Jumat, 30 Januari. Telah terlewat beberapa minggu setelah kecelakaan itu. Aku sudah melakuakan aktivitasku seperti biasa. Tapi aku masih dilarang untuk melakukan kegiatan yang berat. Bahkan ayah melarangku untuk mengikuti mapel olahraga.
Lalu, di urutan kedua yang kusesali, liburan akhir semester kuhabiskan untuk pemulihan. Hanya di rumah! Beruntung Fadli dan Dea dengan baiknya mengunjungiku bergantian. Fadli sering membawakanku DVD anime dan Dea juga sering membawa buku-buku novelnya. Setidaknya aku tidak akan mati kebosanan dirumahku.
Kulirik arloji yang melingkar di tangan kiriku. Pukul 17.06. Hari ini juga aku pulang sore. Aku harus mengikuti kursus bahasa Jepang setiap pulang sekolah. Tidak terlalu jauh dari lingkungan sekolahku hingga kuputuskan untuk langsung datang setelah pulang. Ini berkaitan dengan kepindahanku minggu besok.
Ayahku akan mengajakku tinggal bersamanya. Tentu awalnya aku menolak. Jepang bukanlah tempat yang bisa kalian jangkau dengan bus dari sini. Dan bagaimana pun juga di negeri inilah aku dilahirkan. Sebesar apa pun keinginanku untuk bisa pergi ke negeri sakura itu, aku akan tetap berfikir dua kali untuk meninggalkan tanah airku.
Beruntung hari ini ayah belum datang. Hari ini aku tidak langsung pulang. Tidak apa, tidak akan ada yang memarahiku karena sementara ini aku tinggal sendiri. Untuk urusan makan bibi Emi sering membawakanku sarapan. Untuk makan siang aku membeli di kantin sekolah, dan untuk makan malam aku membuatnya sendiri. Yeah, meski sering terjadi kegagalan di uji coba memasakku. Aku tidak pintar dalam urusan memasak. Jika bersih-bersih rumah aku masih bisa melakukannya sendiri. Tapi tentu itu hanya sebatas menyapu. Untuk pakaianku aku menyerahkannya pada laundry.
Ayah kembali ke Jepang karena urusan pekerjaan. Ia memberiku uang saku untuk sebulan dengan jumlah yang begitu banyak. Aku menerimanya dengan ragu. Sisi baiknya aku bisa membeli banyak buku dan peralatan menggambar yang kusukai tanpa menghabiskan uang tabunganku.
Bunyi klakson bus membuatku tersadar dari lamunan. Tak kusangka lampu merah itu sudah kembali hijau. Aku terlambat untuk menyeberang. Masih dua puluh detik lagi untuk lampu itu berubah merah. Bahkan waktu yang singkat akan terasa lama jika kita menunggunya.
Dan ketika waktu singkat itu berlalu kulangkahkan kakiku untuk menyeberang. Lima meter di depanku sebuah bangunan tampak begitu mencolok. Lampu ruangan yang menyala sangat terang di senja yang tertutup awan. Pakaian dengan bermacam model, juga sepatu, dan tas. Aku mengabaikan itu dan melangkah masuk lebih dalam. Bukan itu yang kucari.
~*~
Esok harinya bel istirahat membuatku terburu untuk mengganti seragam. Lima belas menit yang lalu kami baru saja selesai olahraga. Lebih tepatnya mereka, bukan aku. Aku hanya mengamati bagaimana mereka melakukan lompatan dan mendarat di atas pasir.
Aku terburu, siang ini aku telah membuat janji dengannya untuk bertemu di jam istirahat. Di taman belakang sekolah lebih tepatnya. Taman yang sedikit terbengkalai yang membuat tempat itu jarang dikunjungi murid lainnya.
Hari ini adalah hari ulang tahun Fadli. Aku sedikit terkejut. Dia lebih muda dariku! Kami terpaut empat bulan. Ah, dan sepertinya aku akan mengatakan tentang kepindahanku hari ini juga. Aku tahu ini sangat buruk. Memberi hadiah pada pasanganku dengan sebuah kabar yang pasti akan membuatnya kecewa. Ditambah keberangkatanku yang sangat mendadak. Sebenarnya tidak akan mendadak jika aku mengatakannya lebih awal. Tapi aku takut saat akan mengatakan itu hingga waktu berlalu begitu cepat. Aku hanya bisa berharap Fadli akan menerimanya.
~*~
Seorang gadis bersurai hitam melangkah tenang di taman kecil itu. Rambutnya yang panjang sedikit melambai saat angin meniupnya. Matanya menatap lurus kedepan. Terkunci pada sosok remaja laki-laki berkacamata yang tengah duduk dan asik membaca buku saku yang cukup tebal di kursi taman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...