Chapter 38

20 4 0
                                    

Waktu kembali berlalu dengan cepat. Tidak ada hal baik atau pun buruk yang sampai mengguncangku di sekolah swasta baru yang ayah pilihkan.

Sementara hubunganku dengan Haruto baru benar-benar pulih setelah kami menginjak kelas tiga di musim semi lalu. Jika tidak ada kegiatan sepulang sekolah dia akan mengajakku bertemu di taman kompleks dekat rumahku atau cafe yang tidak jauh dari sekolahku. Cukup peka untuk tidak membuatku melakukan perjalanan yang menguras energi.

Kami akan bercerita banyak hal tentang kejadian di kehidupan kami saat terpisah atau membandingkan pelajaran yang kami dapat dari sekolah masing-masing.

Yang paling membuatku tertarik adalah ketika dia memperlihatkan sebuah foto kusam yang menampilkan empat balita--dua laki-laki dan dua perempuan--yang tengah berjongkok bermain pasir di sebuah taman. Satu di antara balita itu adalah aku, dua laki-laki itu adalah Akiyama bersaudara dan satu gadis yang lain bernama Ohayashi Rei.

Kami pernah bertemu, karena ayahku dan ayahnya Akiyama adalah teman bisnis sekaligus sahabat karib sejak berada di bangku perkuliahan.

Kemudian dari sana, kami nyaris sama seperti dulu ketika mulai saling menaruh hati. Tapi aku tak pernah tahu apa yang Haruto pikirkan. Apakah hanya aku di sini yang perasaannya kembali ataukah dia juga sama. Dia nyaris menghindari setiap topik yang menyangkut tentang hal itu.

Lalu aku sadar tentang semua yang sudah kulakukan padanya. Pantaskah aku berharap tentang itu?

Tersenyum miris aku berjalan di jalur khusus pejalan kaki sembari menundukkan kepala. Sejurus kemudian handphoneku berdering karena panggilan dari Haruto. Sambil sedikit terheran-heran aku mengangkatnya.

"Halo?"

"Jangan melamun. Kau sadar sudah melewati tempat yang kita janjikan untuk bertemu?"

Aku tersentak dan langsung berbalik. Benar. Bagaimana aku bisa melupakannya? Hari ini dia mengajakku lagi untuk bertemu.

Sembari berjalan cepat aku masuk ke cafe bertema klasik itu dan menemukan si pemuda berkacamata tengah duduk di dekat jendela.

"Hari ini kau ada latihan voli, kan? Kenapa kesini?" tanyaku ketika aku mendudukkan diriku di depannya.

Dengan tersenyum Haruto menjawab, "Sudah kelas tiga, waktunya junior untuk menggantikan senior."

"Sejak kapan pandai membolos?"

"Hanya sekali."

Kutarik cangkir kopinya yang tinggal terisi setengah kemudian meminumnya tanpa permisi.

"Pesan sendiri dong...," protesnya.

Namun aku tidak peduli. Sebenarnya aku juga punya acara sendiri dengan keluargaku saat ini. Karena itu, waktuku juga terbatas. "Jadi, kenapa sampai membolos hanya untuk menemuiku?"

"Tidak ada, " balasnya. "Kuantar pulang, ya? Ada titipan yang harus kuantar ke rumahmu."

Sambil mengerutkan kening aku menghabiskan tegukan terakhir kopi susu milik Haruto dan lantas mengembalikan cangkirnya. "Itu sih kau bisa mengantarnya tanpa harus bolos, kan?"

Haruto mengendikkan bahunya. Beranjak lebih dulu dari kursi dan berjalan ke meja kasir. Bukan bermaksud menirunya--aku mengendikkan bahuku juga dan berjalan lebih dulu ke pintu keluar.

Meski jarak sekolahku yang baru lebih jauh dari sebelumnya Haruto tetap menyempatkan dirinya untuk bertemu denganku. Bagaimana bisa aku tidak terbawa suasana?

Di awal musim gugur di bawah langit yang sedikit mendung kami berjalan ditemani iringan lembut gemerisik daun-daun momiji yang masih didominasi warna hijau. Tidak ada percakapan lain setelah kami keluar dari cafe. Seperti kehabisan bahan obrolan karena akhir-akhir ini kami sering bertemu.

___________________________

Momiji = mapel
___________________________

Hingga sampai di depan rumahku pun kami masih membisu dengan pikiran masing-masing. Jika ada yang bertanya tentang pendapatku bagaimana rasanya berjalan dengan seseorang dalam keheningan yang separah itu aku akan menjawab tanpa ragu jika aku menikmatinya. Mengobrol itu juga termasuk menguras energi. Aku juga jarang memulai pembicaraan lebih dulu. Kecuali jika memang itu sedang benar-benar penting.

"Titipan untuk siapa?" tanyaku lantaran pemuda itu malah ikut berjalan ke pekarangan rumahku.

"Ah, iya, aku nyaris lupa."

Haruto membetulkan letak kacamatanya sekali sebelum akhirnya mencari sesuatu dari dalam tasnya. "Tolong berikan ini ke Miyazaki Erika, ya? Dapat ucapan selamat ulang tahun dari Akiyama Haruto."

"Apa?"

Pemuda itu tersenyum lebar. Senyum yang nyaris tidak pernah kutemukan selama di negeri kelahirannya ini. "Sudah, itu saja. Sampai jumpa lagi," ujarnya dan berlalu seakan memang menghindar dari setumpuk pemikiran yang mungkin saja lolos dari bibirku.

"Tung--"

Dia berjalan lebih cepat saat mendengar suaraku lalu menghilang di perempatan jalan.

Cukup lama aku mematung di tempatku tadi. Rasanya seperti ada serangga kaki seribu yang berjalan memutari perutku hingga membuatku tidak berhenti untuk menahan lengkungan di bibir.

~*~

Sejauh apa pun jarak diantara kita, aku tetap harus menjadi yang pertama dan terakhir untukmu.

Ya, bulan malam ini sangat indah.

Sambil menenggelamkan wajahku yang memerah di atas meja belajar, aku bergumam, "Kau sudah melakukannya sejak dulu, bodoh!"

~~~TBC~~~

Jika kalian tidak sadar akan kusadarkan. Surat di kado ulang tahun Erika dari Haruto itu.. adalah balasan untuk surat di kado Haruto dari Erika empat tahun yang lalu. Tepatnya sebelum Erika pindah ke Jepang.

Publikasi [27 September 2019]

Salam hangat
Asano Hime~

Kimi Ga Suki Dakara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang