Pagi itu, aku mati-matian memasang wajah baik-baik saja ketika hendak memasuki kelas. Tepat di depan pintu, tak kusangka, aku terkejut melihat teman-teman sedang berkumpul. Mereka menoleh saat aku mengucapkan salam. Tenang, Vit! Tenang! Batinku. Otakku mendadak berkecamuk, memikirkan mereka sedang membicarakanku. Oh, kapan semua ini akan berakhir?
Lalu, tiba-tiba... Amber bersuara dengan nada sinis. "Tuh orangnya udah dateng!"
"Iya, pas banget," tambah Kina tak kalah sinis. Sebenarnya saat itu aku ingin memutar bola mata malas, tetapi kuingat-ingat lagi keadaannya kurang pas.
"K-kenapa?" Aku memberanikan diri bertanya meski jantung sudah berdebar. Rasanya kayak mau disidang. Iyalah, orang semua mata tertujunya ke arahku. Termasuk, Giya.
Sejurus kemudian, Wawan, masih dengan mukanya yang kurang tidur dan kusut menghampiriku. Lalu memutariku seakan mengintrogasi. "Sekarang gue mau ngomong sama lo, Revita," ucapnya dengan nada lantang. "Lo kelas berapa?"
Oke, itu memang pertanyaan paling konyol yang pernah kudengar. Namun, sekuat tenaga kutahan gerutuan yang sejak tadi ingin kukeluarkan. "Kelas dua belas."
"Dua belas apa?"
"Lo kan ta-"
"Dua belas apa?" potong Wawan membuatku bungkam seketika.
"Dua belas IPS empat," jelasku.
"Nah itu. Itu identitas lo yang sebenar-benarnya. Ngapain lo masih berambisi sok-sok-an gabung sama anak IPA yang songong itu."
Aku menatap Wawan cengo. Sumpah, kali ini aku benar-benar gagal paham. "Lo ngomong apaan sih, Wan?"
Wawan menjentikkan jarinya. "Jelasin, Nir!" katanya pada Munir.
"Oke fiks," seru Munir. Kini, giliran cowok itu yang memandangku sangar. "Sodari Revita, apa sebenarnya alasan anda melakukan ini? Apa anda sudah bosan berteman dengan kami? Atau anda malu menjadi-"
"Eh buset, gak bisa ya lu ngomongnya biasa aja harruuh." Gino memotong ucapan Munir seraya memijit kening frustasi.
"Tau nih, berasa jadi jaksa hakim dia," timpal Wawan.
"Yaelah," cibir Munir. "Ya udah deh sekarang gue biasa aja." Kemudian cowok itu berdehem dua kali. "Vita, sekarang jelasin secara bahasa dan istilah. Terus nanti terangin secara keseluruhan. Kita dengerin."
Harusnya saat itu kita udah tertawa sama kelakuan cowok absurd bernama lengkap Munir Garena itu. Tetapi mengingat lagi kondisinya, jadi yang terdengar cuma suara siswa-siswi lain di luar kelas. Keadaan di kelasku justru hening dan tegang.
Aku mencengkram erat tali tasku lantas menghembuskan napas pelan. "Guys, sebelumnya gue minta maaf karena gue salah. Gue minta maaf karena bikin lo semua kecewa dan ngerasa kalo gue udah gak butuh kalian lagi. Gue minta maaf jika belakangan ini gue bersikap... sombong, padahal gue gak bermaksud sedikit pun. Iya, gue tau gue salah. Gue salah karena punya pikiran pengen..." Aku menggantungkan kalimatku.
"Pengen apa? Pengen populer?" aku mengangkat wajah dan bertemu pandang dengan si pembicara. Dia Lisa. "Ya kan? Lo pengen populer kayak anak-anak IPA. Lo pengen guru-guru ngeliat lo, atau orang-orang, adik kelas lo. Gitu?" Lisa menggelengkan kepalanya sembari tertawa tidak percaya. "Sumpah ya, Vit."
"Bukan... begitu..." aku berusaha membela diriku.
"Udahlah, Vit. Gue tau gimana elo. Lo nggak bisa ngelak lagi."
"Tapi ini nggak seperti yang lo kira, Lis. Dengerin gue dulu!" desakku mencoba mencari pengertian.
"Stop! Biar gue yang ngomong." Munir menyela. "Vita, lo harusnya sadar. Lo itu ditakdirin jadi anak sosial. Lo hidup di lingkungan sosial. Mau gimana pun lo tetep anak sosial bukan alam. Nggak usah ngerubah takdir yang nggak bisa diubah, kecuali kalo lo kuliah."
![](https://img.wattpad.com/cover/128852106-288-k965684.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Realitas Anak IPS
Teen Fiction#Buku1 Membaca ini, jangan harap baper-baperan, yang ada geleng-geleng kepala sambil ngucap "Astagfirullah!" "Anak IPS emang harus gini, gaol githu loch!" "Udah deh, kita tuh kayak gini itung-itung nikmatin masa SMA, kapan lagi coba!" "Nggak tahan s...