Gadis itu menggeram kesal di balik dinding lorong menuju lantai bawah. Semua kesenangannya padam ketika menyaksikan pemuda itu datang untuk membantu gadis bersurai hitam panjang yang tergeletak di lantai.
Amarah mendominasi pikirannya. Tepat selangkah setelah ia berniat untuk menghampiri mereka, dia berhenti. Merasakan cengkraman kuat yang melingkari tangan kirinya.
"Apa yang ingin kau lakukan lagi, Rei?"
Gadis yang dipanggil Rei itu menatap garang lawan bicaranya. "Menghampiri mereka. Tidakkah kau melihatnya?!" Setengah memekik ia membalas.
"Kau tidak bisa memaksa mereka...."
Ditepisnya tangan lawan bicaranya itu dengan kasar. "Hentikan! Ini semua salahmu! Kenapa kau melepasnya?! Kau melenyapkan satu-satunya kesempatanku, Kazuki!"
"Itu salah, Rei. Ini bukan dirimu."
Rei memejamkan matanya frustasi. Membuat satu demi satu air matanya menetes. "Bisakah kau membiarkanku kali ini saja? Kau sahabatku, kan?" tanyanya setengah terisak.
Kazuki tersenyum kecut. Lantas mencengkeram lagi tangan Rei karena gadis itu beranjak lagi. "Sayangnya aku tidak pernah menganggapmu seperti itu."
Iris mata Rei semakin nanar, gadis itu terisak sungguhan. Sambil mencoba melepaskan diri dengan brutal ia membentak. "Kalau begitu berhentilah menghalangiku! Berhentilah menggangguku! Dan jangan temui aku lagi! Kau sungguh me--"
Kazuki menciumnya. Menghentikan deretan sumpah serapah yang nyaris terlontar dari bibir gadis itu.
Rei meronta lagi. Balik memaksa menyudahi ciumannya. Dia marah dengan perlakuan Kazuki padanya. "KAZUKI! APA MAKSUD--"
Kini Kazuki memeluknya. "Maaf, tapi aku--" Sesaat pemuda itu menahan napas, "lebih tidak ingin melihatmu bersamanya."
Kembali terselip jeda diatara keduanya hingga akhirnya isakan Rei terdengar lebih keras dari sebelumnya. Kazuki memejamkan matanya dalam diam. Mengusap lembut puncak kepala gadis itu untuk menenangkannya.
"Maaf, harusnya kukatakan ini sejak awal."
~*~
Entah bagaimana aku tertidur saat Haruto sampai dilantai terbawah. Aku bahkan tidak tahu kapan ayahku datang. Kuharap dia tidak berfikir jika aku pingsan saat itu. Di malam harinya aku terbangun tepat jam dua belas. Aku berada di rumah sakit bersama ayah yang sekarang tengah tidur di sofa.
Kuingat kembali bagaimana mereka menyiksaku. Satu pukulan telak di pelipis, lalu kakiku yang diinjak hingga tulangku serasa patah. Atau memang patah? Aku hanya tahu kedua bagian itu kini berdenyut lagi secara bersamaan.
Aku takut, nyaris frustasi. Kurasa setelah ini aku akan meminta ayah untuk memulangkanku ke Indonesia. Aku ingin sekolah di sana saja. Tidak peduli jika harus tinggal sendirian. Aku lebih tidak ingin bertemu dengan mereka.
Tentu saja ayahku menolak dengan keras permintaanku. Tapi aku juga tidak kalah keras kepalanya. Bahkan aku sampai terisak memohon-mohon agar aku mendapatkan izinnya. Dramatis memang. Tapi aku sudah terlanjur trauma.
Meski begitu ayah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sebagai gantinya, beliau akan memindahkanku ke sekolah swasta lain.
Tidak ada lagi pilihan untukku selain menurutinya.
~*~
Dan tepat di hari ulang tahunku yang ke tujuh belas itu bertepatan dengan hari terakhirku berada di sana. Aku tidak lagi berangkat sekolah bahkan setelah kakiku sembuh. Sebagian besar teman kelasku datang untuk menjenguk. Risa yang paling sering datang. Dia berusaha membujukku supaya aku tidak pindah sekolah. Toh gadis-gadis yang membullyku hari itu sudah dijamin tidak akan mengusikku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...