rambutku kesal. Melempar pandangan dari papan pengumuman sialan itu sebelum akhirnya kulangkahkan kakiku untuk menjauh dari sana. Mengabaikan teman dekatku yang masih fokus pada deretan nama yang tertulis berdasarkan kelasnya. Mungkin sedang mencari nama anak laki-laki yang dia sukai. Entahlah, aku ingin mendinginkan kepalaku dahulu.
Lantas terbayang lelehan ice cream vanilla lengkap dengan topping coklat yang menggoda lidahku. Kuharap air liurku tidak menetes karena angan-anganku barusan. Dan, ya, memang aku pantas bersyukur karena itu tidak terjadi. Sebagai gantinya lamunanku harus buyar saat bahu kiriku bertabrakan dengan seseorang di tengah ramainya lorong menuju papan pengumuman tadi.
"Maaf," ujarku cepat dan berhenti untuk memastikan jika orang yang kutabrak masih hidup dan baik-baik saja. Entah untuk keberapa kalinya sejak empat bulan yang lalu, aku tak bisa menghitung berapa kali mataku telah bertemu dengannya.
Fadli, jika saja aku adalah salah satu murid dari Hogwarts aku pasti telah mengutuknya menjadi sesuatu yang tak dapat mendekatiku. Atau sekedar menatapku. Silahkan anggap aku kejam, selanjutnya orang yang menganggapku kejamlah yang akan kukutuk. Tapi tenang saja, aku masih cukup nalar untuk mengetahui jika itu hanya ada di buku milik J.K. Rowling. Dan tentu aku bukan salah satu tokoh dalam ceritanya, apalagi teman sekelas Harry. Aku hanya tokoh utama di kehidupanku sendiri.
Dia tersenyum canggung. Ah, sungguh menyebalkan. Kupalingkan mataku dari tatapannya dan segera pergi dari sana.
~*~
Aku hampir memekik saat menyadari waktu berjalan begitu cepat. Seingatku aku tak pernah tahu jika waktu punya kaki, bagaimana bisa secepat ini mereka berlalu. Lima menit lagi gerbang sekolah akan di tutup. Aku tak ingin rekor anak baik-baikku ternoda hanya karena aku terlambat masuk sekolah. Dan bukan hanya itu saja yang kutakutkan. Hukuman bagi murid yang terlambat adalah mendapat point lima yang artinya si pelanggar harus memakai rompi bertuliskan 'pelanggar aturan' seharian penuh layaknya kriminal! Harga diriku turun drastis jika itu sampai terjadi.
Dan lagi hari ini adalah kelas pertamaku di kelas delapan. Aku sudah berencana untuk datang lebih awal supaya mendapat tempat duduk yang nyaman. Tapi sepertinya itu hanya menjadi mimpi untukku karena sekarang hanya tinggal beberapa menit lagi gerbang akan di tutup, yang pastinya kelas sudah ramai dengan murid-murid yang akan menjadi teman baruku.
Kulangkahkan kakiku turun dari bus dengan tergesa-gesa. Setengah berlari aku menuju gerbang. Kulirik arloji hitam di tangan kiriku. Masih tersisa waktu sekitar satu menit. Kupercepat lariku dan mencoba mencegah petugas satpam yang akan menutup gerbang setinggi dua setengah meter itu.
"Pak, tunggu Pak!"
Berhasil. Gerakan gerbang itu terhenti, lantas keluar seorang pria dengan usia kepala tiga mencari asal suaraku. Ia mengangkat tangan kirinya untuk melihat waktu yang tertera di arloji. Aku ikut melakukannya dan mendahuluinya berbicara.
"Masih 55 detik, Pak. Jadi saya belum terlambat," kataku dengan senyuman. Dia tampak ragu sebelum akhirnya membolehkanku masuk kedalam sekolah.
Ketika aku sampai dikelas kulihat satu kursi kosong disebelah Dea, teman dekatku. Ah, aku masih beruntung pagi ini. Pikirku.
"Kukira kau tidak berangkat di hari pertama sekolah." Ia menutup buku novelnya.
"Hehehe, sukses," balasku sekenanya. Sebenarnya aku ingin bercerita bagaimana aku tadi bisa tiba tepat waktu, tapi tubuhku masih lelah setelah berlari tadi. Lagipula itu sedikit merepotkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...