Sosiologi 14

1.4K 104 3
                                    

Setelah insiden menghebohkan jagat sekolah dua hari yang lalu, di mana semua murid kelas XI IPS 5 dihukum di tengah lapangan yang sialnya waktu itu cuacanya dalam keadaan gerimis, sehingga meskipun kecil, kami dapat merasakan baju seragam basah dan juga sedikit dingin.

Okelah itu tidak terlalu jadi kendala. Maksudku masalah utamanya adalah teman-teman pada menyalahkanku atas kejadian yang menimpa rabu sial itu. Sementara Ibu Ina, wali kelas kami, marah besar. Kami bisa terima itu.

"Njir, gara-gara lo berantem sama Munir, kita yang kena imbasnya." Itu suara Kina dengan wajah sinisnya.

Emang gue peduli?

"Udah diomelin BK, eh ditambah hukuman hormat ke tiang bendera. Nasib bener gue di kelas ini!" rutuk Amber.

Kan gue juga udah bilang.

"Entah ke berapa kalinya kita udah dihukum, dan entah ke berapa puluh kalinya kelas kita jadi sorotan gosip sekolah. Ditambah kejadian kemarin, fiks kelas kita bakal dicontreng tinta merah!" Giya, si perempuan santri itu menggerutu.

Biarin. Biar jadi kenang-kenangan buat entar!

"Udah, udah! Lo pada nggak ada solid-solidnya temen lagi berduka. Bukannya ngehibur malah nyalahin," ketika mendengar ucapan Lisa, jujur aku merasa senang. Masih ada yang membelaku ternyata. Ah, dia memang sahabat sejati.

Ya, insiden aku bertengkar dengan Munir sudah berlalu dua hari. Tetapi efeknya masih terjadi sampai hari ini. Selain harus mendapat ceramahan dari sang guru BP, kejadian itu juga membuat murid cewek dan murid cowok IPS 5 seakan renggang.

Terkadang aku juga menyadari, apa yang aku lakukan merupakan sebuah tindakan yang keliru. Tapi apa boleh buat. Aku sudah tak tahan lagi dan aku terlanjur kesal pada cowok bernama belakang Garena itu.

Bukan, ini bukan soal harga diri. Apalagi karena aku tak ingin terlihat lemah di mata dia, bahkan aku sudah tak peduli lagi. Tapi aku memang ingin mengeluarkan itu selama ini.

Aku masih ingat kata-kata Bu Devi sewaktu kami dipanggil ke ruang BK. Guru itu memberi nasihat yang kalau dicermati, aku ngerasa 'kok benar ya?'. Dia bilang gini,

"Kalian bermusuhan? Cuma karena saling mempertahankan ego? Ayolah, nak. Setiap orang memang berhak memilih. Setiap orang memang berhak mengeluh atas keinginannya yang tak terealisasi. Tapi ada tempat dan masanya. Dan Ibu melihat permasalahan kalian.. Ya ampun..andai saja kalian tahu, masa-masa seperti inilah yang akan kalian rinduuuukaan suatu hari nanti. Yang akan membuat kalian merasa bersyukur karena pernah mengalaminya. Ibu yakin."

Rasanya, ada sebagian dari diriku yang mengiyakan. Tapi di sisi lain, aku juga nggak bisa terus-terusan diperlakukan seenaknya. Terlebih karena mereka sering sekali membullyku. Yang ini baru kuberitahu sekarang.

Hanya saja, setelah merenungkan kebijakan Bu Devi, aku merasa menjadi orang yang tidak pernah mensyukuri apa yang aku miliki dan aku alami. Itu benar. Maka dari itu, aku ingin memperbaikinya.

Tetapi kulihat Munir dan kawan-kawan masih enggan untuk berbicara padaku atau pada yang lainnya. Sudah dua hari kami main patung-patungan. Saling membisu. Tak ada lagi obrolan aneh ala Wawan, Andi, Dodo, Fahrul, Ardi, Anang dan lainnya.

Mengobrolpun hanya dengan teman-teman sejenisnya. Apa pengaruhnya seburuk ini? Di satu sisi, aku sedikit merasa senang karena dengan diamnya mereka, tidak ada lagi yang merusak atau pun mengganggu. Namun di sisi lain, aku merasa bersalah karena ini seolah-olah membuat sebuah tali pertemanan nyaris putus. Aku harus bagaimana?

Lalu, dengan versinya Giya menyuarakan di antara heningnya suasana kelas. "Oke, baiklah kalo lo semua masih betah diem-dieman gini. Cuma gue pernah denger dari Ustadz di pesantren gue kalo umat Muslim tidak boleh bermusuhan lebih dari tiga hari. Dan lo semua kayak gini udah di hari ketiga. Rek kitu wae hirup tehh??!"

Kami ternganga mendengar ucapan aneh Giya barusan. Kalau soal ceramahnya, kita juga tahu. Kan di sekolah diajarin. Tapi kami nggak nyangka dia pakai bahasa sunda di akhir kalimat. Sambil ngebentak lagi.

Tapi, kami cuma diam saja. Tidak ada yang merespon ucapan Giya. Kasihan juga cewek itu.

BRAKK!

Kembali, kami tersentak mendengar bunyi itu. Kukira Giya berani sekali menggebrak meja, ternyata bukan. Itu suara yang dihasilkan telapak tangan Munir dengan permukaan meja.

Sekarang kami memfokuskan pandangan ke arah Munir. Mau apa lagi cowok itu? Aku masih menyimpan kekesalan padanya atas tuduhannya yang menyangkut soal gebetan. Benar-benar menyebalkan.

"Oke. Benar kata Giya, kita baikan."

Untuk kedua kali, kami semua cengo. Kukira dia akan berulah lagi lebih parah, atau setidaknya menambah parah situasi. Ternyata dugaanku salah besar! Sesaat, aku merasa bersalah sekali. Entah yang ke berapa kali.

Tapi sejak Munir mengatakan itu dengan lantang, ada kelegaan yang menyelimuti. Seakan-akan bebanku terasa berkurang.

Lucunya, seperti habis lebaran, kami salam-salaman dan saling minta maaf. Murid-murid dari kelas lain yang tak sengaja menyaksikannya tertarik untuk mengetahui sedang ada keanehan apa lagi di kelas ini?

Tapi sungguh, kami tak peduli saat itu.

"Gue benar-benar minta maaf karena keegoisan gue," akhirnya aku mengutarakan permintaan maafku pada Munir, dan kepada semuanya. "Maaf juga karena gue, kalian jadi kena hukuman."

"Ah gak papa, gue juga minta maaf. Karena sebenarnya gue yang salah dalam hal ini. Gue yang memulai dan memancing masalahnya. Emang pantes kok orang kayak gue selalu mendapat hukuman."

Tidak ada lagi kecanggungan. Kami semua kembali tertawa saat itu.

Tiba-tiba aku berkata. "Eh tapi plis dong, jangan sering-sering bikin onar lagi. Kita semua kan udah baikan."

"Oh, kalo soal itu, kayaknya nggak bisa. Udah jadi kerjaan." Dodo tertawa disusul yang lain.

Aku dan teman-teman cewek mendesis.

"Heh asal lo tahu aja, tanpa orang-orang kayak kita, masa SMA lo nggak bakal rame. Datar aja kayak jalan tol. Nggak ada seru-serunya," timpal Wawan.

Andi mengangguk setuju. "Bener tuh. Jadi lo semua harus bersyukur punya teman kayak kita."

"Bersyukur?? Yakaleee."

"Hahaaaa."

*****

-Inayivsil
-08-03-2018

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang