Geografi 39

1.1K 79 0
                                    

DINYATAKAN LULUS.

Adalah kalimat yang bisa menghebohkan jagat raya. Semua orang yang ada di lapangan mendadak histeris. Ditonton oleh adik kelas yang menatap aneh. Padahal nanti juga mereka ngerasain betapa terharunya saat tulisan itu ada di secarik kertas yang digenggam.

Iya. Kita semua lulus. Lega rasanya. Sempat menanti dengan harap-harap-cemas. Akhirnya semua terjawab hari ini. Tinggal menunggu waktu sampai hari perpisahan itu tiba.

"Woi, lo lulus juga?" suara Gema, cowok dari kelas IPA-2 menggema saat bertanya pada Munir dan kawan-kawan. Terdengar meremehkan.

"Lulus dong," jawab Fahrul bangga. "Mungkin lo nggak akan percaya. Yah walaupun selama di sekolah, kita terkenal berandalan, seringnya bikin ulah, minggatlah, apalah. Tapi belakangan ini kan kita berusaha keras. Ya kan, Nir?" Sumpah, aku tidak percaya Fahrul bisa bicara selancar dan sebaik itu. Selama ini, ngomongnya nggak pernah benar. Suka nggak jelas.

"Iyalah. Orang boleh nyangka kita kayak gimana, terserah. Yang penting kita sama-sama tahu. Kita pernah berjuang bersama," tukas Munir yang spontan diacungi jempol oleh Gino, Wawan, Dodo, Ryan, Ardi, Anang, Sandi dan Andi.

Tapi apa yang dikatakan Munir dan Fahrul memang tidak salah. Aku dan teman-teman saksinya. Semenjak semester terakhir itu, mereka memang banyak panggilan dari guru-guru untuk memperbaiki nilai dan mengisi nilai yang masih kosong.

Aku dan teman cewek juga terheran melihat cowok-cowok yang biasanya pemalas mendadak rajin gitu. Meskipun sesekali bikin ulah kecil. Mungkin untuk mengusir sedikit pusing karena memikirkan tugas. Tapi akhirnya mereka lulus juga kan?

Tapi syukur deh. Aku ikut bahagia. Seanarkis apa pun mereka, tetap saja tidak mau mengecewakan orangtuanya.

Kini aku tahu, ternyata kenakalan yang mereka lakukan di sekolah selama ini hanya untuk menikmati masa SMA yang nggak akan kejadian dua kali. Mereka memanfaatkan momen yang nggak akan mereka alami lagi. Karena pada akhirnya prioritas mereka tetap satu, membahagiakan Ayah Ibunya.

Iya, aku mengerti sekarang.

"Entar lo mau kuliah dimana, Nir?" tanya Wawan ketika kami berkumpul bersama.

"Di sini aja deh," jawab Munir.

"Jurusan apa?"

"Lo kan tau sendiri, cita-cita gue adalah hakim. Ya pasti jurusan hukum."

Hahaa.. Kami tertawa bersama. Tuh kan, orang seperti Munir aja punya cita-cita. Dia punya tujuan. Padahal, aku aja masih bingung mau kemana.

Huh... Hidup tidak seperti apa yang terlihat ya.

Kadang, mereka yang rajin, disiplin, pintar di sekolah, tapi mereka sering bingung apa tujuan mereka. Hanya sekedar jadi orang yang nomor satu.

Sementara, mereka yang sering tidak belajar, bertingkah merusak, dan benar-benar anarkis ternyata memiliki tujuan.

Ingat pepatah ini, Don't judge a book by it's cover.

***

-Inayivsil
-09-07-2018

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang