Sosiologi 20

1.3K 88 2
                                        

Waktu itu adzan subuh berkumandang tepat beberapa menit setelah rombongan sekolah kami turun di terminal yang berdekatan dengan sebuah Mesjid besar.

"Hei, ini udah dimana?" tanyaku pada teman-teman.

"Nggak tau gue juga," jawab Amber.

"Katanya ini di Purwakarta." Giya menatapku. Aku menganggukan kepala sambil ber'oh' ria diikuti teman-teman yang lain.

Lantaran kita masih sangat lelah berjam-jam di dalam bus, subuh itu kami duduk di teras Mesjid sambil menunggu giliran. Kepala rasanya terasa pening.

"Eh sholat sekarang yuk," ajak Giya.

Kami mengangguk. "Ayuk!"

Setelah wudhu kemudian melaksanakan sholat subuh berjama'ah, sambil menunggu yang lain giliran sholat, aku dan teman-teman sekelas hendak mencari makanan untuk sarapan. Menu kami jatuh pada Pop Mie. Praktis dan simpel. Cocok juga pas lagi dingin-dingin seperti ini.

Kami makan bersama sambil sesekali bercanda. Bahkan sampai langit mulai terang. Sebelum kembali ke dalam bus, cowok-cowok mengajak kami untuk berfoto bersama terlebih dahulu.

Dengan senang hati kami terima. Itung-itung bikin momen buat diabadikan. Hehe. Setelah itu, sekitar jam setengah enam pagi rombongan kami siap melanjutkan perjalanan. Yeayy!!

📊

"Jogjaaaa... I'm comiiiingg!! Yuhuuu!"

Aku meringis. "Lebay ih, Lis."

"Sabodo teuing lah," cibirnya. Aku cuma terkikik pelan.

Ternyata bus berhenti di area sekitar Borobudur, kira-kira jam sepuluhan. Banyak sekali orang-orang di sini. Ada yang lagi main sepeda, banyak yang jualan barang-barang seperti aksesoris, baju, oleh-oleh di sepanjang menuju candi, ah pokoknya rame.

Duhh senang banget bisa kembali menginjakkan kaki di kota seni ini. Jadi inget masa-masa SMP. Kangen sama teman-teman. Mereka dimana ya?

Eh kok jadi melow gini sih? Harusnya kan hepi-hepi!

Setelah mendapatkan tiket dari penjaga candi, kami pun mulai memasuki pelataran Candi Borobudur. Banyak bule-bule alias turis yang memenuhi bangunan kejaiban dunia itu. Warga lokal juga tak kalah banyak.

Mulai deh semua orang ngeluarin hp, DSLR, handycam, gopro yah semacam itulah lalu mereka mulai berfoto dan ber-selfie ria. Tidak terkecuali aku. Yaelah masa memori seperti ini harus disia-siain, nggak mungkin!

Pokoknya hari itu kami beneran senang-senang. Waktu lagi foto bareng dengan Lisa, Ana, Amber, Andi, Dodo, Munir dan Gino, aku menoleh ke depan dan tak sengaja mataku berserobok dengan sepasang mata cokelat milik...Angga.

Aku sedikit terkejut tapi syukurnya aku bisa mengendalikan itu. Dengan berpura-pura mengalihkan wajah untuk fokus pada kamera, aku mulai berpose ria dengan teman-teman. Mencoba tak peduli.

Padahal sebenarnya aku tak bisa untuk tidak menoleh ke arahnya yang masih berdiri di depan dengan posisi menyamping bersama DSLR di tangannya. Lalu tatapanku bergeser pada sosok yang juga berdiri di sampingnya. Seorang cewek. Namanya Melda. Dia juga sekelas denganku dan Angga waktu kelas sepuluh. Bahkan, Melda adalah teman paling pertamaku ketika menginjakkan kaki di SMA.

Melihat dia sekarang, entah kenapa aku merasa iri. Aku pernah mendengar rumor bahwa Melda juga suka sama Angga. Entah itu benar atau salah. Yang jelas, aku nggak suka menyaksikan kedekatan mereka. Kenapa banyak banget sih yang suka dia?

Padahal, ganteng banget.. enggak. Populer banget.. enggak. Pintar banget.. enggak juga. Taulah.

Di tengah itu, sekonyong-konyong dari tempatku berdiri, datang lagi sosok cewek menghampiri Angga. Jika dilihat dari postur tubuh dan tingkahnya, seperti tidak asing. Eh, ya ampun... Itu Kina!

Bagus sekali!

Aku tidak bisa mendengar obrolan mereka, tapi aku hanya bisa mematung ketika Kina dan Angga berdampingan, dekat sekali, mereka berdua tersenyum...ke arah kamera. Dan Melda yang memfotonya.

Pliis, ini pemandangan apahh??

Mau pamer ke aku, huh?

Baiklah kalau begitu, tapi maaf-maaf saja aku tidak akan melihat.

Kuputar badan, memilih berjalan ke arah Lisa dan lainnya. Memasang wajah ceria. Sandiwara yang melelahkan.

"Heh, guys, minta foto sama turis yuk!" celetuk Wawan membuat kami langsung menatapnya.

"Emang lu bisa ngomongnya?" skeptis Amber.

"Yaelah gampang, tinggal gini doang kan, 'Hello sir/madame, can we take picture together?'"

Mendengar Wawan, kami terbahak. Pada akhirnya rencana itu kami jalankan. Cuma gara-gara Munir yang ngomongnya nggak bener, kami semua sakit perut karena terus ketawa.

Awalnya gini, pertama sama Turis bule, kalau dilihat dari wajah sih kayak orang Amerika. Merah-merah keputihan gitu.

"Halo, ser, ken..ken, ken naon sih?" Munir menoleh kepada kami yang spontan melotot pada cowok itu. Kulihat dia mendesis dengan tampang menyedihkan. "Sori, ser, emm.. Can..can we take...picture together?" Usai mengucapkan itu, Munir mendongak dan tersenyum menang kepada kami.

Kami cuma memutar bola mata malas.

"Sorry, what are you say? I don't understand. I'm sorry i have to go."

Sedetik, kami menahan tawa ketika Munir melongo sambil ngejar bule tadi. "Loh, loh, hei sir mau kemana? Gue mau minta foto ih dasar!"

Setelah melihat itu, kami benar-benar tidak bisa menahan tawa. Terbahak-bahak sampai sakit pipi.

Rencana pertama : gagal.

Tapi kita nggak menyerah. Mulai lagi keliling buat nyari turis. Eh ketemu yang bening banget. Cewek. Tinggi, putih, mulus, kayaknya orang Korea.
Cuma pas diajak foto, dia nggak mau, malah lari.

"Heh sombong euy, mau minta foto doang malah dadah-dadah. Kumaha ieu teh?" Kali ini giliran Wawan yang ngedumel nggak jelas. Kita mah cuma bisa ngakak aja. Nggak kuat sama kelakuan mereka.

Hari itu pokoknya menyenangkan. Ah, We Love Jogja, We love Borobudur.

************

-Inayivsil
-04-04-2018

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang