Sosiologi 32

1K 83 30
                                        

Hari ini terasa begitu berat. Aku tak bisa fokus dan konsentrasi dalam berlatih. Iya, kini aku tengah berdiri bersama Angga, Uji dan Adim. Untuk mencoba bermain musik tentunya.

Akan tetapi, aku benar-benar lelah dan ingin pulang. Ingin segera menghentikan ini. Sejak tadi aku selalu salah dalam memetik senar. Padahal, sebelumnya aku sudah merasa lancar dan bisa. Mengapa mendadak blank begini?

"Bisa nggak sih lo mainnya yang bener?" akhirnya aku tersentak mendengar nada dingin Adim. Sebenarnya, sejak tadi sepertinya dia marah karena harus mengulang beberapa kali gara-gara kesalahanku. Aku sedikit takut padanya. Selain cuek, sikapnya juga dingin dan tegas. Tapi anehnya hanya padaku. Tiap hari kuamati, dia baik-baik saja dengan orang lain. Ramah dan murah senyum. Atau mungkin karena kami baru kenal. Padahal aku sudah tahu nama dia sejak kelas sepuluh.

Aku menoleh dengan lesu. "Sori,sori. Kali ini nggak bakal kok."

"Oke, sekali lagi," tegasnya. Aku bisa merasakan aura tidak enak di sini. Namun anak-anak yang lain sepertinya juga tidak mau ikut campur melihat perdebatan kecil ini. Kecuali, Piqni yang sejak tadi mengawasi kami.

Aku menarik napas dan mencoba fokus. Lantas terdengar petikan gitar Uji yang halus. Sial! Tetap tak bisa fokus jika aku masih melihat Angga ada di sini.

Aku salah lagi.

Dan tentu saja Adim sudah siap memarahiku.

"Vita! Lo kenapa sih, huh?" bentak Adim berapi-api. "Kalo lo punya masalah pribadi jangan dibawa-bawa dong! Lo kata kita gak capek apa?"

Kutundukkan wajah dalam. Mencerna setiap kata yang terucap dari bibir cowok itu. "Gue... minta maaf."

"Basi."

"Dim, udah, Dim." Uji mencoba menenangkan cowok itu.

"Kok malah berantem sih?" Piqni menghampiri kami. Ia menatapku. "Kamu kenapa, Vit? Kayaknya lagi nggak enak badan."

Aku mengangkat wajah, memaksakan tersenyum. "Enggak kok. Kali ini gue usahain deh konsentrasi."

"Nggak usah," sela Adim. "Kita lanjut besok aja." Kemudian cowok itu mulai berjalan. Setelah beberapa langkah, aku memberanikan diri mencegahnya.

"Tunggu!" ucapku. Dia berhenti tanpa menoleh. "Kalo lo emang gak mau gue ada di sini, gak apa-apa. Mungkin dari awal gue emang gak dibutuhin. Dan sori, kalo gue bikin kesalahan sama lo." Atmosfer di ruangan ini mendadak hening dan pengap. Perlahan-lahan ku edarkan pandanganku ke sekeliling, teman-teman cuma bisa diam dengan wajah bingung. "Tenang aja. Mulai sekarang gue mundur. Kalian bisa cari pengganti." lanjutku seraya melepas tali gitar lalu meletakannya di bawah. "Terimakasih."

Aku berjalan menuju keluar ruangan. Melewati Adim yang masih berdiri kaku. Di belakang, Piqni memanggilku namun kuhiraukan.

Tadinya aku ingin ke kelas, tetapi mengingat keadaan yang tak memungkinkan, akhirnya aku berbelok ke toilet. Aku menangis di sana. Tak peduli. Aku hanya ingin meluahkan air mata ini. Sampai kemudian aku memutuskan berwudhu untuk sholat dzuhur. Kebetulan jam sudah hampir memasuki waktu dzuhur. Aku akan diam saja di mushola sambil menunggu adzan. Toh sudah istirahat.

Begitu memasuki mushola, ternyata sudah ada beberapa orang. Termasuk Giya. Gadis itu memang suka ke mushola lebih awal dari yang lain. Lantas aku duduk tak jauh di dekatnya. Giya terlihat sedang fokus berdzikir saat aku memperhatikannya. Namun tak seperti biasa yang selalu nampak cerah, hari ini wajah Giya muram. Matanya sembab. Sepertiku, mungkin.

