Aku malas mengakui ini, tapi aku benar-benar menunggunya mengirimiku pesan. Sayangnya hingga jam sembilan malam aku tidak mendapat satu pesan pun seperti yang tadi ia katakan. Sial sekali aku langsung percaya begitu saja.
Aku hampir terlelap jika saja dering handphone android tidak mengejutkanku. Sedikit malas aku membukanya. Waaah, padahal aku mengira Fadli akan mengirimiku pesan seperti meminta maaf atau semacamnya. Yang muncul di notifikasi adalah pesan line dari Dea.
Erika, besok sabtu aku menginap di rumahmu, ya?
Sekalian belajar untuk ujian minggu depanLalu di bawahnya ditambahkan sticker beruang coklat dengan pose memohon.
Sambil mengetik aku mengingat-ingat. Dulu gadis itu pernah menginap di rumahku saat kelas satu. Aku lupa alasannya. Mungkin mengizinkannya menginap lagi bukan hal yang buruk.
Send.
Baiklah, sabtu sore aku akan di rumah
Dea mengiriku sticker lagi, namun mataku mulai terasa berat. Aku tidak lagi mempedulikan pesannya dan lebih memilih untuk menuruti keinginan mataku supaya terpejam.
~*~
Cklek.
Dea datang lebih cepat. Aku sempat terburu-buru turun dari kamarku tadi dengan rambut hitamku yang berantakan serta basah.
"Maaf, aku baru selesai ma--"
Kalimatku tertahan diikuti dengan iris mataku yang melebar selebar-lebarnya, sampai aku takut jika mereka keluar dari kelopak mataku. Satu gadis bersurai sebahu yang tersenyum canggung, satu laki-laki yang seperti berkata "Wah!" dari ekspresi yang ditunjukkannya, dan satu lagi laki-laki yang tersenyum manis sambil menyapa "Hai".
Dengan kasar kututup pintu ruang tamu itu untuk kembali berlari ke kamarku. Oh, aku tidak mengunci pintu tadi dan aku sudah berteriak menyuruh Dea untuk masuk. Dengan tergesa-gesa aku menyisir rambutku yang masih basah. Sial! Aku tidak pernah menyisir rambut saat basah! Tapi aku sedang terburu.
~*~
Aku menggeram pelan. "Jadi, kenapa Dea bisa menjadi tiga, dan dua diantaranya adalah laki-laki?" tanyaku dengan tangan terlipat. Mereka semua sudah berada di kamarku karena Ibu mengusir kami kemari. Katanya ada temannya yang akan berkunjung.
Aku menatap mereka bertiga yang duduk di lantai dari atas ranjang.
"Percayalah Erika, aku hanya korban. Fadli menjanjikan hal yang tidak kuasa untuk kutolak." Alasan pertama yang dramatis itu datang dari Dea. Hm. Aku cukup mengerti apa yang sudah dijanjikan Fadli pada gadis itu.
"Yeah, aku hanya diajak Fadli." Yang kedua dari Iqbal. Aku tahu dia tapi kami belum pernah berkenalan. Kalau tidak salah dia juga mengikuti ekstrakulikuler volly.
Tatapan tajam terakhirku jatuh pada laki-laki di ujung barisan.
"Habisnya kau tidak mungkin mengizinkanku untuk datang kemari, kan?"
Ya, aku memang melarangnya untuk datang ke rumahku. Terlebih jika dia sendirian. Kemudian dia memanfaatkan mereka dan keadaan untuk bisa datang kemari.
Kutepuk pelan keningku, kehabisan kata-kata.
"Erika, bagaimana jika kita mulai saja?" Dea mengusulkan. Aku tidak heran jika dia melakukannya.
Lalu kami pun mulai belajar dengan empat meja kecil yang disusun menjadi satu di samping ranjang. Jangan ditanya dari mana aku mendapatkannya. Percayalah, jawabanku sama sekali tidak bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...