Menyebalkan! Tahu gini mah rasanya kepengen balik lagi ke rumah. Terus mendekam aja di kamar. Sambil baca buku atau nonton film. Ketimbang harus naik motor berdua sama cowok ini.
"Lo kenapa? Dari tadi manyun mulu," ujar Angga sambil melirikku dari kaca spion.
Aku memutar bola mata. "Kenapa sih harus lo yang jemput?"
"Loh kenapa? Takut gagal move on yaa?"
Spontan aku melotot. "Stop! Stop! Stop!" pekikku.
"Eh eh kenapa sih?" gerutu Angga sampai ia pun akhirnya menghentikan laju motornya.
Aku tidak melewatkan kesempatan itu untuk bergegas turun dari motornya. Sebut saja aku tidak sopan karena bersikap seenaknya bahkan kini aku mulai berjalan meninggalkannya.
"Hei tunggu lo mau kemana?"
Tak kuhiraukau suara Angga di belakang. Aku tidak bisa terima dia bilang aku nggak bisa move on. Kesel!
"Vit," panggilnya waktu sudah mensejajariku yang tengah berjalan kaki di trotoar.
"Apaan?" responku ketus tanpa menoleh padanya dan terus berjalan. Tetapi Angga terus mengikutiku dengan motornya. "Udah sana pergi. Gue mau pulang."
"Belum sampai masa udah mau pulang. Lo boleh marah sama gue tapi inget, kasian tau temen-temen pasti udah nungguin. Emang lo tega?"
Sial! Benar juga. Aku nggak datang waktu dulu, masa sekarang juga enggak. Piqni pasti kecewa. Entah kenapa pikiran itu membuatku tanpa sadar berhenti melangkah. Lantas aku mendongak ke arah Angga. "Ya udah deh. Tapi lo jangan ngomong gitu lagi. Gue sebel."
"Loh, emang gue ngomong apa?" tanyanya pura-pura nggak tahu.
"Itu.. yang bilang gue gak bisa move on. Lo kata gue cuma bisa suka sama satu cowok. Enggak! Masih banyak kok cowok yang lebih baik dari pada lo."
Hening. Angga menatapku lekat tanpa berkata apa-apa.
"Ih, kok diem aja sih. Nggak balas omongan gue," decakku kesal.
Akhirnya suara tawa pun pecah. "Jadi karena itu lo sampe turun dari motor gue?" ujarnya setelah berhenti tertawa.
"Nggak lucu."
"Tau nggak? Sebenarnya gue yang maksa diri buat jemput lo."
Deg! Perkataan Angga tiba-tiba membuat jantungku berdebar dan berpacu dua kali lebih cepat. Kalau gini mah beneran aku nggak bakalan bisa move on. Tapi sebisa mungkin aku harus bersikap biasa saja. "Kenapa? Kenapa lo pengen jemput gue?" tanyaku dengan angkuh.
Bukannya menjawab, cowok itu justru tersenyum misterius. Sukses bikin aku melongo. "Angga ih!"
"Lo cantik tau hari ini. Serius. Beda dari yang biasa gue liat."
"Paan? Mau gue bilangin Piqni nih, genit sama cewek lain?" ancamku padahal pipi udah memanas bahkan mungkin memerah. Semoga aja dia nggak ngeliat.
Angga ketawa lagi. "Bilangin aja," ucapnya santai. Aneh. Kok dia nggak marah? "Heh., daripada bengong mending ayo naik ke motor gue. Kita harus cepet sampai. Ini acara penting tau."
Aku mencibir walau pada akhirnya tetep naik juga. Sumpah, kalau nggak seperti ini keadaannya, aku malas sekali ikut sama Angga. Udah belagu, sombong, seenaknya lagi.
"Pegangan ya, gue mau ngebut."
"Apa?"
"Iya, biar cepet sampai."
"Gue belum mau mati, Ngga. Gue belum sukses."
"Kirain mau bilang belum bisa ngelupain gue."
Kali ini aku nggak segan untuk memukulnya dengan keras. "Gue bisa! Liat aja nanti, gue pasti bisa ngelupain lo."
"Aduh! Aduh! Aduh! Sakit kali, Vit. Tenaga lo kayak badak!" ringisnya. "Iya gue percaya deh," tambahnya.
"Ya udah ayo cepet berangkat!"
"Oke. Oke. Haha."
Dan motor pun mulai melaju dengan kecepatan wajar. Tak tahu mengapa di balik sikapku yang galak padanya, diam-diam aku bersyukur kepada Tuhan. Jika Angga tidak bisa menjadi bagian dalam hidupku, biarkan dia sekedar temanku. Sungguh, itu lebih baik untukku. Angga, selalu berhasil membuat hidupku berwarna. Sejak aku pertama kali mengenalnya.
📊
"KITA MENANG! SELAMAT!" seruan keras itu yang menjadi pembuka acara. Tapi jujur, aku belum ngeh maksud Piqni barusan. Sampai kemudian Piqni melanjutkan. "Jadi teman-teman, aku dapat email dari panitia lomba yang isinya 'selamat, film anda terpilih untuk menjadi pemenang dalam kompetisi Short Movie Champions 2018'. Jadi apaan tuh?"Sekarang aku mengerti dan tak percaya kalau film yang dibuat Piqni akhirnya bisa menang. Teman-teman yang ada di sini juga terkejut. Pada akhirnya kita memberikan selamat dan bangga pada Piqni.
"Gue nggak nyangka deh, Piq. Lo emang berbakat!" gumam Arya sambil tos dengan Piqni.
"Ini juga berkat kalian juga kok. Para pemain. Makasih ya," balas Piqni. Saat itu, tiba-tiba Piqni menggenggam tangan Angga yang berdiri di sampingnya. Cepat-cepat kualihkan mataku. Lantas aku memilih keluar dari perkumpulan itu dan pura-pura mencari makanan.
Acara ini ternyata letaknya di pekarangan rumah Piqni. Aku juga tak menyangka saat tiba di tempat ini, sudah banyak hiasan dan slogan bertema kemenangan. Selain itu, banyak makanan berjejer di sekitar lokasi. Sepertinya, orangtua Piqni sangat mendukung bakat putrinya.
Di tengah mencari minum, aku berpapasan dengan seorang wanita paruh baya. Wajahnya seperti tidak asing. Ia tersenyum padaku. "Kok kamu nggak gabung ke sana?" tanyanya ramah.
"Oh aku mau cari minuman dulu tante," jawabku. "Emm, tante ini... mamanya Piqni ya?"
"Iya kok kamu tahu?"
Benar kan. Pantas saja aku seperti familiar. "Iya, wajahnya mirip, tante."
"Oalah. Iya banyak orang bilang gitu. "Ohya, nama kamu siapa?"
"Saya Vita, tante."
"Oh, Vita. Emm kalau begitu tante permisi ya mau nyamperin anak tante dulu."
"Oh iya tante. Silakan." Setelah berdialog sedikit dengan mama Piqni aku memutuskan untuk mengambil minuman. Di sana, aku ketemu Uji dan pacarnya sedang makan kue. Uji sempet ngajak gabung, tapi aku menolak. Ya malulah, entar jadi obat nyamuk.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku merogohnya dari tas dan menemukan nama Lisa di Caller ID. Aduh, ada apa nih cewek tumben telpon?
"Halo, Lis," sapaku pelan sambil mendekatkan ponsel ke telinga. "Apa? Sekarang?... Yaa gue nggak bisa... I-iya. Maaf ya... Tapi tapi kalo lo mau gue bisa minta izin sama mereka.... Oh gitu ya. Ya udah deh. Dah, Lis.,
Aku menarik napas berat setelah menutup telepon. Merasa bersalah pada Lisa. Dia seringkali bantu aku dan selalu ada kalau aku butuh, tapi saat dia butuh, aku sering nggak ada.
"Ngelamun apa hayo?" nyaris terlonjak karena kaget, tiba-tiba aja ada cowok angkuh ini di sampingku. Spontan aku menohok ke arahnya. Dia cuma tertawa kecil. "Maaf, maaf deh."
"Kebanyakan minta maaf sih lo," kilahku.
"Yeu nggak usah cemberut gitu. Mending kita selfie yuk!" sekonyong-konyong dia merebut ponsel dari genggamanku dan merangkul bahuku sambil mulai mengarahkan kamera depan. "Ayo, Vit senyum dong!"
Saat itu, aku cuma mematung tanpa bisa bergerak. Bahkan ketika bunyi 'cekrek' dari kamera terdengar, aku masih terdiam dengan mulut kaku sambil menatap cowok itu dari jarak sedekat ini. Mataku seakan tak bisa berpaling darinya yang masih asik menghadap kamera. Dan seperti biasa, jantungku berdetak tidak normal.
Apakah, suatu hari nanti aku akan bertemu orang seperti kamu, Ngga? Apa aku sanggup melupakan kamu, sementara setiap melihat kamu, aku tidak pernah ingin kemana-mana? Kamu adalah sosok yang tetap di hati meski aku mencoba mengusirnya berkali-kali. Kamu selalu berhasil mengubah duniaku.
Tuhan... Biarkan rasa ini kusimpan. Tanpa aku mencoba untuk menceritakannya pada siapa pun. Sampai waktu yang menentukan dan melenyapkannya perlahan-lahan.
***
-Inayivsil
-08-07-2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Teen Fiction#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...