Tiba-tiba, Giya menoleh. Pandangan kami berserobok. Tetapi sedetik, dia terkejut dan menatapku tak percaya.

"Vita?" ucapnya. "Sini. Kok di situ?"

"Hah?" aku mengerjap. Tetapi akhirnya aku mendekat dan duduk di samping Giya. "Gue pikir, lo marah sama gue."

Giya tersenyum tipis. "Enggak. Cuma sedikit kecewa aja. Emang bener yang dikatain cowok-cowok?"

Aku mengedikkan bahu. "Gue juga gak ngertilah, Gi."

"Sabar," lirihnya seraya menepuk bahuku.

"Lo lagi ada masalah ya, Gi?" tanyaku. "Gak biasanya lo kusut gini."

Hening. Tak ada jawaban dari Giya. Ia diam sekitar beberapa menit. Aku merasa menyesal telah bertanya seperti itu.

"Kalo lo berat cerita juga gak apa-apa kok," tambahku kemudian.

"Orangtua gue bercerai."

Aku terhenyak. Mataku menelusuri mata Giya, mencari kegurauan di sana. Tetapi yang kutemukan hanya sorot kecewa, amarah dan juga kepedihan yang teramat dalam. "Gi..."

"Gue.. gak tau lagi mesti gimana," suara Giya terdengar parau. Kulihat sesuatu jatuh dari bola matanya. Sungguh, aku tidak bisa berkutik. Hal yang paling dibenci dan ditakuti setiap anak terhadap orangtuanya, kenapa harus dialami Giya? Broken Home adalah mimpi buruk bagi setiap anak.

Aku memeluk Giya. "Sejak kapan, Gi?"

"Kemarin."

"Ya Allah," kataku, lirih. Kuelus punggung Giya. Dia semakin terisak. "Terus lo gimana?"

"Gue juga gak tau. Mau minta pertolongan aja sama Allah. Keluarga gue udah gak bisa dipertahanin, Vit."

"Gue gak nyangka, Gi. Jadi selama ini lo mendem masalah ini sendirian?"

"Terus gue harus umbar-umbar gitu di sosmed? Gue bukan anak hits, Vit," ucapnya. Di saat seperti ini, dia masih bisa bercanda. Aku kagum dengan ketegaran Giya.

Saat memandang diri sendiri, aku malu. Menangis hanya karena melihat orang yang disayangi bersama orang lain. Padahal, belum tentu dia peduli. Kenapa aku harus bertindak bodoh seperti ini? Di kala ada orang yang lebih pantas menangis daripada aku.

Kenapa aku tak pernah bersyukur?

Astagfirullah...

"Vit, giliran lo," ujar Giya memecah lamunanku.

"Apaan?"

"Curhat. Lo juga keliatan lesu banget dan kayak abis nangis," kekeh Giya.

Aku cemberut. Meski malu, pada akhirnya aku menceritakan masalahku pada Giya. Saat selesai, dia cuma ketawa.

"Kenapa?"

"Tu anak emang gitu dari dulu," aku menggernyit mendengar perkataan Giya.

"Maksud lo?"

"Itu si Adim. Dia emang gitu orangnya. Dulu gue sekelas sama dia, sepuluh lima. Tapi entah kenapa gue pernah kagum sama dia."

"Hah?" aku terbelalak tak percaya. "Lo kagum sama cowok kayak gitu?"

Giya tertawa kecil. "Dia gak seburuk itu kok, Vit."

"Iya deh percaya sama Giya mah."

"Ohya, terus setelah ini lo gimana?"

"Gimana apanya?"

"Yaa ke depannya," balas Giya. "Eh tapi bentar, gue heran deh. Lo... masih belum bisa move on ternyata dari Angga?" Giya menahan tawa.

"Taulah diem deh, Gi," gerutuku.

"Yeuu udahlah. Jangan lebai. Bangkit, Vit! Mungkin ini cara Tuhan negur lo. Supaya gak terlalu berharap sama manusia. Ngerti kan?"

"Ah elo mah."

Lalu, kami tertawa. Sampai baru menyadari adzan dzuhur sudah berkumandang dan orang-orang sudah berdatangan.

Makasih, Giya. Udah nyadarin gue.

****

-Inayivsil
-11-06-2018

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang