"Baiklah, aku akan mengembalikan bukumu senin depan."
Itu adalah kalimatnya ketika menerima buku catatanku. Senin depan apanya? Ini sudah hari jumat dan dia meninggalkan buku itu di rumahnya tepat sehari sebelum ulangan itu akan dilaksanakan. Ulangan matematika! Sadarlah jika aku tak sepandai dirimu, Tuan Populer. Aku tak akan mengerti tanpa belajar.
Sekali lagi aku mengerang marah. "Bagaimana bisa kau meninggalkannya?!" Tak kupedulikan lagi rambutku yang sedikit berantakan karena aku mengacak-acaknya tadi. Oh ayolah, apa dia sengaja? Bagaimana dia bisa lupa sementara aku telah mengingatkannya setiap hari. Bahkan sebelum kita berpisah ketika pulang sekolah bersama.
Fadli menoleh. Ia menatapku dengan tampang tak bersalah. "Maaf, maaf." Entah itu kata keberapa yang dikatakannya padaku. Aku tidak peduli. Aku ingin bukuku, bukan kata maaf darinya.
"Apa sebenarnya yang kau pikirkan!" Aku mulai lelah.
"Aku sedang memikirkanmu." Wah! Jawaban yang bagus. Ia tersenyum dengan iris matanya yang menatap lurus padaku. Aku hampir tidak bernafas jika saja dia tidak tertawa renyah melihat reaksiku.
"Maaf, maaf, aku hanya ingin mengusir ketegangan disini."
"Fadli," panggilku pelan.
Laki-laki itu menghentikan tawanya dan beralih menatapku. "Bisakah kau berhenti bercanda untuk sekarang?" pintaku sambil tersenyum. Atau mungkin dapat disebut menyeringai? Aku tidak peduli. Aku hampir kehabisan kesabaranku.
"Oke," jawabnya tanpa bantahan. Ia berhenti menatapku dan mencoba mencari kegiatan lain untuk mengalihkan perhatian.
~*~
Rumah berlantai dua dengan bertemakan blackwhite itu berdiri kokoh di hadapanku. Itu kediaman Fadli. Jangan bertanya kenapa aku bisa sampai di sini. Tentu aku ingin mengambil barang yang menjadi hakku. Aku bahkan tidak berniat untuk masuk lebih jauh ke dalamnya. Cukup berada di halaman saja, karena niatku hanya mengambil bukuku.
Aku menghela nafas sedikit lebih panjang. Sungguh rumah yang indah dengan tanaman hijau tua yang mendominasi halamannya. "Ini rumahmu?" tanyaku basa-basi. Tunggu, basa-basi? sejak kapan aku pandai berbasa-basi dengan laki-laki ini?
"Bukan, ini rumah ayahku," balasnya ringan.
Aku mendengus. "Sama saja, bodoh!"
"Ayo masuk," ajaknya yang tidak menggubris komentar dariku.
"Ah, tidak perlu repot-repot. Aku tidak tertarik masuk kerumahmu. Lagi pula aku hanya ingin mengambil bukuku."
Hening sesaat antara aku dan dia. Apa dia menganggap kalimatku serius? Kurasa dia bukan tipe orang sensitif yang akan sakit hati dengan kalimatku barusan. Kuberanikan untuk menatap dirinya.
Fadli mendongak. Kuikuti arah pandangnya mencari tahu apa yang ia lihat. Tepat setelah itu setetes air mendarat di bawah mataku. Nyaris menetes di mataku! Aku tak bisa bayangkan mataku sakit karena air hujan jika saja itu terjadi. Segera kuusap air itu dengan punggung tanganku.
"Kau yakin tidak tertarik masuk kedalam rumahku meski sekedar berlindung dari hujan?" tanyanya santai sambil berjalan menuju rumahnya. Sebenarnya aku menemukan nada mengejek di kalimatnya tadi.
"Ketahuilah aku sungguh dalam keadaan terpaksa," sanggahku membela diri. Sejurus kemudian kulangkahkan kakiku untuk mengikutinya. Ini akan menjadi hari yang menyebalkan.
Dan berakhirlah diriku di ruang tamu rumah Fadli. Ia menyuruhku untuk duduk dan menunggunya sementara dia pergi melesat entah kemana. Kuharap ia segera mengambilkan bukuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...