Awal bulan Februari hujan masih saja setia mengisi senja. Butiran-butiran airnya jatuh silih berganti. Mereka kecil. Tapi cukup untuk menyiutkan nyali gadis-gadis manja yang takut dengan lumpur di pinggir jalan.
Kubuka payung biru tua yang telah kubeli setahun yang lalu. Payung dengan motif bunga mawar yang akan muncul jika terbasahi oleh air. Aku mulai melangkahkan kakiku ketika hujan sedikit reda. Kesempatan yang bagus. Setidaknya tidak akan membasahi sepatuku hingga ke dalamnya.
Ketika aku berhasil sampai di gerbang sekolah seseorang menghentikanku. Aku hampir menghafal suaranya. Fadli. Aku tak tahu nama lengkapnya.
"Bolehkah aku menumpang payung hingga ke halte bus? Kau juga akan kesana, kan?" Sebagian seragamnya basah karena hujan. Bahkan jika aku menolak pun, dia sudah lebih dulu bediri di sampingku, di bawah payung yang sama. Aku menganggapnya sebagai balas budi karena kebaikannya kemarin.
"Baiklah," jawabku kemudian.
Apa hanya perasaanku atau memanglah fakta? Kurasa anak inilah penyebab ketidaknormalan degup jantungku. Mungkin aku harus menjauhinya atau ini akan lebih tidak baik untuk kesehatanku.
Sepuluh menit berlalu dan aku hanya bisa menghembuskan napas kasar setelah aku berdiri di dalam bus. Alih-alih menjauhinya, kami bahkan tengah berhadapan di bus yang penuh itu. Dia berdiri dan aku duduk di depannya.
Aku mencoba mengabaikannya tapi sepertinya tidak sopan jika aku melakukan itu pada orang yang telah menolongku sebelumnya. Apa ini hanya perasaanku lagi? Sepertinya dia sedang mengamatiku. Ingin memastikannya kuputuskan untuk melempar pandanganku pada Fadli. Dengan cepat bahkan lebih cepat dari gerakan mataku ia telah berpaling memandang ke arah lain.
Aku berdehem sebelum memulai obrolan. "Petugas PMR," panggilku pelan. Tunggu, kenapa aku memanggilnya dengan itu? Aaagh! Aku mengerang dalam hati. Entah kenapa aku reflek memanggilnya dengan sebutan itu. Apa boleh buat, aku harus melanjutkan kalimatku.
"Terima kasih untuk yang kemarin."
Sekarang dia menatapku. Aku tak pernah menyangka jika dia memiliki tatapan mata setajam ini. Baiklah aku benar-benar salah tingkah. Kulempar pandanganku pada orang di sebelahnya.
Sedetik kemudian kudengar suara orang yang tengah menahan tawa. Siapa lagi kalau bukan Fadli? Di sudut matanya hampir terlihat air mata yang menggenang. Lantas pipiku mulai terasa panas. Kutiup ujung poniku dengan kesal. Selucu itukah hingga ia hampir menangis?
"Maaf, maaf, panggilanmu itu lucu sekali," komentarnya sembari menghapus air di ujung mata. Aku tidak membalas. Aku akui ini memang sungguh lucu dan aneh. Tapi aku juga merasa canggung jika langsung memanggil namanya.
"Bisa kau ulangi kalimatmu? Aku terlalu fokus dengan 'petugas PMR' tadi."
Aku mendesah kasar lalu kembali barkata, "Terima kasih untuk yang kemarin." Kali ini aku mengucapkannya setengah hati. Tentu saja aku sedang kesal padanya.
Fadli lantas tersenyum mendengar kalimat yang kuucapkan. Dan untuk kesekian kalinya aku merasa ada yang salah dengan jantungku. "Sama-sama, nona blasteran," balasnya setengah bercanda.
Oh, dan apa lagi ini. Banyak orang yang tahu jika aku berdarah campuran. Tapi mendengar dia memanggilku dengan sebutan itu entah kenapa membuatku ingin tersenyum saja.
Ketika aku akan memulai kembali pembicaraan dia terlebih dulu menyahut. "Ah, aku akan turun di depan. Rumahku tepat di pinggir jalan. Kau bisa mampir jika kau mau."
Aku hampir lupa berapa kali pipiku terasa panas. Atau aku yang tidak menyadari jika pipiku telah merona sejak bersamanya tadi? Ini bukan kali pertama aku berhadapan dengan laki-laki, tapi entah kenapa aku merasa ada yang berbeda darinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/126493862-288-k962239.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Fiksi Remaja"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...