Chapter 18

68 8 5
                                    

Dalam mobil hitam itu aku terus menggosok-gosokan telapak tangan. Mata coklatku telah terbuka lebar kala udara dingin mulai menyelimuti kulitku. Hidung kecilku memerah, menghirup udara dingin musim salju. Meski salju tak lagi tebal aku masih bisa merasakan dingin yang luar biasa di sini. Lebih dingin dari saat aku berada di puncak gunung di Indonesia.

Sesekali aku melirik keluar. Sebagian besar benda terlihat sama-sama putih. Tertutup rata dengan jutaan butiran salju. Di luar bandara masih terlihat ramai. Banyak orang berlalu lalang menerobos dinginnya udara. Ini masih siang tapi langit di atas tak ingin menampakkan sang surya. Padahal saat aku berangkat matahari cerah sekali.

Kaca dalam mobil mulai mengembun, atau memang sudah berembun sejak tadi? Tanganku usil membuat pola asal di atas kaca untuk mengusir kejenuhan. Sebelum akhirnya suara pintu mobil dibuka berhasil membuatku menghentikan aktifitasku. Aku menoleh. Mendapati ayahku dengan mantel tebalnya.

"Maaf, lama menunggu," ucapnya.

Aku menggeleng pelan. "Bukan masalah."

Pria itu duduk di sampingku dan menyuruh supir untuk menjalankan mobilnya. Sejurus kemudian ia menyandarkan punggung, lantas menatapku. "Kau masih kedinginan?" Ia bertanya.

Kuanggukkan kepalaku mengiyakan, mengingat kaki dan tanganku yang serasa membeku itu. Jangan lupakan hidungku yang memerah setelah puas bersin di luar tadi.

Ayah menarikku, mendekapku hangat. Ia juga mengecup lembut puncak kepalaku. Aku tersenyum kecil. Menikmati pelukan hangat darinya. Kenyamanan yang sangat aku rindukan.

~*~

Ketika ayah memberitahuku jika kami telah sampai aku membuka mataku lebar-lebar. Mengikutinya keluar dari mobil dan merasakan udara yang semakin dingin di luar ruang tertutup. Aku sedikit terkejut. Kami berhenti di depan rumah tradisional Jepang yang berukuran besar--menurutku. Tapi kurasa bangunan seluas ini sudah sangat mewah jika dilihat dari bagaimana mahalnya harga tanah di negeri itu.

"Ayo, kau bisa menghangatkan tubuhmu disana nanti." Ajakan itu membuat iris mataku beralih untuk menatap si pemilik suara. Aku menurut. Kuikuti langkah ayahku menuju rumah itu. Melewati halaman yang luas dengan pohon tanpa daun.

Ketika aku masuk ke dalam rumah itu hal yang pertama kulihat adalah sekumpulan orang yang kuyakini adalah keluarga besar penghuni rumah ini. Yeah, aku sudah sedikit mendengar tentang mereka. Dan mereka kini tengah menyambut kedatanganku.

Ayah menghentikan langkahnya di hadapan mereka. "Erika," panggilnya. Bermaksud membuat perhatianku tertuju padanya. "Ini kakekmu, nenekmu, paman Kazuo, bibi Kazuko, dan ini putri mereka, Aika," katanya memperkenalkan mereka satu persatu.

Aku mengangguk kecil dan mencoba tersenyum ramah. Tatapan mataku tertuju pada gadis bernama Aika tadi. Kukira dia akan bernama Kazu mengingat paman Kazuo dan bibi Kazuko yang tak lain adalah kedua orang tuanya memiliki nama Kazu. Namun ternyata dugaanku salah. Yeah, itu hanya tebakanku secara asal, sih.

"Ayo giliranmu," perintah ayahku dengan lembut.
Aku terkesiap dan langsung tersadar dari lamunanku. Baiklah, ini akan menjadi kalimat pertamaku ketika aku berbicara dengan bahasa Jepang di negeri sakura. "Hajime mashite watashi wa Miyazaki Erika desu," ucapku setengah membungkuk. Ayah menyuruhku melakukannya.
_________________________________________

*Salam kenal, saya Miyazaki Erika
_________________________________________

"Erika-chan, kau bisa bahasa jepang?! Hebat!" Gadis yang baru kuketahui menjadi sepupuku ini lantas menghampiriku. Dari sikap yang pertama kali ditunjukkannya kutarik kesimpulan jika dia adalah type gadis periang. Bahkan dia langsung memanggil namaku dengan akhiran -chan meski ini adalah awal perjumpaan kami.

Kimi Ga Suki Dakara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang