Hari ini pas istirahat pertama aku dan Lisa sedang menuju ke perpustakaan untuk mengambil buku paket Bahasa Indonesia.
Begitu sampai di depan pintu perpus, entah kenapa tiba-tiba Lisa berhenti.
"Vit, lo duluan aja, gue mendadak pengen buang air dulu. Ya ya ya?" ucap Lisa. Belum juga aku mengiyakan, dia udah ngibrit dan pergi entah kemana.
Ck! Aku mendecak. Masa harus bawa buku paket sendiri? Haduh!
Akhirnya dengan setengah hati aku berjalan memasuki ruangan perpus. Mataku beredar ke sekeliling dan mendapati ada beberapa orang di dalamnya. Tapi sedetik, pandanganku melayang ke arah sosok yang tak asing, tengah melihat-lihat ke rak buku. Kemudian aku mencibir. Pantesan aja Lisa ngacir, ternyata ada Uji. Eh..eh, bentar, berarti diaa beneran naksir dong?
Cepat-cepat kugelengkan kepala. Fokus buat bawa buku. Bukan malah mikirin yang enggak enggak.
Aku pun mulai mencari buku paket tersebut. Tidak susah. Lantaran setiap bagian lemari dilengkapi dengan tulisan dari setiap mata pelajaran.
Kira-kira aku mengambil sepuluh buku paket. Gila! Segini aja berat banget. Tanganku rasanya mau patah. Ah kenapa Lisa mesti kabur segala sih?
Bruk! Tiba-tiba buku dari tanganku berjatuhan. Saat hendak kuambil, sebuah tangan lebih dulu meraihnya. Aku mendongak. Uji.
"Ribet banget kayaknya, gue bantuin," aku mengerjap. Aku tidak mengenalnya secara personal, begitu pun sebaliknya. Ditawari begini, rasanya jadi sedikit canggung.
"Eh gak usah. Gak papa," tolakku sambil hendak mengambil buku paket dari tangannya. Tetapi cowok itu justru menjauhkannya.
"Serius gue bantuin," ucapnya mantap. Dia menatapku. "Nggak usah gerogi gitu, Vit. Tapi omong-omong masih inget gue?"
Sedikit kaget saat cowok itu memanggilku 'Vit'. Lantas aku mengangguk. "Masih. Uji kan?"
"Iya." Sejurus kemudian cowok itu tersenyum usil. "Kalau sama Angga, masih inget?"
Pipiku sukses memerah. Sialan nih cowok! Tapi aku berusaha biasa saja dan menjawab. "Ya ingetlah. Kami pernah sekelas."
Dia tertawa kecil. Kemudian berubah jadi senyum. Manis. Pantas saja Lisa suka sama ini cowok. Orangnya ramah dan humoris.
"Eh ke kelas sekarang?" dia bertanya.
Aku baru sadar. Hampir saja lupa. "Iya sekarang. Gara-gara lo nih kan jadi lupa," omelku bercanda.
Dia tertawa lagi.
Hari itu ada perasaan senang bisa kenal dengan seorang cowok seperti dia. Sejak hari itu, aku dan dia jadi akrab.
📊
"SERAANG WOI SERAANG!!" Teriakan Munir menggema di seantero kelas. Berpadu dengan rintik hujan yang turun deras.
"Gue dari sini, lu di sana!" Disambut dengan semangat lolongan Dodo seolah sedang pertempuran 86.
"Awas di sana, Wan!" seru yang lain.
Jika kuceritakan keadaan kelasku sekarang, ancurr! Berantakan! Nggak pantes disebut ruangan kelas!
Kursi dan meja tergeletak tak beraturan. Tas-tas sekolah berserakan di bawah. Lantai basah dan kotor. Makin lengkap dengan banyaknya sampah kwaci bekas cowok-cowok nggak bertanggung jawab itu.
Lalu, suasana makin completed banget karena geng 'Black Cobra' melakukan perang yang enggak banget. Gimana nggak melongo, senjata yang dipakai tak lain adalah air dalam plastik kemudian diikat buat dilempar ke lawan.
"Kayak anak kecil, perang lempar air. Udah basah baru tahu rasa!" gerutu Giya di sela-sela menyaksikan tingkah ajaib teman-temannya.
Untung saja ini jam les tambahan. Dan gurunya nggak masuk. Mereka sengaja memanfaatkan momen. Tapi ya nggak gini juga!
Ngeliat kelas kayak nggak ada bagus-bagusnya. Aku dan teman-teman cewek terpaksa keluar kalau nggak mau terkena lemparan air mereka.
"Hujannya deras banget," cicit Arlina di sampingku.
"Enak kok, sejukk." Aku memejamkan mata menikmati sentuhan air hujan ketika kusodorkan telapak tanganku di bawahnya.
"Yaelah mendramatisir," cibir Arlina.
Aku tak mempedulikan cibiran Arlina. Masih tetap menghirup aroma hujan yang sebenarnya nggak kecium wangi juga sih. Saat perlahan kubuka mata, seketika dadaku bergemuruh menangkap sosok Angga yang berdiri di sana. Lurus tepat denganku.
Tadinya aku ingin mengalihkan pandangan, tapi rasanya hati dan otakku berlawanan. Pada akhirnya aku memutuskan untuk tetap memandangnya dari jauh. Melihat dia tertawa bahagia, itu sudah cukup bagiku. Aku terlalu bahagia sampai baru tersadar kalau sepasang mata hitam itu menubruk mataku.
Semua terjadi begitu saja. Aku menatapnya sayu dan dia menatapku pilu. Kami bersitatap cukup lama. Harusnya aku segera menghindar, tapi kenapa tidak bisa?
"Vita, awass!!"
Aku dalam keadaan 'kurang sadar' saat mendengar teriakan itu sehingga otakku tak mampu memproses dengan cepat. Alhasil, kesadaranku telah kembali sepenuhnya ketika sesuatu menimpa kepalaku. Terasa cair, basah, dan dingin.
"Eh Vitaa, sori sori nggak sengaja!" itu suara Wawan yang malah disambut tawa yang lain.
Darahku mulai naik ke ubun-ubun, dan wajahku merah padam. Antara malu dan marah bersamaan. Kutepis perasaan itu, lalu berbalik. Dalam dua detik, kakiku sudah bergerak cepat mengejar orang yang sudah melempariku plastik berisi air tersebut.
"WAWAAN, SINI LO!! JANGAN LARII!"
Satu hal yang kusadari, ada secercah senyum di ujung sana. Lalu senyum itu berujung tawa kecil seakan lucu menyaksikanku. Yang awalnya aku marah justru berubah menjadi desiran yang hebat di dalam hati.
Seandainya ku harus jujur, iya aku masih menyukainya.
****
-Inayivsil
-26-05-2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Teen Fiction#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...