"Dia sama dinginnya denganmu, kan? Padahal dulu dia sama cerianya denganku--emm ralat, dia lebih tenang jika dibandingkan denganku."
"Aku tidak tahu pasti, tapi sepertinya dia berubah sejak nenek kami meninggal. Yeah, tadinya kupikir kalian sudah saling kenal mengingat kalian pernah tinggal di Indonesia. Terlebih kalian tinggal di kota yang sama."
"Ngomong-ngomong meski pun kami saudara kembar banyak yang mengatakan kami tidak mirip. Atau mirip namun sebatas saudara biasa, bukan kembar. Aku tidak bisa menyangkalnya sih, kadang aku juga berfikiran seperti itu."
Rentetan kalimat Kazuki saat kami makan bersama di café sore tadi terus terngiang.
Aku berdiri di depan cermin dengan cahaya remang. Rambutku kuikat asal bergaya pony tail. Di depanku tergeletak kotak berwarna hitam penuh debu. Ada bekas jari tangan ketika sebagian kotoran itu tersapu oleh jariku. Aku menggigit bibir bawahku sebentar sebelum akhirnya membulatkan niatku untuk membukanya.
Sebuah kalung dengan liontin bunga terlihat seperti tertidur dalam kotak itu di penglihatanku. Tergeletak dingin karena tidak ada yang menyentuhnya. Perlahan jemariku meraihnya. Mengangkatnya di udara dan memandangnya melalui cermin untuk mencocokkannya dengan leherku.
Meski tak ingin mengakuinya, kalung ini cantik. Hingga akhirnya tanganku tanpa sadar memasangkannya ke leher. Kurasakan pipiku yang memanas begitu saja. Dan seketika puluhan ingatan tentangnya semakin jelas dalam imajinasiku.
PAKK!
Aku menampar pipiku sendiri saat tersadar dari semuanya.
Sungguh payah. Apa waktu yang kuhabiskan bersama Kazuki selama ini masih belum cukup untuk melupakannya? Terlebih perasaanku terasa membuncah tak terbendungkan.
Hampir dua tahun yang lalu aku meninggalkannya tanpa alasan yang logis. Dan sekarang aku menyadarinya. Pikiran dari diriku di usia itu masih terlalu labil. Ketika aku patah hati aku tidak bisa berfikir dengan jernih, ditambah diriku yang akan pergi jauh meninggalkannya--yang mana aku berfikir hampir mustahil kami bisa bertemu lagi, mungkin lebih baik aku mengakhirinya saja saat itu.
Aku masih sulit untuk mempercayai orang lain. Meski dulu aku tidak terlalu mengekangnya aku tetap merasa takut jika dia akan mengkhianatiku lebih dari saat itu.
Hari itu sebelum aku pergi aku menitipkan surat pada teman dekatku supaya diberikan padanya. Klasik, ya? Tidak apa, aku hanya berfikir untuk putus kontak juga dengannya. Bahkan dalam surat itu pun aku tidak berani menuliskan kata putus untuknya. Aku sungguh egois. Danapa sekarang dalam lubuk hati terdalamku aku mengharapkannya. Apa yang membuatku berani memikirkan ini?
Suara gesekan pintu shoji di ujung ruangan membuatku menoleh. Aika berdiri di sana dengan tatapan menyelidik. Oh, apa lagi yang di pikirkannya.
Ayo makan malam. Mereka sudah menunggu.
Kuanggukkan kecil kepalaku dan lantas menghampirinya yang berada di luar.~*~
Kazuki berjalan ke lantai atas rumahnya dengan santai. Raut mukanya sedikit sumpringah. Ia senang, hari ini orang tuanya pulang lebih awal karena ingin menyambut kepulangan adiknya. Suatu moment yang sangat jarang karena kedua orang tuanya itu sangat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Tak lama langkahnya terhenti tepat di depan pintu sebuah kamar. Pintu itu sedikit terbuka. Ruangan yang gelap. Kazuki memutuskan untuk masuk dan menghidupkan lampunya. Tubuh seorang pemuda meringkuk di atas ranjang. Matanya yang terpejam terlihat begitu kelelahan. Sementara itu, beberapa barangnya masih belum dirapikan dari dalam kardus-kardus.
Kazuki berdecak dan menyapu pandang ke seisi ruangan. Lantas lupa dengan tujuan awalnya untuk membangunkan Haruto. Dia malah membongkar barang-barang yang menarik perhatiannya tanpa meminta izin dari si pemilik.
