Aku lupa dengan kejadian kemarin hingga aku menolak ajakannya untuk pergi ke kantin bersamanya siang ini. Maaf saja, pelupa bukan lagi hal asing jika menyangkut tentangku. Aku baru saja selangkah akan meninggalkannya tapi dia menarik tanganku yang mau tak mau aku harus kembali menatap matanya.
Jika aku langsung menatap matanya kurasa aku lebih senang dengan hal itu daripada tingkah jailnya yang tak kuperkirakan sebelum ini.
Mataku membulat. Kulihat benda berbentuk persegi panjang tengah berada di genggaman laki-laki itu. Handphone. Benda itu membelakangiku, dan detik itu juga muncul kilatan cahaya di salah satu ujungnya.Lantas Fadli menarik sudut bibirnya. Kurasa dia cukup puas dengan ini. Satu yang tak pernah terpikirkan. Atau memang aku yang tidak mengenalnya. Dia sungguh jail! Itu terlampau menyebalkan.
"Ap--"
"Waah, aku seperti fotografer handal saja!" Dia tersenyum. Senyum yang membuatku ingin merobek mulutnya.
Masih dengan senyumannya ia menambahkan, "Kau punya dua pilihan. Mengantarku atau membiarkan foto ini viral. Aku punya pengikut banyak lhoo. "
Masa bodoh dengan pengikutnya yang jutaan. Aku tergoda untuk merebus makhluk sialan ini hidup-hidup. "Kauu! Hapus sekarang juga!" Jika kutahu sifatnya ini lebih awal aku takkan sudi menjadi temannya. Persetan dengan balas budi karena telah menyelamatkanku. Aku bisa mencari cara lain untuk membalasnya.
"Hanya mengantarku. Aku tidak mengerti, apa yang membuatmu kesulitan untuk mengantarku makan siang?"
Aku ingin berteriak, "KEPOPULERANMU, BODOH!" tapi sepertinya itu tidak membantu, hingga akhirnya aku mulai berinisiatif untuk merampas handphoneku dari genggamannya. "Sial! Cepat hapus fotonya!" umpatku yang tentu sama sekali tidak digubrisnya. Ia mengangkat handphoneku tinggi-tinggi, menghindari tanganku yang dengan brutal mencoba meraih benda itu. Aku mengumpat lagi. Meskipun hanya beberapa cm saja selisih tinggi kami, aku tetap kesulitan menjangkau ujung tangannya.
Ia kembali tersenyum seperti tadi. "Kau tidak akan bisa menyentuhnya dengan tinggimu yang sekarang."
Sombong! Akan kucari seribu cara untuk mengutuk pertumbuhanmu berhenti! "Cepat hapus sekarang juga!" Aku masih pada aksiku merampas handphonenya.
"Bukankah lebih baik kau makan untuk menambah tinggi badanmu?"
Aku menggeram kesal. Kesabaranku habis. Dengan sekuat tenaga kutarik lengan bajunya berniat membuat tangannya lebih rendah. Fadli melangkah mundur. Ia hampir berhasil jika saja sepatuku tidak menginjaknya sekarang.
Saat tangannya mulai merendah kukira aku telah berhasil. Tapi dugaanku salah. Yang ada kami malah terjatuh dengan posisiku yang berada di atas Fadli. Sepersekian detik aku dalam posisi itu sebelum akhirnya aku menyadarinya. Wajah dan tubuh kami terlalu dekat.Rasanya seperti de javu.
Aku tak tahu lagi seperti apa ekspresiku saat ini. Dengan cepat lantas aku berdiri dan memandang sekilas ke sekelilingku. Celaka! Beberapa murid yang masih berada di kelas menatap kami. Oh, tidak, jangan salah paham lagi, batinku. Tanpa memedulikan kondisi Fadli aku berlari meninggalkannya yang masih terduduk di lantai kelas.
~*~
Satu jam pelajaran telah berlalu namun Fadli baru saja datang, masuk ke kelas dengan senyum seolah tidak terjadi apa pun. Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu di pelajaran matematika dengan guru yang termasuk dalam kategori killer? Entahlah, bukan urusanku.
"Maaf pak, saya terlambat," katanya dan langsung berjalan menuju bangku di sisi kiriku.
"Fadli, siapa yang memintamu duduk?!" Beliau membentak yang membuatku ikut merinding saja. Pasalnya Fadli sekarang tengah berdiri di sebelahku. Ia membuat tatapan guru itu seolah tertuju padaku juga.
"Tidak ada Pak, murni keinginan saya sendiri," jawabnya masih dengan nada yang sama.
"Kemarilah, kerjakan sepuluh soal ini di papan tulis! Sekarang!"
Nah, Tuan Populer, apa yang akan kau lakukan sekarang? Aku sedikit kasihan. Dia tertinggal materi ini karena terlambat masuk kelas. Dan sekarang ia harus menyelesaikan sepuluh soal itu di papan tulis? Kuharap dia tidak gemetar saat memegang spidol nanti.
Suasana menjadi ramai ketika Fadli mulai menulis pekerjaannya di papan tulis. Entah mereka sedang memuji kecerdasan Fadli yang dengan lancar mengerjakan soal-soal matematika yang mereka anggap susah setengah mati, ataupun sibuk mengobrol sendiri dengan teman sebelah bangkunya.
Aku sendiri nyaris melongo tidak percaya dibuatnya. Ia menyelesaikan 10 soal itu hanya dalam waktu 20 menit. 20 menit! Bagaimana bisa? Berfikir positif, mungkin dia mengikuti bimbingan belajar di rumahnya. Tapi tetap saja itu luar biasa.
"Kerja yang bagus, Fadli. Tapi lain kali kuharap kau tidak mengulanginya lagi."
"Baik, Pak." Fadli kembali ke tempat duduknya.
"Dan satu lagi, jangan lupa untuk melengkapi catatanmu karena itu juga akan menjadi penilaian di akhir semester nanti. Kau bisa meminjamnya pada temanmu yang lain," tambahnya.
Aku yakin ini bukan hanya perasaanku. Fadli kembali menatapku. Beberapa saat aku membiarkannya. Aku hampir tahu apa yang ad di pikirkannya. Setelah aku menyerah dan tak tahan dengan tatapan itu aku memutar kepalaku cepat untuk balik menatapnya.
"Apa?" tanyaku sinis. Aku masih ingat apa yang dia lakukan padaku tadi di jam istirahat. Dan aku tidak akan memaafkannya sebelum dia menghapus foto itu.
"Boleh kubawa pulang catatanmu?" jawabnya dengan pertanyaan. Jangan lupa senyum manisnya. Senyum palsu.
"Kenapa harus aku?" tanyaku tidak peduli.
"Ada yang salah?"
Aku memutar bola mataku jengah. "Ada yang lain, kan? Aku tak berminat sedikit pun untuk meminjamimu," jawabku to the point. Beberapa detik dia tidak membalas, dan dalam sepersekian detik itu aku merubah isi pikiranku.
"Ah, atau kau bisa meminjamkan hanphonemu dan membiarkanku menghapus foto konyolku dari benda menyebalkan milikmu itu," usulku dengan senyum puas. Seolah aku baru saja berada di posisi Fadli dan berhasil mengerjakan soal matematika itu dua kali lipatnya. Setidaknya aku diuntungkan di sini, bukan?
"Baiklah anak-anak cukup dari saya hari ini. Jangan lupa minggu depan ulangan, ya? Selamat siang." Guru itu pun pamit begitu bel pergantian pelajaran berbunyi. Aku kembali menatap Fadli yang masih terlihat menimbang. Lalu mendengus.
"Apa yang kau bingungkan? Bukankah ini adil? Kau mendapat buku catatanku dan aku bisa menghapus fotoku dari handphonemu."
Melihat raut wajahnya aku sedikit khawatir dia akan menolak ide yang kuusulkan. Bukankah itu buruk? Tapi aku bersyukur ketika ia mengiyakan ideku dan aku pun dapat menghapus foto bodoh itu dari handphonennya.
~~~TBC~~~
Publikasi pertama [18 Desember 2017]
Revisi [10 Juli 2019]Salam hangat
Asano Hime~
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ga Suki Dakara [Completed]
Fiksi Remaja"Erika ga suki dakara." Sejenak aku merasa waktu berhenti bersamaan dengan langkahku yang tertahan. Dalam hembusan angin terakhir di musim panas itu iris mataku terkunci pada dirinya. Sudut bibir itu terangkat menyambutku. Senja terasa lebih menyila...