Suara pintu rumah terbuka membuat ibuku melempar pandangannya padaku. Beliau tengah menata masakannya di meja. Nasi goreng kesukaanku. Ah, setidaknya aroma itu sedikit memperbaiki moodku yang rusak hari ini.
"Ibu pulang awal hari ini?"
"Aku mengambil cuti. Hari minggu besok aku harus berangkat," jelasnya. Sebagai respon aku hanya menganggukkan kepalaku kecil.
Melihat aku yang tidak langsung menghampiri meja makan mungkin terasa aneh bagi ibuku. Semua ekspresiku selalu dapat dibacanya. Orang yang paling mengerti diriku. Dan yang pasti orang yang paling berharga bagiku.
"Kau tak ingin makan sekarang, Erika?" tanyanya sebelum aku melangkah lebih jauh dari ruang itu.
"Aku ingin meletakkan tasku dulu di kamar."
Nyatanya aku tidak hanya meletakkan tasku di kamar. Aku membuka pintu balkon kamarku, lantas memandang sejenak langit yang menyambutku. Setelah puas kuputuskan untuk duduk sejenak di sana.
Sambil menikmati keheningan yang nyaman ini aku ingin bercerita sedikit tentang diriku. Mungkin ini juga akan membosankan.
Miyazaki Erika adalah kata yang tertulis di akta kelahiranku. Jika dihitung dari tanggal yang tertulis di bukti sejarah kelahiranku itu umurku sekarang menginjak tiga belas tahun. Meskipun di sana aku terlahir dari sepasang suami istri yang sah dan masih lengkap kini aku sudah kehilangan ayahku. Mungkin sejak aku berusia enam tahun. Mereka bercerai. Ayahku yang berkebangsaan Jepang itu telah kembali ke tanah airnya. Jika ditanya apa aku ingin bertemu dengan ayahku, kurasa tidak ada anak perempuan yang akan mengatakan ‘tidak’. Tapi, bahkan aku lupa kapan terakhir kali melihatnya. Aku lupa seperti apa dirinya. Hanya nama yang sampai saat ini masih kuingat.
~*~
Pagi yang cerah, sepuluh menit sebelum bel masuk. Suasana ramai menyambut kedatanganku. Lebih ramai dari saat bel masuk hampir berbunyi. Terutama bagi orang-orang berlabel panitia dengan jas paling mencolok itu. Aku bersyukur tidak bersama mereka. "Berjuanglah anak-anak rajin, kesuksesan acara ini bergantung besar pada usaha kalian." Nah, mungkin aku lebih suka di posisi itu.
Ulang tahun sekolah benar-benar hebat. Mungkin itu yang akan dikatakan siswa-siswa. Aku juga tidak menyangkalnya. Melihat guru-guru sibuk dengan stand-stand kreatif mereka lebih menyenangkan daripada melihat mereka sibuk menjelaskan pelajaran disertai mode killer-nya.
Dua hari di hari perayaan akan diisi dengan pertandingan bola volly dan pentas seni. Karena olahraga yang paling terkenal di sekolahku adalah volly, pertandingan antar kelas ini akan selalu ada setiap tahun. Biasanya kaum adam di kelasku akan lebih memilih pertandingan bola volly daripada mewakili pentas seni.
Setelah upacara pembukaan yang dibuka oleh kepala sekolah secara langsung, semua pertandingan pun dimulai. Waktu penggiliran kelasku untuk pentas seni masih lama. Kuputuskan untuk duduk di pinggir lapangan menyaksikan pertandingan pertama kelasku. Di lapangan dua adalah kelasku melawan kelas VIII D, dan dilapangan satu adalah kelas VII H melawan VII A.
Dari tempatku aku bisa melihat kedua pertandingan itu dengan jelas. Tempat yang strategis.Ketika peluit hampir berbunyi aku melihat-nya berjalan kearahku. Sekilas kurasakan desiran aneh di jantungku. Si petugas PMR beberapa hari yang lalu itu tersenyum padaku. Tunggu, apa dia tersenyum padaku? Kuputar kepalaku kekanan dan kiri, banyak sekali gadis yang menjerit padanya. Aku mendesah pelan. Jangan salah sangka. Dia hanya menyapa fans dan bersiap untuk melakukan service, bukan mendekatiku.
"Siapa yang kau ajak senyum?" Celetukan gadis disebelahku membuatku salah tingkah. Namanya Dea. Aku tak tahu apakah dia sahabatku. Selama aku tidak mengerti definisi sahabat, mungkin aku akan menyebutnya ‘teman dekat’.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Teen Fiction"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...