Bak sidang sungguhan, hari itu tepat istirahat kedua, meja dan kursi di ruangan kelas XI.IPS 5 berubah posisi layaknya tempat persidangan.
Dengan Angga yang kini duduk di tengah-tengah sebagai terdakwa. Dia masih celingak-celinguk semenjak Munir dan kawan-kawan menariknya dari kelas.
Harus kalian tahu, aku tidak tahu menahu soal ini. Bahkan aku dan teman-teman cewek lain terheran-heran ketika cowok-cowok itu mulai menggeser-geser kursi dan meja lalu ditata.
"Woi, ini sebenarnya ada apaan sih?" Amber bersungut-sungut.
"Menyelesaikan apa yang harus diselesaikan." Gino menjawab mantap sambil mengangkat kursi.
"Udah, Mber, lu diem aja napa. Entar lo yang jadi saksinya," kata Wawan di belakang Amber.
"Ih bodoamat anjir," gerutu Amber tak peduli karena sudah tak mengerti lagi dengan pemikiran cowok-cowok itu.
Kini, tiga orang yang mengaku sebagai jaksa duduk di depan kami. Mereka tak lain adalah Munir, Gino dan Ardi. Ih emang dasar ya!
Di samping sebelah kanan Angga, duduk aku sebagai penuntut pertama, katanya.
Di sebelah kiri, berdiri Kina dengan muka kecutnya melipat kedua tangan di dada sambil tak henti mendecak. Mungkin ia juga sama tersiksanya akibat kelakuan cowok-cowok alien itu.
Lisa, Ana, dan Anang berada di pihakku. Katanya. Lagi.
Amber, Giya, dan Wawan di pihak Kina. Sisanya menjadi pengunjung.
Sementara Uji, ditunjuk sebagai pengacara Angga yang tak lain adalah teman sekelas cowok itu. Meskipun awalnya ia juga cuma bisa cengo sambil mikir, 'ini apa-apaan sih? Gak penting banget sumpah'.
Mau tak mau, gara-gara dipaksa, kita harus ngikutin ide paling konyol nggak ada duanya ini. Gila! Ini sih udah keabsurd-an tingkat atas. Ngapaaiiin coba? Heuh.
"Baik, mari kita mulai." Munir menginterupsi. Sok-sok-an menghela napas. "Sodara terdakwa, Angga... Maaf kepanjangannya apa sih?"
What?
Emang ada sidang kayak gituh? Amit-amit!
Gino menutup wajah menggunakan telapak tangan. Sementara Ardi ngomel-ngomel. Para saksi berteriak riuh meledeknya. Angga malah melongo. Sayangnya dia mah tetep ganteng dan cool. Eh?
"Lah kan emang nggak tau. Makanya nanya." Munir membela diri. "Maaf, maaf ada sedikit kesalahan teknik," ujarnya sok bijak. "Ohya tadii namanya Angga apa?"
"Gionardo," desah Angga.
"Wadaw! Namanya keren juga. Kayak nama seniman? Eh atau yang main film Titanic ya?"
"Ih anjir itu Leonardo! Beda woi, beda!" teriak Gino di dekat telinga Munir. Cowok itu cuma cengengesan.
Hah! Tepuk jidat. Sebenarnya tuh cowok alien niat nggak sih? Demi apa ini mah malu-maluin banget! Dari tadi nggak jelas banget perasaan.
"Woi, lo cepet, atau kita bubar nih!" itu suara Kina. Mulutnya kayak petasan. Tapi aku sih setuju aja.
"Iya nih, nggak jelas banget!" teriak yang lain.
"Tau tuh, ngapain juga kita harus nurutin. Berasa kayak bego gue kayak ginian."
"Woi, sabar-sabar pemirsa. Baik, baik, sekarang kita serius," sela Munir sambil mengarahkan pandangan ke depan. "Jadi, sodara Angga Gionardo, menurut laporan yang kami terima bahwa sodari Revita menuntut anda atas dasar Pemberi Harapan Palsu. Dan sodari Kina menuntut anda atas dasar penduaan dengan bukti tertangkap memberikan novel pada perempuan lain, dan perempuan itu tak lain sodari Revita. Benar begitu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Teen Fiction#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...