Chapter 31

11 4 0
                                    

Kupandang sedikit lama bunga hanashobu yang selalu mekar di antara musim semi dan musim panas. Lalu beralih ke awan pekat di atas sana. Hujan juga selalu turun di antara dua musim itu.
Tepat ketika aku kembali mamandangi bunga berkelopak ungu di pekarangan sebuah rumah dengan cat putih itu, hujan turun dengan derasnya. Tanpa gerimis sebagai pembuka.

Dengan cepat aku mulai berlari mencari tempat berteduh. Sedikit sulit karena di sini hanya didominasi perumahan penduduk. Tidak lucu jika aku tiba-tiba berbelok ke salah satu rumah asing itu untuk berteduh, kan? Terlebih sebagian atau hampir semua rumah yang kulalui ini tidak berteras.

Setelah berlari cukup jauh aku melihat sebuah ruko di ujung jalan. Kuputuskan untuk berteduh di sana. Tokonya sedang tutup, jalan ini juga sepi, dan yang terparah aku lupa membawa payung. Terpaksa aku harus di sana sedikit lebih lama.

Aku melepas jas yang menempel di tubuhku setelah kurasakan dingin mulai menelimutiku. Jasku basah kuyub. Masih beruntung air hujan itu tidak meresap sampai di kemeja. Namun tetap saja angin yang bertiup bersama hujan ini berhasil membuat alergiku kambuh.

Haccuh!

Bersin pertamaku karena angin serta hujan. Dan setelah itu disusul bersin-bersin lain hingga hidungku memerah. Aku kembali menunggu.
Cukup lama. Tapi tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti sore ini. Aku mendecih sedikit kesal. Seperti dalam dorama saja. Bedanya aku akan terus seperti ini jika aku tidak nekat pulang.

Sementara telapak tanganku mulai membeku kedinginan, tidak jauh beda dengan kakiku meski telah terbalut kaus kaki dan sepatu.

Setelah hujan sedikit lebih reda--sebenarnya masih tidak jauh beda dari yang tadi--aku memutuskan untuk nekat menerjang hujan. Jarak rumahku masih sekitar tujuh ratus meter lagi. Cukup untuk membuatku basah kuyub dengan mandi hujan. Yang menjadi sedikit masalah adalah buku di tas bahuku. Juga handphoneku, mereka bukan spesies yang tahan hujan.

Aku mendengus kesal dan tetap nekat berlari. Kupeluk tas bahuku kuat-kuat dan sedikit membungkuk. Berharap dengan itu isinya tidak akan terlalu basah. Setidaknya aku masih punya seragam ganti.

Di depan pintu utama rumah bergaya tradisional itu aku kembali mendengus. Kenapa pintunya terkunci? Aku tahu keluargaku sedang pergi ke acara pernikahan teman bisnis ayah, tapi aku yakin putri paman Kazuo itu sudah pulang saat ini. Dengan tak sabaran aku menekan-nekan tombol bel berulang kali. Aku bisa menebak Aika pasti akan setengah hati berjalan menuju pintu. Setidaknya dia pasti juga akan terburu-buru.

Udara semakin terasa dingin dan air hujan juga menetes dari ujung rambut dan rok seragamku. Samar-samar aku mendengar derap langkah dari dalam. Pintu geser dibuka cepat dan kudapati Aika memberenggut padaku. Aku hanya menatapnya datar tanpa rasa bersalah--karena aku benar-benar tidak merasa bersalah.

"Bisakah kau lebih sa--wow! Kau tidak membawa baju ganti?"

Seharusnya pertanyaan itu 'kau tidak membawa payung?'. Aku bisa melihat ekspresinya yang hampir tertawa.

Mengabaikannya aku menerobos masuk dan melepas sepatu. Aku bahkan meninggalkan sepatuku yang basah tanpa menaruhnya di getabako. Lantas berjalan menuju kamar mandi. Air hangat yang mengguyur kulitku terasa menenangkan, hingga kuputuskan untuk berendam sedikit lebih lama.

______________________________

Getabako = rak sepatu/sandal
______________________________

~*~

Penjelasan materi sosiologi dari Izumi-sensei terdengar samar di telingaku. Hampir seperti nina bobo.

Setelah peristiwa kemarin aku tidak menangis atau mengurung diri di kamar seperti dalam kebanyakan cerita romance yang kutonton dan baca. Aku masih sama seperti sebelumnya. Dingin, cuek, tidak peduli sekitar, sedikit berbicara, dan jarang tersenyum. Perbedaannya mungkin terletak pada lebih-parah-dari-sebelumnya.

Aku tidak se-patah hati dulu. Entah karena pernah merasakan yang mirip sebelum ini atau karena yang ini sedikit berbeda. Daripada perasaan patah hati karena putus aku malah lebih ke merasa bersalah--amat bersalah--pada Kazuki.

Tadi pagi aku sempat berpapasan dengannya. Dia tetap ceria dan berinteraksi seperti biasa dengan teman-temannya seakan masalah kemarin tidak pernah terjadi. Mata kami juga sempat bertemu namun dia lebih dahulu memalingkan pandangannya dariku. Aku tahu dia menghindariku. Dan dengan sifat tidak peduli sekitar yang kupunya aku mengikuti keinginannya untuk seolah tidak pernah saling mengenal.

Mendadak kepalaku berdenyut. Sakit. Sepertinya aku terlalu memikirkan ini. Tapi tentu mustahil bagiku untuk langsung melupakannya seakan yang kemarin itu hanyalah mimpi. Kuputuskan untuk menyandarkan sebentar kepalaku di atas meja. Ini lebih baik. Seandainya aku bisa ikut merebahkan tubuhku di atas futon hangat, itu akan lebih sempurna.

"Miyazaki-san, apa kau mendengarkanku?"

Keningku berkerut kala mendengar suara samar itu. Mirip suara Izumi-sensei.

"Miyazaki-san?" Lagi, aku mendengarnya. Kenapa Izumi-sensei ada dalam mimpiku?

"Miyazaki-san?!"

Panggilan yang terakhir membuatku terlonjak. Sepertinya aku baru saja tertidur. Dan ketika aku memandangi seisi kelas, hampir semuanya menatapku dan menjadikanku pusat perhatian.

Aku mendapat serangan gugup. Sedikit lama aku dalam mode diam dan gugup setengah mati itu hingga akhirnya aku balas menatap Izumi-sensei yang masih mengangkat buku catatannya. "Ah, ettoo, gomennasai sensei!” ucapku kemudian dan menunduk dalam-dalam.

"Apa sesuatu terjadi padamu? Wajahmu pucat sekali," komentarnya tanpa memarahiku. Ah, beliau sedikit mengingatkanku pada ibu. "Jika kamu sakit pergilah ke UKS," perintahnya kemudian dengan suara lembut.

Doaku seperti terkabul. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. Lagipula tetap di sini dan menahan malu bukanlah pilihan yang bagus. Kuanggukkan kepalaku pelan untuk meresponnya. "Hai', arigatou gozaimasu sensei." Lantas aku pamit undur diri.

Di luar dugaan kepalaku semakin berdenyut ketika aku berdiri untuk berjalan. Kakiku terasa lemas seperti ikut merasakan imbasnya. Padahal seingatku aku tidak lupa untuk sarapan tadi pagi. Aku menelan air liurku ketika kurasakan tenggorokanku yang perih. Ini bahkan lebih dari sekedar alergi. Mungkin aku demam.

Kembali kepalaku berdenyut. Aku berhenti sebentar untuk bersandar dan menutup keningku dengan telapak tangan yang bergetar. Kakiku yang semakin lemas berlutut di lantai. Ini sungguh tidak baik.

Meski diriku hampir kehilangan kesadaran aku masih bisa menopang tubuhku dengan tangan yang bergetar. Hingga akhirnya sebuah tangan terulur padaku. Aku yakin itu bukan tangan hantu karena tangan itu terasa hangat saat aku menyentuhnya.

Dia menarik tubuhku untuk berdiri. Siapa pun dia, jika aku sanggup mengumpat maka akan kukatakan padanya, "Menarikku untuk berdiri adalah keputusan yang bodoh."

Namun terlepas dari itu pandanganku semakin berkunang-kunang, hingga akhirnya tubuhku limbung dan menjatuhinya. Meskipun aku bilang menjatuhinya kami sebenarnya tidak jatuh. Dia hanya mundur beberapa langkah dan kembali berdiri tegak.

"H..hei." Suara itu hampir kukenali tapi aku tidak tahu. Sepertinya dia panik saat aku pingsan. Dia sempat mendudukkanku di lantai dan menyentuh keningku dengan tangannya yang--kurasa--lebih lebar dariku.

Aku hanya mengingat sebatas itu sebelum akhirnya kesadaranku benar-benar pergi.

~~~TBC~~~

Publikasi [24 Agustus 2019]

Salam hangat
Asano Hime~

Kimi Ga Suki Dakara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang