Ekonomi 34

1.1K 77 11
                                        

Tak terasa sudah memasuki ujian akhir semester lagi. Tahun depan, mungkin aku sudah lulus. Semoga saja.
Ah, sudah hampir tiga tahun aku menempuh pendidikan SMA. Sebentar lagi mau melepas masa-masa penuh cerita indah ini.

Aku dan teman-teman sudah mewanti-wanti, sudah merencanakan mau kemana setelah lulus. Yang pastinya, setiap kali membahas tentang perpisahan rasanya nggak sanggup. Enggak nyangka bakal berpisah sama mereka. Teman-teman seperjuanganku. Susah senang dilewati bersama.

"Vit, nanti lo mau kuliah dimana?" tanya Ana siang itu saat istirahat di pekan ujian.

"Belum tahu. Pengennya sih ke UGM," jawabku cengengesan yang kontan dibalas desisan oleh Ana.

"Kenapa ke sana? Di Bandung kan banyak kampus bagus."

"Gak tau. Gue selalu pengin ke sana. Ke Jogja. Entahlah, tapi itu impian gue."

Tiba-tiba Ana mencibir. "Dulu pas baca novel AAC pengin kuliah di Cairo, terus baca novel Kisah Langit pengennya di Amsterdam, terus kemaren-kemaren lo ngomong pengen kuliah di Jepang. Dan gue juga nggak lupa ya lo pernah ngomong pengin kuliah ke Oxford gara-gara ngeliat Maudy Ayunda sekolah di sana."

Aku terharu sekaligus pengin ketawa mendengar ocehan Ana. Dia masih mengingat betul omonganku yang kadang ngelantur. Waktu itu aku cuma terkekeh geli sambil bilang. "Yaa sih, tapi kan itu dulu. Sekarang gue mau realistis aja. Diterima di luar negeri nggak semudah elo makan cimol, Na."

"Nyindiir," cibirnya lagi. Lalu, kami tertawa bersama.

Mulai sekarang, aku akan lebih fokus dalam belajar. Akan kutepis segala yang menghalangiku untuk lebih bahagia, termasuk dia. Bersyukurnya, setelah insiden Adim meminta maaf, kami mencoba lebih giat latihan. Dan Alhamdulillah bisa selesai sebelum ujian. Yang artinya, aku nggak akan sering bertemu Angga lagi.

Piqni, sebagai ketua sudah mengirimkan film itu ke panitia melalui media sosial. Kami hanya berharap semoga mereka suka dan puas. Ini semua adalah ide Piqni. Katanya dia emang bercita-cita pengen jadi produser. Makanya pas ada kesempatan, nggak disia-siakan.

Meskipun Angga memilih Piqni, aku tak pernah marah pada Piqni karena dia tak tahu apa pun. Piqni tidak tahu tentang perasaanku pada cowok itu. Aku juga tidak pernah bilang. Lagipula, Piqni terlalu baik padaku. Aku tidak tega melukainya. Dan kulihat, Piqni begitu bahagia ketika bersama Angga.

Biarlah. Biarkan aku berkorban sekali lagi. Sepertinya Tuhan memang sedang menegurku untuk tidak berharap terlalu tinggi. Iya, dan aku mencoba belajar dari semua ini.

📊

"Vit, ada yang nyariin kamu tuh," gumam Arlina siang itu.

Beberapa menit yang lalu, Uji mengirimiku pesan kalau dia ingin berbicara denganku. Mungkin karena aku tidak membalasnya, dia nekad nyusul aku ke kelas.

"Siapa, Ar?" tanyaku.

"Uji kayaknya."

Tuh kan! Ternyata dugaanku benar. Ada apa sih sebenarnya? Tiba-tiba ide usil melintas di pikiranku. "Lis, di luar ada Uji lho, samperin coba," selorohku pada Lisa yang tengah asik makan gorengan. Ya, hari itu adalah tepat seminggu setelah UAS selesai. Biasanya, belajar tidak efektif. Palingan, dipakai untuk remidial.

Lisa menelan gorengannya kemudian menjawab. "Bodo amatlah gue nggak nanya."

Aku cengo. "Loh, dia kan gebetan lo."

"Udah nggak semenjak gue tahu dia deket sama lo."

Aku sontak kaget mendengar kata-kata Lisa. Sedetik, tawaku pecah. "Apaan sih orang gue cuma temenan sama dia huu."

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang