Hari ini tidak ada kegiatan klub, tapi aku sedikit malas untuk pulang. Kuputuskan untuk menetap di kelas sedikit lebih lama. Dari dalam tas aku mengeluarkan buku sketsa. Buku dengan sampul abstrak yang dominasi warna merah itu hampir terisi penuh dengan coretanku. Meski begitu masih tetap terlihat rapi.
Yeah, aku mengatakannya rapi karena aku pernah melihat buku milik kenalan-ku yang lusuh. Mungkin dia terlalu bersemangat dengan buku sketsanya.
Aku memdelik saat membuka bukuku. Sebuah kalung dengan liontin bunga muncul dari sana. Bagaimana benda ini bisa ada di sini? Dia bukan orang yang bisa menyuruh makhluk beda dimensi untuk melakukannya, kan? Mendadak kepalaku pusing. Aku mendengus. Karena ini bukan cerita dengan genre misteri aku memilih untuk mengabaikannya.
Satu garis, dua garis, tiga garis. Dengan lincah tanganku mulai berdansa di atasnya. Keningku berkerut, menunjukkan keseriusanku. Seorang pemuda dengan ekspresi datar--lebih datar dari buku sketsaku--dan surai hitam yang hampir menyentuh matanya mulai terlihat jelas di sana. Satu tangannya kubuat sedang menopang dagu. Khas sifatnya yang pemalas.
Tidak, itu bukan original character-ku. Tapi aku penggemarnya, tentu penggemar pengarangnya juga. Aku membuat fanart. Aku hampir memberinya sebuah kacamata sebelum akhirnya kuurungkan niatku untuk melakukan itu.
Konsentrasiku memudar. Kugigit bibir bawahku mencoba untuk tetap tenang.Sudah dua bulan berlalu sejak aku pindah ke sini. Sedikit pun tak pernah aku bisa benar-benar melupakan tentang dirinya. Apa pun yang kucoba lakukan aku akan tetap berakhir mengingatnya.
Suara pintu bergesek membuatku terkesiap. Cepat-cepat kubuka lembar sebelumnya dimana aku sudah menyelesaikan satu tokoh anime. Gadis dengan iris violet dan surai hitam menjuntai hingga pinggangnya. Aku berpura-pura sedang menggambarnya dengan membuat coretan asal.
Mungkin akan kujawab ‘sedang membuat latar belakang’ jika orang yang sedang masuk itu bertanya tentang kegiatanku.
Sayangnya pertanyaan yang sempat kuprediksi tadi meleset. "Membuat fanart lagi?" Kazuki menjeda. Aku hampir bisa menebak ekspresi seperti apa yang sedang ditunjukkan Kazuki meski aku tidak sedang menatapnya. "Mungkin sekali-kali kau juga harus membuat character-mu, Erika."
Meskipun banyak yang memuji karyaku sejujurnya aku tidak berbakat dalam urusan membuat karakter sendiri. Aku lebih sering membuat fanart atau redraw.
Kazuki menarik kursi, membalikkannya, dan lantas duduk di depanku. Tangan usilnya merampas bukuku. Membolak-balikkan halaman buku itu padahal dia sudah melihat semua gambar yang ada di sana. Eumm, ralat, kecuali yang baru saja kubuat.
Tidak ingin menatapnya aku memalingkan wajah dan bertopang dagu. Memandang langit sore yang menguning. Sekarang aku bisa mendengar teriakan-teriakan samar dari klub lari yang sedang berlatih di bawah sana. Ngomong-ngomong kelasku ada di lantai dua.
"Hey, yang terakhir ini mirip aku, ya?"
Keningku berkerut samar. Menatapnya lewat ekor mata dan kudapatinya masih terfokus pada buku sketsaku. Iris mataku sedikit lebih terbuka. Benar, mungkin aku bisa melakukannya."Kazuki," panggilku tanpa menatapnya. Kurasa, datarnya mejaku lebih nyaman dipandang dari pada iris mata pemuda itu.
"Ya?"
Ada jeda sesaat sebelum aku kembali melanjutkan. Ia menampilkan ekspresi bingung saat aku tanpa sengaja meliriknya. Kuatur nafasku supaya tetap terlihat tenang. Bahkan aku tidak menyangka, meski itu bukanlah dia, jantungku tetap berdetak aneh.
"Bisakah kau berjanji untuk selalu bersamaku?"
Dia terkesiap. Tentu saja dia tak akan menyangka kalimat itu yang akan keluar dari bibirku."Hah? Apa maksudmu?"
"Aku." Sudikit ragu untuk mengucapkannya, "Menyukaimu."
Kembali terjeda beberapa detik. Mungkin dia perlu waktu untuk mencerna ucapanku. "Maaf, aku tak mengerti maksudmu."
Sekarang aku yang terkesiap. Dengan ragu aku menjawab, "Bukankah kau juga menyukaiku?" Oke, untuk saat ini aku benar-benar kelewat percaya diri. Tapi dengan semua reaksi yang ditunjukannya padaku aku merasa dia menyukaiku. Bukan lagi karena misinya yang ingin menakhlukkan hati gadis yang berniat membunuh pangeran sekolah itu suatu hari nanti--dalam niatan yang tidak sesungguhnya.
Semua kalimat dalam percakapan kami selalu terjeda karena berfikir. Kazuki menghembuskan nafasnya pelan yang mana membuatku ingin menatapnya. Saat iris mata kami bertemu dia menatapku tenang. Pangeran sekolah yang sudah banyak menerima pernyataan cinta memang luar biasa.
"Mungkin benar aku menyukaimu." Aku melebarkan mataku begitu dia mengatakannya. Dia benar-benar menyukaiku? "Tapi aku tak ingin hubungan dengan cinta sepihak."Lalu kalimat keduanya membuatku mengernyit. Aku penasaran.
"Apa maksudmu?"
Ia mengendikkan bahunya sekilas. Merasa tidak yakin. "Memang benar lisanmu mengucapkan 'kau menyukaiku' tapi aku tahu, hatimu mengatakan orang lain." Menusuk sekali rasanya.
Ia tersenyum kecil. Tidak menyenangkan sama sekali. "Aku tak bisa menerimanya. Maaf."
Setelah itu Kazuki beranjak dari kursinya. Berniat pergi dari sana. Dengan cepat aku ikut berdiri dan mencengkram lengan seragamnya. Mencegahnya untuk pergi. "Tunggu, apa jika aku benar-benar menyukaimu kau akan menerimaku?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Aku tahu tidak seharusnya aku mengatakannya.
"Hm?" Kazuki bergumam saat ia memutar kepalanya untuk menatapku lewat ekor mata.
"Aku tahu aku egois, tapi… kumohon buatlah aku menyukaimu." Dan kalimat ini juga, seharusnya aku tidak mengatakannya. Akan lebih baik jika seharian ini aku mengunci rapat mulutku agar dia tidak berbicara.
Kazuki tersenyum tipis, nyaris tertawa. "Kau benar-benar egois, sungguh jika situasinya tidak seperti ini aku pasti sudah terbahak." Ia mengendikkan bahunya. "Baiklah, baiklah, untukmu akan kuusahakan. Lagi pula itu artinya tantangan yang pernah kita buat dulu, aku yang memenangkannya, bukan?" Setelah itu dia benar-benar tertawa.
Entah kenapa aku tersenyum dari lubuk hatiku. Lantas mengendikkan bahu sembari menghela nafas yang tidak terlalu panjang. "Yaa, apa boleh buat?"
Setidaknya dengan ini aku bisa melupakanmu,
Fadli.
~~~TBC~~~
Publikasi [22 Agustus 2019]
Salam hangat
Asano Hime~
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...