Hah!
Hari pertama masuk di kelas baru tak begitu mengesankan. Apaan dah, yang ada aku bingung pada kemana penghuni adamnya? Yang masuk cuma cewek semua. Aneh nggak sih?
Padahal aku udah ngebayangin bakal ketemu sama cogan-cogan kayak di film-film. Tapi kalau begini caranya, gimana mau membuat masa putih abu berwarna?
"Revitaaaa!!" Suara cempreng seorang cewek mengalihkan fokusku yang tengah merenungi nasib. Lisa berjalan menghampiriku dengan wajah sumringah seperti baru saja mendapatkan kupon lotre berhadiah.
"Apaan?" tanyaku penasaran.
"Gue berhasil pindah ke sini. Yeay! Akhirnya kita bisa sekelas," serunya semangat.
Lisa, sahabatku dari kecil. Sahabat dari SD, SMP sampai SMA sekarang. Dari tiga tahun yang lalu baru kali ini lagi aku dan dia sekelas. Seneng? Iyalah! Dia tuh sahabat seperjuangan, susah senang kita hadapi bersama. Bosen? Ada sih. Tapi nggak mau ngomong.
"Hohoo bagus dong." Aku mengacunginya dua jempol sambil tersenyum. "Eh, tapi lo mau sebangku sama siapa?"
Lisa diam seolah berpikir. "Sama lo nggak bisa?" tanyanya kemudian.
Aku menggeleng. "Gue udah sama Ana." Pada akhirnya karena temannya Ana nggak bisa pindah, aku bersedia sebangku sama dia yang kebetulan saat itu sedang tidak ada di kelas. Entah kemana.
Wajah Lisa sedikit berubah kecewa. Tetapi kemudian cewek itu mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas, mencari kursi kosong. Yakali dia nyari pangeran nyasar. Nggak bakal ketemulah! Aku aja belum nemu-nemu dari sejak pertama kali ke kelas ini.
"Eh, di sini kosong nggak sih?" Lisa menunjuk sebuah kursi di barisan depan. Wajahnya kembali ceria.
Aku menoleh sesaat, pikiranku mencoba mengingat-ingat sesuatu. "Nggak tau sih. Tapi kayaknya kosong deh. Di sampingnya udah ada Giya. Coba aja lo tanya dia."
Setelah menyimpan tasnya di kursi yang tadi dimaksud, Lisa mengajakku untuk mencari Giya. Maklumlah, hari pertama memang siswa-siswi lebih tertarik keluyuran di luar menghabiskan waktu karena harus berpisah kelas dengan teman-teman mereka. Kalau aku? Seloow, netral. Realistis. Nggak muluk-muluk.
Setelah mencari-cari, ternyata Giya malah ada di taman sekolah sedang mengobrol dengan temannya. Tuh, kan benar dugaanku!
Sebenarnya memang tak susah mencari seorang Giya Aridina, malahan gampang banget. Tentu saja, dari sekian banyak siswi SMA di sekolah ini, cuma dia doang yang pakai kerudung. Asli, cuma dia. Dengar-dengar, dia itu memang salah seorang santri dari pesantren tak jauh dari sekolah ini. Jadi dia sekolah sambil mesantren. Keren ya keren.
Tetapi yang jadi masalah, ngapain coba bapaknya masukin dia ke sekolah yang mayoritas penghuninya kagak pakai jilbab? Patut dipertanyakan, tapi sebenarnya aku tidak mau ambil pusing.
"Hei, Giya ya?" Lisa memamerkan senyum sok arabnya pada teman baruku ini saat mereka sudah berhadapan. "Gue boleh duduk sebangku sama lo nggak?"
Awalnya Giya sedikit bingung, ia bahkan menoleh ke arahku yang hanya kubalas dengan sedikit nyengir, tapi akhirnya gadis itu menjawab pelan. "Iya boleh."
Dan berakhirlah dengan aku yang harus mendengar Lisa teriak-teriak nggak jelas. Malu-maluin!
📊
Akhirnya, setelah dua hari jam kosong, luntang-lantung nggak jelas, ada juga guru yang masuk. Tapi ya nggak asing bangetlah. Itu kan guru ekonomi sekaligus wali kelasku waktu kelas sepuluh.
"Loh, loh, ini kemana yang lain? Laki-lakinya kemana?" tanya Bu Ina dengan bingung. Celingak celinguk dari bangkunya. Yaah, jangankan dia, kita aja bingung.
Sebenarnya ada satu cowok, wajahnya lumayan. Pas diabsen dia bernama Ardi. Lah, dia ikut bingung sebab isinya cuma cewek. Tetapi mendengar ucapan Bu Ina barusan, dia sontak terkejut.
"Bu, ibu nggak bisa liat saya laki-laki?" serunya sambil mengacungkan tangan dengan mimik wajah tak terima.
Bu Ina juga terkejut. "Iya ibu juga lihat."
"Terus kenapa bilang nggak ada laki-lakinya?"
"Itu kan cuma perumpamaan. Ih ari kamu."
Kulihat Ardi cengengesan di bangkunya. Kemudian hening sesaat sebelum kemudian Bu Ina kembali berbicara.
"Oke, mungkin kalian sudah kenal dengan ibu. Hari ini perkenalan aja dulu. Di sini, kebetulan kalian diwalikelasi oleh ibu."
Whaat?
Nggak salah?
Lagi?
Bosen!
Ketika itulah aku mendengar suara ribut, hentakan kaki cepat-cepat di luar kelas, bahkan ada suara tawa. Aku dan teman sekelas merasa teralihkan untuk menengok ke arah pintu.
"Assalamu'alaikum. Bu, izin masuk!"
Bu Ina menoleh dari balik kacamatanya. "Wa'alaikumsalam. Iya silakan masuk."
And guess what? Segerombolan anak badak. Ralat. Segerombolan anak manusia bertubuh tinggi, baju seragam tidak dimasukan ke celana, penampilan awut-awutan masuk dan nyelonong tanpa dosa ke kelas. Wajahnya nyeremin. Sebenarnya mereka siswa apa gangster sih?
Serius ini yang akan jadi teman sekelasku?
Astagfirullah.. mimpi apa aku semalam.
Serius, imajinasiku tentang cogan ambyar semua. Buyar. Kabur. Blur!
Aku cuma diam terlemas di kursi.
*****
-Inayivsil
-01-12-2017

KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Teen Fiction#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...