Waktu sudah menunjukkan angka sembilan malam, yang artinya aku harus segera tidur. Lagipula, besok Senin. Aku harus mendinginkan pikiran setelah sebelumnya membaca materi untuk ulangan Geografi besok. Ah, sudah tak sabar. Aku juga tidak mengerti kenapa aku sangat menyukai pelajaran satu ini. Seru aja.
Baru saja hendak mematikan lampu tidur, ponselku berbunyi menandakan pesan masuk. Walaupun hendak kubiarkan, tapi aku penasaran. Siapa tahu ada yang penting.
Aku meraih benda tersebut. Kubuka pesan itu dan.. ternyata dari Uji.
Gue ramal, lo pasti belum tidur.
Tanpa sadar, kedua sudut bibirku terangkat setelah membaca isi pesan Uji. Dari awal mengenal Uji, aku mulai tahu dia tipe cowok yang humoris.
Aku : Siapa bilang? Orang udah kok.
Uji : Terus yang balas pesan siapa?
Aku : Menurut lo?
Uji : Kalo itu gue gak bisa ramal
Aku : Payah :p
Uji : Gue cuma mau bilang, apapun yg trjadi, tetap semangat! :)
Aku : Thanks.
Meski heran kenapa tiba-tiba Uji sms aku terus bilang gitu, aku tidak bisa untuk tidak tersenyum. Seneng aja, di waktu teman-teman pada ngejauh, masih ada yang mau buat ngingetin aku supaya terus semangat.
"Vitaa, cepat tidur!" Aku mendengar teriakan Mama dari balik pintu.
"Iya, Mah!" Balasku sambil melirik jam weker. Padahal masih jam 9 lebih. Akhirnya aku membuka pesan Uji yang baru datang.
Uji : Good night. Have a nice dream.
Aku : Too :)
Setelah itu, aku benar-benar menyimpan ponsel dan mematikan lampu. Perasaanku yang kacau sedikit terobati karena cowok itu. Makasih, Uji.
📊
Huh.. Akhirnya selesai juga mengisi 30 pilihan ganda dan 5 esai soal Geografi. Cukup sulit, apalagi di bab hitung-hitungan. Aku hanya berharap semoga nilainya memuaskan.
Kalau habis ulangan, sudah kebiasaan pelajar Indonesia membahas soal-soal dan jawaban yang sebenarnya lebih baik dilupakan. Misalnya gini:
"Eh lu nomor 5 isinya apa?"
"Gue B. Kalo lu?"
"Yaah gue C."
"Gue juga B."
"Wiiih kita samaan dong."
Terus saja begitu. Dan itu memang sering juga aku alami. Nggak tahu kenapa. Padahal kata orang, 'Datang. Kerjakan. Lupakan.' Tapi kayaknya itu cuma bullshit. Karena hampir semua siswa pasti seperti itu. Itu pun dari apa yang kuamati.
Hanya saja yang jadi masalah kali ini, aku tak punya teman bicara untuk membahas soal-soal tadi. Sejak kejadian hari itu, aku berasumsi kalau mereka sengaja menjauh. Mungkin sejak awal harusnya aku tak menerima ajakan Piqni. Seharusnya dari awal aku hilangkan ambisiku untuk menjadi seperti anak IPA. Kalau begini, rasanya jadi tidak enak. Seolah-olah aku sendirian.
Aku iri menatap Ana, Lisa, Amber, Kina dan Giya tertawa bersama. Aku rindu guyonan Raisa juga tawa renyah Arlina. Pada akhirnya aku juga kangen tingkah usil Wawan, Andi, Dodo, Munir dan lainnya.
Di tengah melamun, terdengar nada dering dari ponselku. Piqni? Tiba-tiba aku teringat kalau masih harus latihan drama. Cepat-cepat aku beranjak hendak keluar. Baru juga tiga langkah, aku bisa mendengar suara sinis dari Munir yang membuat aku berhenti melangkah.
"Yeuu yang sibuk terus sama anak IPA. Sampe lupa sama temen sendiri. Bahkan udah kayak gak kenal ya."
