Kukerjapkan kelopak mataku tepat setelah aku berhasil membuka mata. Silau. Juga desain ruangan ini, mirip rumah sakit saja. Aku sedikit menggeliat. Setelah kurasa aku bisa melihat seluruh isi ruangan aku mendapati seorang wanita muda yang tengah mengamatiku. Dia menutup mulutnya dengan tangan kanan seperti sedang menahan tawa.
Aku mengenalnya. Dia guru sastra Jepang yang mengajar kelasku sekaligus pembimbing di klub drama. Dulu saat dia masih mahasiswi dia pernah menjadi guru privatku.
"Oohh, Kanna-sensei," gumamku pelan.
Wanita muda berkacamata itu masih menatapku, dan sekarang dengan senyum yang mengembang. Sepertinya beliau ingin aku mengatakan sesuatu. Kuhembuskan napasku sedikit berat sebelum akhirnya aku mengabulkan keinginannya. "Terima kasih banyak sudah merawat saya."
Ia bedehem sebelum membalasku. Itu membuatku mengernyit heran. "Kau tidak perlu berterima kasih--" Kanna-sensei menghentikan kalimatnya. Juga terlihat tengah berfikir. "Ettoo, Miya? Miyamizu-san?"
"Miyazaki," koreksiku cepat. Ternyata beliau mengingat-ingat namaku. Aku baru ingat wanita ini lebih buruk dariku dalam mengingat nama.
"Benar, Miyazaki! Kau lebih baik memberikan rasa terima kasihmu pada Akiyama, dia yang membawamu kemari."
Aku bergidik mendengarnya--lebih tepatnya saat Kanna-sensei mengatakan memberikan rasa terima kasih. Dan setelah itu aku melotot.
Akiyama? Selain ada dua Akiyama di sekolah ini aku juga tidak bisa membayangkan di tolong oleh salah satunya. Semua Akiyama yang kukenal terlibat masalah serius denganku."Akiyama teman satu kelasmu." Seperti sok tahu dengan pertanyaan yang tengah kupikirkan beliau menjawab. Tapi itu cukup membantu untukku mengetahui siapa si Akiyama ini.
"Akiyama Haruto."
Aku mendudukkan tubuhku yang ternyata masih terbaring sejak tadi. Kepalaku masih sedikit berdenyut namun tak separah sebelumnya.
"Kau tahu?" Kanna-sensei mulai bercerita. Wanita muda yang menjadi guru baru itu benar-benar ceria. Aku akui dia yang paling menyenangkan jika diajak berkomunikasi dengan muridnya. Mungkin karena usianya yang tidak terpaut terlalu jauh dengan kami. Tak jarang juga Kanna-sensei dianggap teman sebaya oleh beberapa murid. Dan kurasa Kanna-sensei menikmati itu.
Tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Dan, ya, aku masih membahas Kanna-sensei. Di balik sifat ceria dan supelnya dia memiliki sisi buruk yang kuketahui sejak dulu. Sepertinya sifat buruk itu akan muncul sekarang.
"Dia membawamu seperti seorang pangeran yang menggendong putrinya. Kekhawatiran yang terpancar dari dirinya. Oh, jika saja aku bisa mengabadikan momen itu, seribu halaman pun tak pernah cukup untuk mendiskripsikannya--"
Cukup. Aku tak ingin mendengar kelanjutannya. Itu tidak akan pernah berakhir. Jadi, kuputuskan untuk meninggalkannya yang masih berbunga-bunga seakan dia yang menjadi diriku. Beruntung guru muda itu tidak menyadari kepergianku di antara keasyikannya. Aku bisa melangkah dengan lebih tenang.
Namun tetap saja, di lorong yang sepi itu aku terus memikirkannya. Meski kutahu Kanna-sensei sangat suka melebih-lebihkan, entah mengapa aku tetap memikirkannya. Bagaimana jika dia benar-benar menggendongku seperti seorang putri--atau lebih sering disebut bridal style. Yang jelas aku ingat benar ini bukan saat yang tepat untuk tersipu.
~*~
Lima menit lagi bel pulang akan berbunyi. Untuk pertama kalinya aku gugup hanya karena suara bel dari sentral. Entah sudah yang keberapa aku menghembuskan napas beratku. Sore ini aku berencana mengucapkan--memberikan jika dari sudut pandang Kanna-sensei--rasa terima kasih pada Haruto. Aku harus mengatakannya, bagaimana pun juga dia telah menolongku. Aku tak ingin berhutang.
Namun yang menjadi masalah di sini adalah bagaimana aku mengatasi kegugupanku. Ditatap oleh Haruto setara mendapat tatapan dari dua puluh orang sekaligus. Dan ditengah ketidakfokusanku bel pulang itu akhirnya berbunyi. Aku terlonjak kaget. Kurasa tadi masih kurang lima menit. Bagaimana waktu bisa berlalu secepat ini?
Terlepas dari itu aku segera tersadar jika Haruto mulai melangkah pergi. "A-Akiyama Haruto-san!" panggiku sedikit keras. Takut-takut jika dia tidak mendengarnya dan berlenggang pergi sebelum aku mengatakan apa pun. Setidaknya aku bisa bernafas lega saat aku bisa memanggil namanya. Namun ini masih belum selesai karena aku masih harus berterima kasih.
Haruto menghentikan langkah kakinya di ambang pintu. Dengan wajah dingin dan sorot matanya yang tajam pemuda itu berhasil membekukan kakiku. Kadang aku sempat berfikir apa semua orang yang kutatap dengan cara itu merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan sekarang?
Wah! Aku semakin gugup dan menggumamkan kata yang tidak jelas. Itu membuatnya mengernyit kebingungan. Kalau dipikir lagi lucu juga kenapa aku bisa segugup ini saat berbicara padanya. Dia pasti akan mengejekku habis-habisan seandainya kami masih--ah, bisakah aku berhenti memikirkan tentang itu sekarang?
Terjadi keheningan diantara kami--hanya di antara kami karena beberapa murid masih ramai berlalu lalang. Haruto masih menunggu dan mengamatiku yang pasti tengah tersipu sekarang.
"Aku--"
"Haruto! Apa yang kau lakukan di sana?! Kau membuatku menunggu!"
Aku pun tersentak mendengar suara itu. Seorang gadis bersurai pendek berteriak padanya. Aku bisa melihat gadis itu dari pintu depan, setengah berlari menghampiri Haruto yang berada di bibir pintu belakang. Ohayashi Rei menampakkan raut kesalnya hampir sama ketika Kazuki membolos klub dulu. Dia mengatakan beberapa kalimat sebelum akhirnya menyadari Haruto yang tengah menatapku.
"Ada apa?" tanyanya entah pada siapa karena gadis itu berulang kali menatap kami bergantian.
Karena kurasa Haruto tetap tak akan menjawabnya kutafsirkan saja pertanyaan itu ditujukan untukku. Segera kugelengkan kepalaku. "Bukan apa-apa," balasku cepat.
Kuputuskan untuk pergi dari sana mendahului mereka melalui pintu depan. Aku juga mempercepat langkahku berharap segera menjauhi mereka. Benar, mungkin Ohayashi-san juga sahabat Haruto--atau mungkin tidak. Akan kukatakan terima kasihku lain kali saja.
~~~TBC~~~
Publikasi [28 Agustus 2019]
Salam hangat
Asano Hime~
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...