Sosiologi 11

1.6K 119 7
                                    

Sepulang sekolah usai latihan drama bahasa Sunda, aku dan teman-teman biasa ngumpul dulu di halaman kelas yang ada tempat duduknya.

Temanku, Dewi, dari kelas IPS 1 bercerita tentang seblak cihuy yang sedang terkenal itu.

"Beuh enak siah, harganya murah meriah lagi," serunya dengan semangat empat lima.

"Emang berapa harganya?" tanyaku.

"Cuma 15.000 dan itu udah pake daging, telor, ah pokoknya paket spesial lah."

"Ooh." Kami mengangguk-angguk bersamaan. Iya, aku, Lisa, Arlina dan Ana.

Saat itulah aku melihat Adim, kalau aku nggak salah dia itu anak kelas XI IPA 3. Dia bilang mau pinjam sound system yang kebetulan memang masih ada di kelasku yang tadi aku dan teman-teman pakai untuk latihan drama. Adim juga mau latihan katanya.

Sebenarnya Munir dan kawan-kawan juga masih ada di sekitaran kelas. Gara-gara hujan juga sih kami masih belum pulang.

Beberapa menit kemudian, aku kembali melihat Adim keluar dari kelasku dengan menggusur sound system. Kami memang tepat berada di depan pintu kelas. Jadi pas tiba-tiba benda berat itu limbung kemudian terguling lalu dalam sekali waktu  jatuh mendarat di kaki Dewi, kami dengan jelas melihat itu.

Cewek itu spontan berteriak. Ya iyalah, benda itu beratnya hampir 30 kg. Jatuh di kaki. BAYANGIN. Bayangin gimana rasanya. Jari kelingking kaki nyenggol pintu aja rasanya kayak mau patah, gimana ini?

Jadilah, badan Dewi ikutan merosot ke lantai karena rasa sakit itu. Bahkan dia sampai mengeluarkan air mata. Padahal, Dewi itu salah satu cewek paling strong yang aku kenal. Mungkin karena nggak kuat-kuat banget nahan sakit. Akhirnya dia milih nangis. Kasihan.

Tapi yang bikin, bikin, bikin kesal, bikin hati panas dan mulut pengin ngomong adalah reaksi Adim.

Cowok itu, bukannya nolongin malah bilang gini. "Eh elu kenapa? Lebay banget sih, udah ah nih gue pinjem sound-nya yaa."

Heh? Aku pengin ketawa. Semua orang yang berkerumun di sekitar kami juga saling menatap ke arah Adim, kebetulan yang ada di sini dominan anak-anak IPS.

Lalu tiba-tiba Munir datang dengan wajah memerah. Tiba-tiba ia menjegal kaki Adim sampai cowok itu terpental jatuh bersama sound system-nya.

Kami melihat pemandangan itu dengan terkejut. Lalu Adim bangun dan menatap tajam ke arah Munir. "Maksud lo apa-apaan? Mau cari masalah?!"

Munir tertawa tidak percaya. Lalu satu pukulan melayang dan mengenai rahang Adim. "Yang ada elo yang cari masalah, brengsek!"

Bukan hanya aku, semua orang yang ada di sini terbelalak melihat adegan tersebut.

Adim meringis mengusap sudut bibirnya yang lebam. "Kenapa sih lo?!" bentaknya marah.

"Elo yang kenapa? Jangan mentang-mentang lo anak ipa terus lo bisa seenaknya gitu sama orang." Munir terlihat benar-benar marah. Tapi kami belum tahu apa maksudnya.

"Maksud lo Dewi?" tebak Adim. "Yaelah gue juga nggak sengaja kali, lagian tuh cewek lebay banget pake nangis segala."

"Sampah lo!" hardik Munir. Wajahnya makin berapi-api. "Kalaupun elo nggak sengaja, dan lo nggak bisa nolongin, seenggaknya lo minta maaf, bukannya ngehina. Dasar sampah!"

"Lo jangan seenaknya ngatain gue kayak gitu! Lo lebih brengsek! Semua orang tahu kelakuan lo!" balas Adim tak kalah sengit.

"Ternyata lo cuma punya tampang, tapi nggak punya hati," ujar Munir sarkas membuat Adim melotot. Tapi Munir tak peduli. "Sekarang gue tahu. Anak IPA, otak boleh cerdas, tapi jiwa sosialnya nol besar."

Kata-kata Munir yang terakhir itu sukses membungkam Adim. Cowok itu diam dengan mengepalkan tangan erat-erat. Aku melihat Munir bergegas memangku Dewi menuju UKS.

Hari ini, aku mendapat pelajaran berharga. Ternyata, orang-orang seperti merekalah yang kadang kita butuhkan. Mereka, yang masih mendahulukan perasaan ketimbang logika. Kadang, otak memang tak selamanya menyelamatkan. Kita butuh hati.

*****

-Inayivsil
-01-02-2018

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang