🎶Karena malam ini, saat yang terindah bagi hidupku. Oh Tuhan jangan hilangkan dia. Dari hidupku selamanya.🎶
(Rossa-Jangan Hilangkan Dia)
"Gi, gue mau jujur. Sejak awal, sebenarnya gue udah tertarik sama lo karena lo cantik, meskipun galak banget. Tapi lama kelamaan, gue suka sama lo bukan karena lo cantik doang, tapi karena ada sesuatu yang bikin gue jatuh hati sama lo. Giya Aridina, mau kan jadi pacar gue sampai nanti?"
Mungkin semua orang yang ada di kelas pada cengo tak percaya, tapi aku justru malah senyam senyum. Aku lihat Giya juga diam dengan keheranan.
"Wan, lo ngapain sih?" ujar Giya terlihat malu karena tatapan orang-orang mengarah padanya. Iyalah, siapa sih yang nggak tertarik ngeliat cowok bertekuk lutut di depan seorang cewek sambil nyodorin bunga mawar?
"Jawab dulu, Gi. Mau nggak jadi pacar gue? Kalo lo ambil bunga ini, berarti lo bersedia. Kalo lo gak ambil, lo tetep harus jadi pacar gue."
"Eeeh dasar dodol!" entah sadar atau tidak, Giya merebut bunga mawar itu hanya untuk menepuk wajah Wawan.
"Cieee," siulan dari orang-orang seketika membuat Giya tersadar dan salah tingkah.
"Apaan sih, bubar bubar sanaa!" pekik Giya. Kami cuma tertawa. Sementara orang-orang yang lain keluar dari kelas.
"Karena lo ambil bunga itu, berarti mulai sekarang lo resmi jadi pacar gue, Gi, gak boleh nolak," gumam Wawan cengar cengir saat hanya ada kami sekelas.
Aku lihat Giya mendesis sambil menatap Wawan nyalang. "Oke, gue mau jadi pacar lo tapi lo gak boleh pegang tangan gue sama gak boleh natap gue. Gimana?"
"Yaah, pacaran apaan kayak gitu mah," timpal Dodo sambil ketawa.
"Gak papa kok, gue mau, Gi." Kami semua tak percaya dengan jawaban Wawan. Giya aja sampai heran. Tuh cowok serius nggak sih?
Aku tidak bisa tahu kejadian berikutnya karena tiba-tiba mama nelfon. Akhirnya aku keluar dari kelas. Ternyata Mama ada di situ. Lantas aku mematikan panggilan. "Ma, udah di sini ngapain nelfon?" cecarku.
"Ya mana mama tahu. Kamu teh gimana. Ohya, masih lama acaranya?" ucap Mama.
"Nggak kok, tapi Vita mau fotbar dulu sekelas. Mama tungguin ya bentar lagi."
"Oke. Tapi bentar dulu, dari tadi kok Mama nggak liat kamu foto bareng atau ngobrol sama pacar kamu itu."
Jelas saja aku kaget. "Pacar yang mana? Wong aku nggak punya pacar. Aneh mama nih."
"Loh, yang waktu dulu jemput kamu itu siapa?"
"Ya ampun, itu cuma temen, Ma. Temen," jawabku dengan tenang. Aku tahu maksud mama itu adalah Angga.
"Walah, ngeles aja. Padahal tadi dia sempet ketemu mama dan dia nanyain kamu."
Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Dasar bocah! Nggak bosen-bosennya.
"Nah loh, kan bengong. Terus siapa dong yang nanya-nanyain kamu kalau bukan pacar?" seloroh Mama.
"Terserah Mama deh. Aku nyamperin temen-temenku dulu ya. Dah, Ma," ucapku sambil ngeloyor ke dalam kelas.
Hari ini tidak hanya diisi dengan tawa, tapi juga tangis. Dan bukan cuma itu, ternyata langit juga ikut menangis.
Ya, hujan tiba-tiba turun. Cukup deras. Semua yang ada di sekolah berlarian untuk mencari teduhan. Ada yang mengumpat kenapa harus hujan di hari penting seperti ini. Padahal hujan kan berkah.
Ketika aku sedang asik menikmati hujan yang turun, sekonyong-konyong aku merasakan seseorang menarik tanganku. Aku terbelalak ketika orang itu menyeretku ke lapangan. Tanpa bisa dicegah, tetes-tetes air hujan mengenai tubuhku. Tentu saja, aku kini berdiri di bawah hujan bersama seseorang yang menarikku.
"Angga?" gumamku tak mengerti saat menatap sosok di hadapanku yang masih memegang tanganku. "Apa yang lo-"
"Vit," potong Angga cepat. "Gue emang cowok pengecut, plin-plan, brengsek. Gue tahu ada orang yang tulus sayang sama gue tapi gue sia-siain."
Dahiku berkerut. Suara hujan yang deras membuat kami harus berbicara keras. "Iya, gue tahu. Tapi lo bawa gue ujan-ujanan cuma buat bilang itu?"
"Ih oon banget. Ya nggak lah," balasnya sambil mengejekku. Dasar cowok belagu!
"Ya terus lo mau apa?" desakku. Jangan heran, semua mata orang di sekolah ini tertuju ke arah kita berdua. Menatap dengan tatapan heran. Dikiranya kita lagi ngapain. Dan tunggu, apa Angga nggak tahu apa ya kalau Piqni pasti melihat ini? Sebenarnya aku yang oon apa dia?
"Ada orang yang bilang sama gue, kalo gue bodoh karena sia-siain orang kayak lo. Tapi kan lo tahu sendiri, cinta nggak bisa dipaksain. Sekarang gue emang belum punya perasaan lebih sama lo, gue masih sayang Kinan, Vit. Di luar itu, lo nggak usah pikirin hubungan gue sama Piqni. Semua udah selesai . Tapi, Vit, mulai sekarang, kita akan pisah. Bakal jalani hidup masing-masing. Karena itu, gue mau kasih sesuatu buat lo sebagai rasa terimakasih gue karena lo udah tulus sayang sama gue. Sekaligus untuk permintaan maaf karena gue udah jadi cowok brengsek di mata lo."
Kutatap bola matanya yang berwarna hitam pekat. Masih mencari apa sebenarnya maksud dia. Hujan masih terus mengguyur dan menghantam kami. "Lo nggak perlu ngasih apa-apa ke gue, Ngga," ujarku.
"Coba lo tengok ke kanan," meski bingung, tapi aku menuruti perkataan Angga. "Lo liat cewek yang lagi melambaikan tangan ke elo?"
Aku mengangguk masih dengan mimik tidak mengerti. Memang ada seorang cewek yang tersenyum dan mengangkat kedua tangannya seraya melambai ke arahku, wajahnya cantik banget. Dan seingatku, dia adalah cewek yang tadi pagi bareng Angga. Aku kembali menatap cowok di depanku.
"Dia orangnya. Yang bilang kalo gue bodoh. Dia Kinan, Vit."
Oh? Jadi dia yang namanya Kinan. Pantesan nempel banget.
"Kemarin baru pulang dari Belanda. Dia bela-belain datang demi ngeliat gue lulus. Tapi, sebagai sahabat," lanjutnya dengan kecewa.
"Well, kayaknya lo lebih menyedihkan dari gue ya, Ngga," kataku serius. Namun dua detik kemudian, tawa jahilku muncul. "Kasian haha."
Dia berlari mengejarku yang sudah ngacir duluan. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada berlari di bawah hujan deras. Bukan untuk menyamarkan tangisan, tetapi untuk mensyukuri. Aku tidak punya alasan lagi untuk mengeluarkan air mata. Toh, Tuhan selalu memberikan yang terbaik dengan cara-Nya.
Aku pernah berharap untuk menjadi bagian penting di hidup Angga, seperti seorang kekasih. Tetapi ternyata, berharap seperti itu justru membuatku terluka dan terluka lagi. Lalu, setelah aku memutuskan untuk menyimpan dan merelakan, rasanya lega. Perasaanku jauh lebih tenang. Karena harapan itu sudah kubuang jauh-jauh.
Sekarang aku mengerti, sesuatu yang dimaksud Angga adalah, membiarkan aku menikmati hujan tanpa beban. Sepuasnya. Bersamanya. Sebelum berpisah. Untuk yang terakhir kali. Itu pun mungkin jika Tuhan tidak mempertemukan lagi aku dengannya.
Tentu saja aku tak akan pernah melupakan momen ini. Saat Angga mengajakku berjoget di bawah guyuran hujan. Seolah, aku tengah menikmati hidup. Tanpa peduli pemikiran orang-orang tentangku. Bahagia rasanya. Aku sudah merasa lebih baik. Aku sudah mencoba mengikhlaskan semuanya.
Angga, meskipun kamu adalah cowok paling brengsek yang pernah kukenal, tapi denganmu rasanya duniaku jadi lebih berarti. Karena sikapmu, tingkahmu yang apa adanya, walau kadang suka najis juga, selalu membuatku tak bisa berhenti untuk jatuh dan jatuh lagi pada rasa yang sama. Makasih untuk semuanya, Angga Gionardo. Aku akan ingat kamu sebagai sosok yang PERNAH jadi penghias masa putih abuku. Thanks.
-T A M A T-
.
.
.-Inayivsil
(13 Juli 2018)

KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Roman pour Adolescents#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...