Aku speechless.
Okelah, mungkin ini terdengar lebay. Ketahuilah, aku sendiri tak percaya. Benar-benar di luar dugaan. Rasanya aku ingin meloncat-loncat sampai tinggi, andaikan di depanku ada trampolin.
Fiks ini mah, aku kena syndrom kasmaran. Siapa sangka, beberapa hari setelah sabtu berbaikan itu, aku tak menduga Angga tiba-tiba datang ke kelasku. Membuat jantungku sukses berdebar tak karuan. Aku sudah bernegatif sangka dia akan bilang yang nggak baik tentang aku. Tapi.. Aku salah besar!
Dia justru ngasih aku novel yang dulu pernah aku minta iseng sama dia. Omaigat! Ini kayak mimpii.
"Vit, nih," ucap Angga dengan suara semerdu burung merak sambil menyodorkan sebuah novel dengan judul Hujan.
Aku tergugu detik itu juga. "Buat gue?" tanyaku skeptis. Masih nggak percaya.
"Deuh ciee cieee," siulan dari belakang mengagetkanku dari kecanggungan ini. Mereka membuatku makin sulit bernafas. Walaupun dulunya aku dan Angga sekelas waktu kelas sepuluh, tetapi kita sudah lama tidak bertegur sapa. Tidak tahu kenapa. Mungkin dikarenakan jurusan kami berbeda. Jadi bertemu pun jarang.
Terakhir masih saling nyapa ketika aku meminta dibelikan sebuah novel olehnya. Sekitar dua bulan yang lalu. Tapi aku cuma iseng doang. Dan kupikir dia tidak menganggapnya serius karena toh kejadiannya sudah lama. Aku juga sudah tidak berharap lagi.
Tetapi hari ini.. Nggak ada hujan. Nggak ada angin, tiba-tiba dia ngasih novel padaku dengan teman-temanku menjadi saksinya.
APA MAKSUDNYA WOI!
Naon maksudd??
Bikin aku nggak bisa mikir apa pun saat melihat dia menatapku dengan tatapan yang selalu aku rindu... Ehh?
Sebenarnyaa apa yang kualami ini? Kenapa harus nervous segala di depannya? Pake salting pula.
"Dulu kan lo pernah minta novel ke gue. Nih gue kasih."
Allohu, aku butuh oksigen. Sekarang juga.
Namun, aku menerimanya kendati dengan tangan yang bergetar. Semoga dia tidak menyadari. Semoga.
"Eh, padahal nggak usah loh. Dulu gue cuma iseng." Apaan lo, Vit? Bisaan banget dramanya. Padahal dalam hati udah pengen jingkrak-jingkrak saking senangnya.
"Masa?" dia mengangkat sebelah alis. "Ya udah sih kalo nggak mau, sini."
"Ehh, kok gitu sih? Mau kok mau. Pas banget lagi pengen novel Tere Liye."
"Yeeu dasar lo mah," cibirnya. Duhhh.. Demi apa aku rindu dia yang seperti ini.
Untuk beberapa detik, kami terjebak situasi yang canggung. Atmosfer menjadi hening. Entah apa lagi yang harus kukatakan. Dia juga sudah sibuk dengan ponselnya. Ya, aku dan dia memutuskan duduk di kursi yang ada di depan kelas.
"Mmm.. Tapi kok tumben mendadak banget kasihnya. Padahal itu dulu, ternyata lo masih inget aja," kataku dengan tersenyum mencoba memecah keheningan yang melanda.
Dia tertawa kecil. "Nggak tau kenapa ya? Mungkin sejak insiden itu."
JLEB!
Masalah itu lagi.
Bukan tidak mungkin sih, soalnya Angga pasti melihatku waktu itu yang marah-marah pada Munir. Sedetik, aku mendadak jadi malu begini.
"Oh soal itu, anggap aja gue lagi khilaf." Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Apaan sih ini? Benar-benar obrolan yang tidak mengenakkan. Rasanya pengen kabur aja.
"Bukan soal itu sih," dia bergumam pelan.
"Terus?" tanyaku heran.
"Gue denger, awalnya karena lo ketahuan suka sama...seseorang dari kelas IPA, dan lo sampe berani bilang gitu ke temen lo. Sori, tapi..ada yang bilang kalo orang yang lo suka itu...gue."
JLEB! JLEB! JLEB!
What's thee....
Ini nggak mungkin! Siapa yang bilang gituu?
Sumpah, rasanya pengen bejek-bejek orang yang udah nyebarin soal perasaanku dan bilang di hadapan mukanya, 'plis, euy, soal rasa itu nggak bisa dijadiin main-main? Lo tau?!'
Itu berarti Angga emang udah tahu kalau aku ada perasaan sama dia. Apa-apaan? Tahu gini mah, ngapain tadi aku sok-sok gugup. Jaga image sih jaga image, tapi kalau orangnya udah tahu duluan ya buat apaa?
Sebenarnya siapa sih yang bego?
"Mmm..siapa yang bilang gitu?" aku memberanikan diri bertanya. Padahal hati mah udah dongkol.
"Ada aja yang bilang."
"Gue yang bilang."
Baik aku maupun Angga sama-sama mendongak ke arah seorang cewek yang berdiri dengan angkuhnya di depanku.
Sesaat aku ternganga. "Maksud lo?"
"Iya, gue yang bilang soal perasaan lo sama dia."
"Tapi kenapa?"
"Karena Angga pacar gue."
Jika aku tak punya kekuatan, mungkin aku sudah terduduk lemas detik itu juga. Sungguh kabar yang sangat memilukan sekaligus mengejutkan. Ini tidak benar kan? Tolong siapa saja, katakan padaku kalau ini tidak serius.
Ekor mataku mencoba melirik Angga, cowok itu cuma diam dengan ekspresi merasa bersalah. Jadi...itu benar?
Tapi... Kenapa harus dia?
Kenapa harus Kina?
Dia teman sekelasku. Dan.. Kenapa cewek itu nggak pernah mengatakannya?
Seperti diterbangkan, kemudian dihempaskan begitu saja. Ke dalam jurang yang curam.
Ada masanya, yang rumit semakin rumit. Satu masalah selesai, satu lagi datang. Ada masanya, aku merasa dikhianati dengan terang-terangan.
Sakitt!
*****
-Inayivsil
-12-03-2018

KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Fiksi Remaja#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...