Iris matanya beralih pada kamera digital di meja belajar lalu berganti pada kotak berukuran sedang di belakangnya. Kazuki menaikkan satu alisnya dan bertahan untuk tidak tertawa. "Apa ini? Hadiah perpisahan?" gumamnya pelan sambil menatap Haruto yang masih bergelut dengan mimpinya.
"Aku tidak mengira kau juga akan punya yang seperti itu di sana."
Kotak berwarna biru bergaris-garis itu tidak terkunci--maksudnya desain kotak ini memang disengaja tanpa kunci. Kazuki hampir membuka kotak itu sebelum akhirnya kalimat sarkastis Haruto mengejutkannya.
"Aku tidak ingat memberimu izin memasuki kamar ini."
Kazuki meletakkan kembali kotak itu saat Haruto membenarkan posisi kacamatanya. Kazuki mencoba mengganti topik. Tak ingin adiknya ini membahas tentang dirinya yang tertangkap basah hampir mengintip privasi orang lain. "Haruto, boleh kupinjam kameramu?"
"Tidak."
Dijawab dengan singkat dan mengena Kazuki tertawa tak bersemangat. "Hanya menyentuhnya."
"Katakan saja apa tujuanmu kesini dan segeralah keluar."
Oh iya, Kazuki telah melupakan tujuan awalnya untuk kemari. Bisa gawat jika orang tua mereka telah menunggu terlalu lama.
"Mom dan Dad pulang lebih awal hari ini. Mereka bilang ingin merayakan kepulanganmu." Kazuki mengendikkan bahu. "Kau tahu, mereka selalu sibuk, kan? Ini momen yang langka, karena itu aku ingin menikmatinya," jelas Kazuki.
"Kau juga, Haruto."
~*~
Hari ini telah dimulai pembelajaran seperti biasa. Tentunya setelah dilakukan pembagian kelas. Tidak bisa dipungkiri saat pandangan mataku tidak bisa fokus pada penjelasan guru ketika kutahu aku berada di kelas yang sama dengan Fadli/Haruto.
Meski pun tempat duduk kami terpaut satu meja dengan aku yang berada di depan, aku tetap tidak bisa tenang. Udara musim semi seolah memanas. Tatapan matanya yang tengah memperhatikan guru terasa ikut menembus diriku. Sungguh perasaan yang rumit.
Dan hari itu pun berlalu sedikit lebih cepat.
"Miyazaki-san."
Aku menghentikan aktivitasku. Ah, tidak, tubuhku terasa mati saat mendengar suara itu memanggil namaku. Bahkan ketika dia memanggilku dengan nama marga pun aku tetap tidak bisa bereaksi seperti biasanya.
Aku menelan salivaku seperti yang biasa kulakukan saat gugup. Tidak menjawab aku hanya menoleh untuk menatap si pemilik suara. Mata kami bertemu dan itu sempat membuat jeda yang cukup panjang di antara kebisuan kami.
Meski pun samar sepertinya aku bisa menangkap sedikit kegugupan juga di raut mukanya. Tangan kanannya lantas terulur dengan kotak biru bergaris yang berada di atasnya.
"Dea menitipkannya untukmu. "
"Oh!" Aku tersentak saat akhirnya dia berhasil berkata-kata. Aku jadi semakin gugup saja. Setelah mengerjap beberapa kali akhirnya aku menerima kotak itu dan, "Arigatou gozaimasu." Berterima kasih dengan sedikit lebih formal.
Pemuda itu mengangguk kecil, lantas membalikkan tubuhnya untuk melangkah pergi. Aku kembali mengemasi buku-bukuku setelah Fadli/Haruto benar-benar telah pergi dari sana.
"Erika." Kazuki memanggilku. Aku bisa mengetahui dirinya tanpa harus berbalik untuk memastikan. Ngomong-ngomong kami tidak satu kelas. Hanya Fadli yang satu kelas denganku.
"Kotak apa ini?" tanyanya saat menyadari sebuah benda yang tergeletak di mejaku. Atau dia sudah menyadarinya saat masuk kesini?
Cepat-cepat aku menyambarnya sebelum tangan Kazuki berhasil meraih kotak itu. "Bukan urusanmu," cibirku. Aku tahu tidak seharusnya aku mengatakan itu.
Entah hanya imajinasiku atau ini memang nyata aku bisa membaca raut muka Kazuki yang kesal. Kesal dalam artian benar-benar kesal. Tidak seperti biasanya saat dia selalu menampilkan senyum ceria. Aku mengabaikan pemuda itu dan memutuskan untuk pulang mendahuluinya.
~~~TBC~~~
Publikasi [23 Agustus 2019]
Salam hangat
Asano Hime~
![](https://img.wattpad.com/cover/126493862-288-k962239.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Novela Juvenil"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...