Selain peristiwa jum'at lalu, kelakuan cowok-cowok itu terus berlanjut bahkan lebih parah. Setelah membuat Bu Teti dan Pak Aslim marah, kali ini giliran Pak Nandi, guru bahasa Indonesia yang mereka buat kesal.
Masih dengan cara yang sama seperti yang dilakukan pada hari jum'at. Tapi kali ini pas pelajaran terakhir. Cowok-cowok itu sengaja menyimbahkan air sampai membasahi lantai kelas. Tujuannya cuma satu.
BIAR GAK BELAJAR.
"Bapak mau ngajar, kalau lantainya kotor begini, gimana?" tanya Pak Nandi di depan kami.
"Yaa gak gimana-gimana, Pak," jawab Munir singkat sambil terus membasuh lantai.
"Loh, 'gak gimana-gimana' gimana maksud kalian?"
"Yaa terserah bapak aja, kalau mau ngajar ya tunggu kelas bersih. Tapi gak masuk juga gak papa kok, Pak, sehari ini aja." Wawan cengengesan.
"Maksudnya kalian nggak mau belajar?" Pak Nandi mulai memperlihatkan ototnya.
"Nah itu bapak tahu," balas Andi.
Aku dan teman-teman cewek cuma melotot. Nggak sopan banget mereka!
Dan pada akhirnya, Pak Nandi marah besar. Berbeda dengan guru-guru sebelumnya, kali ini, gara-gara ulah cowok-cowok itu, kita semua mendapat nilai D! Sekelas! Mereka yang cari gara-gara, cewek-cewek yang kena imbasnya.
Duh, rasanya pengin nangis aja.
Nilai C aja udah buruk banget, apalagi D, bisa-bisa nggak lulus nanti.
Allohu
Yang lebih dahsyatnya lagi, tingkah keterlaluan cowok-cowok itu mulai menjadi perbincangan seantero sekolah. Mulai dari guru-guru sampai ke kelas-kelas lain, adik kelas dan kakak kelas juga udah pada tahu. Apalagi setelah mereka merekrut gengnya dengan nama "BLACK COBRA". Kayaknya dulunya mereka penonton setia Anak Jalanan nih.
Gara-gara itu juga, kelas XI.IPS 5 menjadi buruk di pandangan warga sekolah. Padahal aku nggak pernah membayangkan itu. Kenapa harus seperti ini?
"Aaah rasanya pengin pindah aja!" curhatku pada Lisa. Tak disangka cowok-cowok itu mendengar perkataanku. Sebenarnya bukan aku saja sih, teman-teman yang lain juga pernah bilang pengin pindah ke kelas IPA atau ke IPS lagi, asal jangan di sini!
Nyiksa batin banget!
"Oh elo-elo mau pindah?" ujar Munir sambil menatap kami satu per satu. "Bagus dong. Pindah aja sana, kayaknya bakal lebih enak tanpa lo semua. Cerewet!"
"Apaan maksud lo?"
"Waktu kelas sepuluh, cewek-ceweknya pada nurut, nggak kayak yang sekarang, ngeyel. Bisanya ngadu sama gurulah, BK-lah. Nggak ada solid-solidnya!" Yang berbicara adalah Gino, dengan wajahnya yang berapi-api karena kesal.
"Gue nggak peduli. Ngapain kita mesti nurut sama orang-orang kayak lo. Amit-amit!" sengit Lisa kepada cowok-cowok itu.
"Eh berani lo sama kita?" tantang Gino.
"Ngapain gue mesti takut?"
"Udah, udah, Gino, jangan diladenin. Nanti lu lupa kalo mereka cewek, maen tabok gitu aja," ujar Munir berusaha meredakan perdebatan kecil tadi.
"Abisnya ngeselin sih jadi cewek." Sepertinya Gino masih kesal. Tapi ia mencoba menuruti perkataan Munir. Lalu mereka keluar kelas bergerombol.
Aku bernapas lega setelah sempat merasa bersitegang melihat bagaimana cowok-cowok itu terlihat marah. Ah kenapa jadi kayak gini?!
"Udah ah jangan dipikirin, nanti kita coba obrolin aja sama Bu Ina. Biar dia yang nasihatin mereka," saran Giya pada akhirnya.
Aku dan teman-teman cuma mengangguk menyetujui perkataan Giya.
*****
-Inayivsil
-19-01-2018

KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Novela Juvenil#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...