Selasa ini bisa dibilang hari nyebelin. Gara-gara siapa? Gara-gara mereka lagi. Setiap harinya adaa aja masalah yang dibuat. Nggak bosen-bosen. Nggak abis-abis. Heran deh.
Kelas udah bagus dirusakin. Siapa yang nggak kesal? Hari ini kebetulan kelasku sedang free alias jam kosong. Biasanya, jam kosong adalah surganya para pembuat onar seperti mereka. Mereka siapa? Ya mereka, Wawan, Munir, Andi, Dodo, Gino, Ardi, Anang dan kawan-kawan lainnya. Sekarang ini orang-orang itu sedang ngelakuin hal yang nggak beres.
"Heh, ngapain sih lo pada mukul-mukul lantai? Kayak nggak ada kerjaan aja!" Giya berteriak mewakili kami, para siswi semua. Patut diketahui, di antara kami emang cuma si cewek santri itu yang berani sama mereka.
Kemudian Wawan menjawab dengan watadosnya. "Lho, justru ini kerjaan kami. Lah kalian, cuma ngeliatin doang. Bantuin kek."
"Bantuin apa, huh? Bantuin ngerusakin kelas? Gila ya lo!" seru Ana kesal.
"Kenapa lo, nggak suka? Keluar!" Timpal Dodo tak kalah sengit. Seakan tak peduli, ia melanjutkan lagi memukulkan batu pada permukaan lantai sampai pecah-pecah.
"Sebenarnya lo rusakin keramik buat apa sih? Lo mau kelas kita dicontreng lagi?!" Kali ini, Amber juga keliatannya udah nggak sabar dengan kelakuan absurd mereka.
Aku membenarkan perkataan teman-temanku. "Tau, gue juga heran isi otak lo semua tuh apa sih?"
"Yaelah ni cewek bacot semua. Jelasin, No," sahut Munir kepada Gino. Sepertinya aku bisa melihat mereka juga mulai naik darah karena merasa diatur-atur.
"Gini, dengerin, semua. Pertama lo gak liat lantai kita keramiknya udah pada bolong, udah retak-retak gini, jadi daripada nungguin rusak baru dibenerin, mending sekarang aja kita rusakin biar cepet diganti. Jelas ibu-ibu?"
Heh, mengesankan. Sumpah itu adalah alasan yang paling nggak masuk di akal. Bilang aja emang tangannya nggak bisa diem. Dulu aja sebelum ini, mereka ngerusakin lampu kelas sampai pecah berkeping-keping. Selain itu, papan tulis juga dirusakin. Ditendang-tendang sampe mengelupas. Dan sekarang, rusakin lantai?
Kurang anarkis gimana lagii?!!
Fiks, lama-lama aku bisa darah tinggi gara-gara harus berurusan dengan orang-orang itu.
"Lo gak takut kita aduin ke guru?" Giya kembali berteriak.
"Aduin?" Mereka tertawa. "Aduin aja, emang gue peduli," balas Gino. "Tapi jangan harap lo bisa sekolah lagi!"
Jederr! Satu lagi, mereka itu emang sadis. Garis bawahi. SADIS!
Astagfirullah...
Daripada naik darah dan sakit leher karena harus geleng-geleng kepala ketika sebuah pot lengkap dengan bunganya diletakan di atas tanah bekas keramik yang tadi mereka hancurkan. Kepingan keramiknya sudah mereka buang ke tong sampah. Gile, sumpah.
"Udah ah kita keluar aja yuk," ajak Ana. Aku menyetujuinya.
Begitulah hari-hari naasku berawal di sini, berawal dari sekelas dengan mereka. Biasanya aku cuma lihat di tv atau baca cerita, tapi kini aku mengalaminya. Bahkan lebih jauh dari perkiraan. Ngenes sekali.
📊
Masih ingat dengan Raisa?Bukan, bukan Raisa penyanyi "Kali Kedua" yang nikah sama Hamish Daud. Yaelah, jauh banget. Hehe canda.
Oke biar aku jelaskan. Sudah aku sebutkan bahwa Raisa itu pelawak nomor dua setelah Munir. Iya, kata-katanya kadang ngelancong kemana-mana tapi bisa bikin kita ketawa gitu aja.
Nah, kalau ada pelawak pasti ada yang ketawa. Benar bukan? Ya kan? Ya nggak sih?
Ini berhubungan sama Arlina. Dia itu teman sebangku Raisa dari kelas sepuluh. Pantas pas awal masuk ke kelas sebelas berdua mulu. Arlina ini tipe cewek yang suka ketawa. Sukaa banget. Maksudnya nggak ketawa sendiri. Yakali kuntilanak.
Arlina gampang banget ketawa sama hal receh sekali pun apalagi kalau lagi bersama Raisa. Pas banget kan tuh orang bedua. Yang satu tukang ngelawak, yang satu tukang ketawa. Kolaborasi yang sempurna. Cielah.
Kayak misalnya lagi ngobrolin pelajaran Ekonomi yang gurunya kadang gak pernah masuk dalam seminggu.
"Menurut gue mah, tuh guru kagak usah ngajar aja. Tiap masuk, diskusi lagi diskusi lagi, tiap nggak masuk, ngasih tugas terus. Dikira kita dewa apa?" gerutu Raisa disusul gelak tawa Arlina. Entah apa yang lucu, tapi kami juga membenarkan perkataannya.
"Kan mungkin dia lagi sibuk," timpal Lisa santai.
"Ada gituh sibuk tiap hari. Okelah, dimaklum. Yang jadi masalah, dijelasin nggak tapi tiba-tiba ulangan aja, siapa yang gak kesel? Siapa? Bapak presiden? Bapak gubernur? Bapak camat? Mereka nggak kesal, sebab kita yang kesal. Dikata urang teh Albert Einstein yang bisa ngerti tanpa diajarin. Gustiii... pait.. pait," kesalnya lagi sambil memukul-mukul ujung mejaa gemas.
Bukannya ikut kesal, kita malah ketawa dengar penjelasan Raisa. Apalagi Arlina. Emang paling bisa deh cairin suasana. Dunia serasa nggak boring. Haha
_Inayivsil
_06-01-2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Jugendliteratur#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...