"Siapa sih siapa?" timpal yang lainnya. Pura-pura tidak tahu.
"Masa nggak tahu sih? Yahh parahh," ucap Munir lagi.
Bagaimana rasanya? Sakitt! Walau aku tahu aku salah, tetapi kenapa rasanya nggak adil.
Aku memilih tak mendengarkan mereka dan tetap meneruskan langkahku untuk latihan.
Sampai di tempat latihan, ternyata cuma aku yang baru datang. Teman-teman sudah berkumpul bahkan ada yang sudah sibuk latihan. Mataku beredar mencari sosok Uji, dia juga belum datang. Kemana ya?
"Hei, Vitaa." Piqni menyapaku ramah dari kursinya. Hari ini dia keliatan cerah dan bahagia banget. Beda sekali denganku.
"Hei. Kayaknya lagi seneng banget," kataku basa basi sambil melirik sekilas ke arah Angga yang duduk di samping Piqni. Tapi cowok itu cuma nunduk.
"Ah biasa aja, Vit," balas Piqni. "Ngomong-ngomong udah lancar main gitarnya?"
"Lumayan."
"Good."
"Iya, gue ke sana dulu ya, Piq," setelah Piqni mengangguk, aku pun memutuskan untuk berjalan ke pojok ruangan dan mengambil gitar. Lalu mulai berlatih lagi.
Namun, beberapa detik kemudian ruangan mendadak rame dengan obrolan tentang acara Piqni.
"Ciee yang sekarang udah resmi jadian," aku mendengar siapa yang berbicara. Itu Arya. Teman sekelas Piqni di XII.IPA 1. Tapi siapa yang jadian?
"Iya, malahan dirayain loh hari Sabtu kemarin. Lo sih gak datang." Rinni yang menanggapi omongan Arya.
"Widiiww, malam mingguan dong."
"Itu mah udah pasti."
"Whaha selamat aja deh buat kalian berdua."
Lalu terdengar gelak tawa. Tetapi aku masih tidak tahu siapa yang sedang mereka bicarakan? Lantas aku mengangkat wajah dari deretan kunci lagu. Kebetulan ada seseorang yang lewat di depanku. Cepat-cepat aku memanggilnya.
"Eh Sheni, boleh nanya emang ada yang jadian ya? Siapa sih?" tanyaku tidak mau ketinggalan berita.
"Lo gak tau? Itu si Piqni sama si Angga. Mereka udah jadi pacar."
Tidak begitu percaya apa yang kudengar, tetapi perlahan-lahan senyumku memudar. "Oh, makasih." Hanya itu yang bisa kulontarkan.
Jadi kemarin sabtu, Piqni ngajakin gue buat ikut rayain hari jadiannya dia sama Angga? Oh My God!
Genggaman erat pada gitar mendadak longgar. Kenapa rasanya... Sesak? Seakan ada yang mengganjal di dalam dada.
Dengan perasaan hilang semangat, aku memastikan untuk melihat sendiri. Dan benar! Di sana, Piqni begitu bahagia duduk di samping Angga. Sambil memperhatikan cowok itu. Dikelilingi orang-orang yang ikut bersuka cita.
Sementara aku? Duduk di pojok, bersama hati seremuk serpihan kaca. Terluka. Sendirian. Untuk yang kedua kali. Dan karena orang yang sama.
Seandainya tiba-tiba ada lubang hitam muncul di depanku. Maka aku lebih memilih untuk masuk ke dalamnya, daripada berada dalam kondisi seperti ini. Aku ingin menjerit sekencangnya!
Kenapa menyayangimu harus sesakit ini?
Dari kejauhan, aku menangkap sosok Uji. Dia memandangku dengan nanar seakan sudah tahu apa yang terjadi. Tetapi aku malah tersenyum sinis.
Iya, di sisi lain aku memang ingin tertawa. Menertawakan kebodohanku.
Iya, lo emang bodoh, Vit! Lo bego!
***
-Inayivsil
-10-06-2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Teen Fiction#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...