Ekonomi 13

1.5K 100 9
                                        

Hari-hari berlalu seperti biasa. Menurutku, atau mungkin menurut teman-temanku, berada di kelas IPS teralu banyak jam kosong.

Sebenarnya menyenangkan sih. Tapi kalau terlalu lama juga ngebosenin. Bawaannya ngantuk. Kerjaannya cuma main handphone atau game.

Game yang lagi populer di kelasku itu tak lain adalah Jelly Blast. Lucu juga sih kayak anak kecil. Tapi seru! Apalagi kalau kita tanding siapa yang udah mencapai level atas. Jangam salah. Walaupun kelihatan remeh, tapi cukup sulit juga buat naik level. Selain itu, kita juga main ludo. Yah pokoknya yang ringan-ringanlah.

Kalau udah bosan main game, biasanya ngobrol. Hari ini, aku tengah berbincang-bincang dengan Lisa, Giya, Raisa, Helma dan Arlina di dalam kelas.

"Enak yah jadi anak IPA. Kayaknya seru," celetuk Lisa. "Banyak eksperimen gitu. Kemarin aja mereka praktek mencangkok gitu."

Aku mengangguk membenarkannya.

"Kalau ke kantin beriringan, kompak, dan yang jelas nggak ada malu-maluin," imbuh Giya seraya melirik sinis ke arah gerombolan geng Black Cobra.

"Iya bener banget. Pengen deh kayak mereka, ngeliatnya tuh adem. Jadi ngiri." Arlina mulai berhayal.

BRAK!!

Bunyi barusan menyentak lamunan dan obrolan kami.

"Weis, weis, ada apa nih, Nir?" seru Gino kepada temannya itu.

"Yaelah, No, emang lo nggak denger, mulut tuh cewek-cewek kagak bisa diem! Nyerocooos mulu kayak emak kosan gak dibayar-bayar." Munir menohok kami satu per satu lantas beralih menatap Gino.

"Wah, udah kelewatan. Musti dikasih pelajaran ini mah!" Wawan ikutan memprovokasi.

"B*ngs*t!" hardik Munir mengagetkan kami. "Mau lo semua tuh apa sih?!"

Kami masih terdiam tanpa berniat membuka suara. Namun entah dorongan darimana, tiba-tiba aku berdiri dengan penuh keberanian menatap Munir dan yang lainnya terang-terangan.

"Lo mau tahu?" suaraku lantang menajam. "Sederhana. Cuma pengen lo semua berhenti bertindak gila. Berhenti bikin onar. Dan stop bikin kita semua resah. Bisa kan?" tekanku dengan wajah berapi-api.

Dodo sekonyong-konyong mengamuk. Omongannya ngelantur. Andi ikutan bentak-bentak. Anang dan Ardi diam saja.

"Lo harus tahu, cowok kayak kita semua tuh gak pernah suka diatur!" tegas Munir.

Aku tersenyum miring. "Kalau gitu, jangan kesinggung kalau misal kita bagus-bagusin anak IPA," ketusku.

Munir menyeringai. "Mentang-mentang gebetan lo anak IPA, lo bangga sama mereka. Plis nyadarlah, lo itu hidup di IPS. Mau gimana pun elo tetep IPS. Gak guna bagusin kelas lain."

Aku terkejut dan tak terima karena Munir berbicara seperti itu. Apa maksudnya? "Ini bukan soal cowok. Gue ngomong apa adanya."

"Aelah." Munir mengibaskan tangan di udara. "Gak usah ngeles. Gue tau kok. Itu kenapa lo selalu banding-bandingin kelas lo sendiri sama kelas IPA. Cik mikir atuh euy!"

Kemarahanku benar-benar sudah naik ke kepala. "Gue ngomong gitu karena emang iya! Kelas IPA lebih bagus, karena gak ada orang-orang kayak lo semua!"

"Bacot lo! Kalo gitu, ayo ikut!" Aku terkejut ketika Munir menarik tanganku dan menyeretku keluar dari kelas.

Kutengok ke belakang, teman-temanku dan cowok-cowok menyusul mengejarku.

"Heh, itu Vita mau dibawa kemana woi!" teriak Lisa.

"Lo mau kemana, cuy?" yang ini suara Gino sambil berusaha mengejar kami.

Kejadian tak terduga ini menarik perhatian siswa-siswi yang lain yang sedang belajar. Mereka bergerombol keluar dari kelas. Apa-apaan?!

Tidak lama kemudian, Munir melepaskan tanganku dengan kasar. Saat itulah aku sadar, cowok itu membawaku ke depan kelas XI IPA-2. Mendadak, perasaanku tak enak. Teman-teman juga ikut berhenti.

"Sekarang lo bilang! Bilang di depan orangnya. Bilang seperti yang sering lo omongin di kelas. BILANG SEKARANG JUGA!" bentak Munir padaku.

"Munir, lo apa-apaan sih?" sergah Lisa.

"Diem! Lo juga sama aja!" hardik cowok itu.

Sungguh, aku malu sekali. Apalagi ketika murid IPA 2 perlahan keluar karena mendengar keributan ini. Seumur-umur aku nggak pernah membayangkan kejadian seperti ini. Rasanya seperti mimpi buruk.

"Kenapa lo cuma diem, Vit? Liat dong tuh mereka, orang yang sering lo bangga-banggain, bilang sama mereka," seru Munir nyinyir.

Aku menatap benci pada cowok itu. Sakit di tanganku karena cengkramannya tadi tak kupedulikan. Kini aku tak takut lagi. Kendati guru-guru mulai berdatangan. Walaupun disaksikan oleh seluruh warga sekolah sekali pun.

Senyum miring kusematkan di bibir. Lantas aku berucap. "Lo bilang, 'anak ipa, otak boleh cerdas, tapi jiwa sosialnya nol besar', cih," aku mendecih. "Tapi lo tau? Dengan ngelakuin ini, lo lebih rendah, lo minus! Karena apa yang lo lakuin sekarang itu termasuk pembulian. Dan pembulian adalah salah satu bentuk kekerasan!" lanjutku.

"Sekarang lo mau pamerin kepintaran lo? Luar biasa," seringai Munir.

Aku tak mempedulikan tudingannya. Bahkan tak menghiraukan atmosfer hening yang seakan-akan aku tengah disidang. Aku fokus melanjutkan perkataanku. "Selama ini gue banding-bandingin anak IPA lebih baik cuma untuk menghibur rasa sesal gue. Gue nyesel kenapa gue nggak masuk IPA aja dan nggak usah ketemu sama cowok-cowok kayak lo! Mungkin kalau gue nggak salah milih jurusan, gue bisa fokus sama impian gue. Bisa sekolah yang bener. Bukan ngadepin orang-orang absurd kayak lo semua!"  saat itu, tak sadar pipiku basah. Segera aku menepisnya. Aku tidak akan menjadi lemah lagi. Sudah. Cukup.

Hening. Hanya terdengar bisikan angin. Kulihat Munir terdiam. Teman-teman bungkam. Semua orang yang melingkup di sini bisu. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan Munir. Tapi tentu saja, aku sungguh tak peduli.

Tak lama, cowok itu bersuara. "Lo gak tau, gak semua orang kayak kita itu selalu buruk. Dan gak semua orang kayak yang lo banggain itu baik. Lo cuma tau, kita itu buruk. Karena lo cuma nilai orang dari luar."

Kini, aku yang mematung. Lidahku kelu. Serasa ada yang menampar pipiku cukup keras. Kenyataankah?

*****

-Inayivsil
-23-02-2018

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang