Geografi 36

1.2K 80 3
                                    

Tahun baru sudah berlalu. Begitu pun liburan juga sudah usai. Selamat datang lagi ke sekolah. Bersama tugas-tugas yang menumpuk, soal-soal latihan bejibun, ujian praktek mendatang, dan ulangan-ulangan yang pasti lebih banyak dari sebelumnya. Huh!

Dan hari sudah kembali Senin, diiringi upacara bendera dengan terik mentari yang menyengat. Sabar, sebentar lagi juga berakhir.

"Deuh, panas banget ya," celetuk Lisa selepas upacara selesai. Ia mengipaskan tangannya untuk mengusir gerah.

"Iya. Tapi nikmatin aja hari-hari yang masih bisa kita jalani. Gak lama lagi, kita akan rindu saat-saat seperti ini," balasku dengan mimik sendu. Saat itu kita sudah sampai di dalam kelas.

Untung hari Senin gak ada pelajaran Matematika, kalau ada kan udah pasti menderita banget. Apalagi pelajaran pertama.

"Guys, jajan yuk ke kantin," ajak Amber tiba-tiba. "Laper nih," tambahnya seraya mengusap-usap perutnya.

"Yeu makan mulu yang dipikirin, pantes aja gendut," cibir Munir yang kontan dibalas delikan oleh Amber.

"Biar gendut, aku tetap padamu Amber!" seru Wawan sambil mengerling manja. Amber cuma meringis geli.

"Cieee.. cieee.." siul kami. Kulihat Amber cuma mendengus. Membuat kami tertawa. Dasar Wawan! Setiap cewek diembat! Pertama Shira, lalu Helma, terus Putri. Kemarin Kina, sekarang Amber. Besok siapa lagi?

"Malah ngobrol lagi, kerjain tuh PR!" teriak Lisa.

Kami semua menoleh terkejut.

"Emang ada PR ya?" tanyaku polos.

"Ada."

"Apa?"

"Tapi bohong. Haha."

"Ih anjir! Awas lu!" Cowok-cowok pada ngamuk sama Lisa. Sementara cewek-cewek menyorakinya. Lisa cuma ketawa-ketiwi aja.

Di tengah itu, Bu Devi datang, menyembulkan wajahnya di ambang pintu, dan kami langsung terdiam. Takut.

"Istirahat pertama, gabung sama IPS 1 ya. Ada yang sosialiasi. Oke?" ucap Bu Devi tegas.

"Iya, Bu," jawab kami serentak.

Seperginya Bu Devi, kami kembali bising. Dasar kelakuan! Emang paling seru ngabisin hari sama teman-teman.

📊


"Tugas lagi tugas lagi. Sialan nih sekolah. Kerjaannya tugas mulu. Dikira kita dewa apa ya?" celoteh Dodo siang itu.

Emang sih, kadang heran juga. Perasaan tiap hari tugas mulu. Yang ini belum ngerti udah disuruh ngerjain, terus aja gitu. Bikin mumet!

"Tau gini mah gue ke Hogwarts aja! Lumayan kalo gurunya keterlaluan, gue bisa sihir dia jadi kodok," timpal Munir. Aku cekikikan mendengarnya.

"Udah, udah. Tugas itu kan ibarat latihan. Ngasah otak kalian supaya bisa," ceramah Lisa.

"Serah deh serah," balas mereka tak peduli. Lagi, aku cuma ketawa.

"Liat dong liat nomor empat!"

"Bentar, gue juga belum selesai."

"Yeu gak usah pada ngerjain, kita mau jadi TNI bukan guru. Udah udah cemen lu pada!" omel Dodo sambil merebut buku dari Ardi.

Kita cuma geleng-geleng kepala ngeliat tingkah mereka. Apa hubungannya TNI sama ngerjain tugas matematika? Ini kan beda kepentingan. Padahal, siapa tahu aja ilmu yang didapat sekarang bisa berguna untuk masa depan. Ah emang dasar Dodo aja!

Keesokan harinya, waktu pelajaran Geografi, kelasku kedatangan Pak Asep, guru biologi. Katanya beliau ingin bertemu dengan Munir. Namun, saat itu Munir gak ada entah kemana. Padahal tasnya masih ada di kelas. Serentak saja aku dan teman-teman saling menatap dan bertanya dalam hati. Melihat raut wajah tegang yang ditampilkn Pak Asep.

Sebelum Pak Asep keluar, dia sempat membisikkan sesuatu kepada Pak Aslim. Langsung saja Pak Aslim juga terlihat tegang. Membuat kami tambah penasaran. Ada apa sebenarnya?

Kemudian setelah Pak Asep pergi, dengan lirih dan pelan, Pak Aslim bersuara. "Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Anak-anakku, Bapak baru dapat kabar bahwa Ibu dari saudara kita, yaitu Munir, telah wafat hari ini. Mari kita doakan yang terbaik untuk beliau dan keluarga yang ditinggalkan."

Kami semua langsung mematung. Wajah-wajah di kelas ini berubah sendu seketika. Tak menyangka kabar yang harus diterima hari ini adalah berita buruk. Bagaimana perasaan Munir saat mengetahuinya?

Aku tidak bisa membayangkan jika berada di posisi Munir. Misalnya, dikala aku sedang asik tertawa dengan teman-teman, tahu-tahu seseorang memberitahu bahwa Ibuku sudah pergi. Sungguh, terlalu berat untuk sekedar dibayangkan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Apa masih bisa tersenyum atau tidak setelahnya. Kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidup pasti akan membuat kita sangat terpukul. Tetapi kita harus ingat, kematian adalah sesuatu yang pasti.

Tanpa sadar, air mata kami bercucuran ketika menyaksikan Munir masuk ke kelas dengan air muka yang sarat akan kepedihan. Sepertinya dia sudah mendengar kabar itu. Sebab, Pak Asep berjalan di belakangnya.

Munir menunduk tanpa menatap kami tatkala berjalan untuk mengambil tas. Saat itu, entah orang lain sadar atau tidak, aku bisa melihat sesuatu terjatuh dari kelopak matanya. Menangiskah dia? Tentu saja. Sekuat apa pun Munir, dia tetaplah manusia yang punya sisi rapuh ketika tahu, sosok yang paling disayanginya harus meninggalkan dia untuk selamanya.

"Teman-teman, nanti istirahat kita ke rumah Munir ya," lirih Amber yang langsung kami beri anggukan.

📊

"Vit! Vita, lo mau kemana?" aku mendengar suara Uji dari belakang. Terpaksa aku menghentikan lariku.

"Jenguk Munir, Ji," jawabku saat menoleh.

"Kok cuma sendiri? Temen-temen lo mana?"

Aku mendesah. "Gue ketinggalan bus. Tadi abis ke toilet dulu."

"Oh. Ya udah gue anterin deh," tawarnya.

"Eh nggak usah. Gue gak mau ngerepotin lo." Aku mencoba menolaknya. Serius, bukan sok jual mahal. Tapi aku emang nggak mau buat Uji repot. Dia udah banyak membantuku.

"Yaelah, kayak sama siapa aja. Udah gue anterin. Gue juga kan pengen jenguk, Vit," paksa Uji.

Setelah dipikir-pikir, akhirnya aku menyerah. "Ya udah deh cepetan."

Aku mengikuti Uji ke lapangan parkir. Entah kebetulan atau apa, tepat ketika aku sudah menaiki motor Uji, aku sempat melihat Angga dan Piqni berjalan di sekitar situ. Entah sedang apa mereka. Bahkan, cowok itu juga melihatku dan sempat terkejut. Tapi aku cepat-cepat membuang muka. Tidak mau ketahuan memperhatikannya. Ini adalah caraku untuk perlahan menghapus dia dari pikiranku.

Setelah itu, motor Uji benar-benar melaju keluar dari pelataran sekolah.

Tak berapa lama, saat sampai di depan rumah Munir ternyata sudah banyak orang berkerumun. Aku dan Uji menyusul teman-teman di dalam. Terdengar tangis pecah di sana. Kusaksikan wajah teman-teman yang menangis terisak. Aku duduk dan tanpa sadar ikut menangis.

Di seberang sana, Pak Guntur tengah mencoba menguatkan Munir yang tak bisa berhenti menangis. Sungguh menyakitkan.

Aku merasakan seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh pada Uji dan tersenyum getir.

Selintas, kurasakan ada sepasang mata mengawasiku. Namun kuhiraukan.

Pada akhirnya, hari ini adalah hari duka.

****

-Inayivsil
-30-06-2018

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang