Munir Garena. Aku nggak akan lupa nama itu. Cowok songong yang untuk kali pertama sekelas udah lempar kepalaku dengan kaus kaki yang dibuntal-buntal jadi bola. Bukannya minta maaf malah cekikikan. Blangsak emang!
Aku ingin marah saat itu. Tapi entah kenapa nggak bisa ngomong. Cuma bisa mendem. Mungkin baru aja kenal jadi aku masih punya batasan. Mau nangis juga ditahan walaupun sakit. Lagian baru pertama masuk udah nangis kesannya lebay banget.
Hari-hari berikutnya aku mulai tahu kelakuan mereka memang brutal banget. Sering telat masuk dan nyelonong ke kelas dengan wajah tanpa dosa. Pernah sekali mereka hendak masuk kelas. Kebetulan hari itu sedang pelajaran Pak Guntur, guru sosiologi.
"Pak, izin masuk." Yang bicara itu Andi. Cowok berbadan segede badak yang nakalnya nggak ketulungan. Di belakangnya ada Gino, Fahrul, dan Wawan.
"Dari mana kamu?" tanya Pak Guntur santai dari kursinya.
"Habis dari toilet, Pak."
"Dari toilet mulut minyakan gitu. Teman kamu masih ngunyah lagi. Belajar bohong kamu?"
Kami yang ada di kelas cuma diam, pandangan tetap fokus pada Andi dan teman-temannya. Ekspresi mereka ada yang takut, merasa bersalah, bodoh amat, dan acuh tak acuh.
"Kenapa diam?" suara Pak Guntur kembali menggema. Dia seperti menusuk murid-murid itu melalui tatapannya. "Kalian, baru seminggu jadi kelas sebelas udah melanggar aturan. Mau jadi apa kalian ini?"
"Ma-maaf, pak. Kami tidak akan mengulanginya lagi. Tapi kami boleh ikut belajar?" ujar Dodo.
"Boleh," ucapan Pak Guntur membuat mereka berseri. Tetapi itu sebelum beliau melanjutkan. "Oke silahkan masuk. Tapi jangan lupa tutup pintu dari luar."
Mereka diam sebentar dengan wajah oon. "Kalo tutup pintu dari luar, terus kita gimana?"
"Ya belajar di luar."
"Yaelahh.."
Lalu, aku dan teman-teman yang ada di kelas terbahak.
📊
"Gue lebih suka waktu kelas sepuluh. Cowoknya nggak begini-begini amat. Bisa stres lama-lama." Aku membuka percakapan saat bersama Ana dengan unek-unek yang kutahan beberapa hari ini. Saat itu kami sedang duduk di kursi panjang depan kelas.
Ana cuma mengangguk. "Tapi ya udahlah. Itu kan dulu. Coba jalani aja."
"Tapi.. tetep aja gue nggak suka. Gue kangen deh kelas kita yang dulu. Kangen orang-orangnya. Kangen Elsa, Rika, Vika, Nurjanah, Piqni, Algin dan lainnya." Aku mengenang.
"Udah bosen tau dengernya. Terus aja lo ngomong gitu." Perkataan Ana sedikit menyinggungku. Mungkin benar kali ya, aku terlalu berlebihan. Tapi kan, aku cuma ingin ada yang mendengarku saja.
Setelah itu, aku bungkam. Ana lalu mengajakku ke kantin. Tapi aku nggak mau. Aku kemudian hendak mencari Lisa. Tapi teringat bahwa cewek itu sedang ada rapat pramuka. Terpaksa deh ikut Ana ke kantin.
Ada baiknya juga aku pergi ke kantin, bisa ketemu sama teman-teman waktu kelas sepuluh. Saat itu aku bertemu dengan Elsa. Teman curhatku. Dia tersenyum dan menyapaku. Aku membalasnya.
"Elsa, kamu kelas IPA berapa?" tanyaku membuka obrolan.
"Aku IPA-2," jawabnya. "Kamu?"
"Aku IPS-5. Uh, nyesel deh nggak masuk IPA. Kenapa dulu aku nggak ngikutin kamu aja. Kangen sama kalian."
"Iya ih, Vit. Kenapa juga waktu itu kamu ganti."
"Aku juga nggak tau, Sa. Nggak punya prinsip kali ya."
Elsa tersenyum tipis. "Ohya Angga juga di kelas IPA loh."
Aku membulatkan mata. "Angga? Loh katanya dia pindah. Kok bisa?"
"Yaa nggak tahu. Aku sekelas sama dia."
"Wah parah tuh anak. Ya udah deh, aku duluan ya ke kelas." Aku kembali ke kelas bersana Ana dan lainnya.
Kemudian otakku sibuk berpikir. Angga nggak jadi pindah, kok aneh ya tuh anak. Gaje bener.
"Ngapain sih lo senyam-senyum sendiri?"
Eh? Aku tersadar saat mendengar suara Ana. "Ngg.. gak papa," cengirku.
Emang iya ya aku senyum-senyum sendiri? Aaahh...
Tetapi jujur, hari itu ada yang berbeda dengan perasaanku. Entahlah. Yang pasti, aku senang mendengar cowok itu nggak jadi pindah.
📊
Waktu berlalu. Hari demi hari. Tak terasa sudah satu bulan lamanya aku hidup di sarang badak. Eh maksudnya di kelas IPS-5 yang penuh dengan hal-hal gila. Bisa ditebak gara-gara siapa? Yaps. Ini semua ulah Munir dan kawan-kawan. Nakalnya melebihi Giant dan Suneo. Ah Doraemoooon!
Sudah dua hari ini kelas sering jam kosong. Aku lihat ke kelas lain ternyata sama. Siswanya berkeliaran nggak jelas. Oh iya! Sekarang kan tanggal 13 bulan Agustus. Nggak salah lagi pasti guru-guru sengaja memberikan kesempatan kepada masing-masing kelas untuk segera mempersiapkan tema karnavalnya. Seperti tahun lalu.
Di kelasku ternyata sudah mulai heboh.
"Woi, ini gimana tema karnaval 17 Agustusan kelas kita?" Munir berteriak di depan kelas.
"Gimana kalo nikahan aja?" Amber mengusulkan.
"Ah itu mah terlalu mainstream. Yang lain?"
"Ulang tahun!"
"Marvel The Avengers!"
"Harry Potter!"
"Wonder Woman!"
Kulihat wajah Munir memelas. Lantas dia mendecak. "Yakali nggak ada yang lebih etis gitu selain itu?"
"Gue punya usul," seru Giya. "Temanya peperangan aja. Biar rame."
"Iyee rame, lu cewek semua pasti pengen jadi warga lokalnya terus kita cowok jadi warga Belanda. Terus aja jadi orang jahat," kini yang menimpali ialah Wawan. Cowok sok cakep, tumor alias tukang molor, dengan penampilan semrawut yang hobinya gangguin cewek. Selain itu dia juga terkenal dengan gelarnya sebagai playboy. Tapi sayangnya dia pintar matematika.
"Lah emang tampang kalian gitu, kan?"
"WOI enak aja lo!"
"Sutt.. sutt.. udah." Munir menengahi. "Daripada ribut-ribut, nih gue udah punya ide. Gimana kalo temanya kematian aja?"
"APA?!"
*****
-Inayivsil
-14-12-2017

KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Jugendliteratur#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...