Sosiologi 26

1.2K 88 1
                                    

Tak terasa full day school sudah berlalu sebulan lamanya. Bukan saja menguras otak, tapi juga tenaga. Pulang sekolah dalam keadaan lesu, lemas. Eh, dikasih PR seabreg! Memangnya kita robot?

Kadang suka kesel sendiri, katanya full day itu no tugas no PR. Apaan, yang ada malah lebih banyak dari sebelum full day diterapkan. Jadilah, kita harus begadang buat ngerjain tugas dan ngisi LKS. Benar-benar capek!

Tetapi, meskipun begitu, lama kelamaan aku jadi terbiasa. Dan positifnya, hari Sabtu kan libur. Ditambah minggu. Jadi waktu istirahat cukup lama. Selama dua hari. Bisa dipakai buat hangout atau baca novel. Hihi.

Seperti saat ini. Aku, Lisa, Raisa dan Helma berniat jalan-jalan untuk nyobain kafe baru yang lokasinya tak jauh dari sekolah. Katanya di sana ada kopi yang dicampur dengan green tea. Namanya matffee latte alias matcha coffe latte. Aish, gimana rasanya ya?
Kopi kan pahit, ditambah teh hijau juga pahit. Maka dari itu aku penasaran. Aku sangat suka kopi. Tapi nggak pecandu. Dan kebetulan teman-teman juga setuju untuk ikut.

Sabtu itu aku mengenakan celana skinny jeans dan kaus putih dibalut kemeja kotak-kotak biru. Dipadu sepatu converse warna biru juga. Kuikat atas rambutku yang sepanjang bahu. Gayaku nggak tomboy sih, cuma nggak feminim juga.

Sementara Helma mengenakan rok kuning selutut dan baju berwarna putih dengan lengan sampai siku. Sepatunya juga warna putih. Di bagian rambutnya ditaruh jepit-jepit rambut. Kalau dia, udah pasti feminim.

Beda lagi dengan Raisa. Tiap bepergian penampilannya selalu modis. Bajunya keluaran baru. Iyalah, hobinya aja shopping. Mulai dari baju, sepatu, celana sampai tas. Dia mah gak akan ketinggalan.

Terus Lisa. Dia nggak jauh beda denganku. Cuma lebih rapi dan selaras. Pakai jeans dipadu tshirt lengan pendek. Dan juga sepatu flat.

Sekarang kita udah sampai di kafe baru itu. Lumayan bagus. Di depan kafe dipasang kanopi. Kita duduk sambil menunggu pelayan datang. Untung datangnya lebih cepat, masih kebagian tempat. Soalnya kayaknya banyak banget yang datang. Mungkin karena baru aja dibuka kali ya.

"Sstt..ssstt.." Lisa menowel lenganku. Kulirik dia dengan tanda tanya. "Di sini ada wifi nggak sih?"

"Loh ya mana gue tau, emang ini kafe punya emak gue? Orang gue aja baru ke sini," balasku sewot. Abisnya dia nanya nggak masuk akal banget.

Kulihat Lisa mendengus. "Maksud gue tanyain kalii."

"Apaan sih lu bedua bisik-bisik mulu," tegur Raisa membuat kami mendongak.

"Eh iya, tanyain dong, Sa. Di sini pasang wifi nggak? Pliis." Lisa memohon.

"Yaelah. Tapi entar dong kalo pelayannya udah ke sini. Masa gue musti teriak-teriak."

Raisa bicara gitu, Helma ketawa. Lisa cengengesan.

"Kenapa ketawa?"

"Aku juga pengen nge-wifi, maklum lagi krisis kuota," jawab Helma polos.

Selang beberapa menit, pelayan pun datang, menawarkan menu kepada kami. Tentu saja kami akan langsung pesan kopi terobosan baru itu. Memang tujuannya itu kan? Sebelum pergi, Raisa sempat menanyakan perihal wifi kepada si pelayan. Dan katanya dipasang. Yeaayy!!

Lisa dan Helma sudah mulai fokus ke ponselnya. Raisa sibuk selfie sendiri. Nggak ngajak-ngajak. Ya udah deh aku juga ikut main ponsel aja. Mau ngomong juga pasti nggak didengerin.

Tiba-tiba, Raisa menyikut lenganku. "Eh, eh, ada si Angga tuh sama temen-temennya."

Dalam diam, aku terkejut. Anjrit, dia juga ke sini?

Tapi aku tidak mau terlihat seperti itu di depan mereka. Jadi aku hanya merespon sekenanya. "Ya udah sih bodoamat."

"Masa?" seloroh Raisa. "Padahal dia keren banget loh."

"Ya biarin. Nggak ada urusannya sama gue, Sa."

Raisa tersenyum nakal. "Kok lo jadi sewot gitu sih? Masih suka ya?"

"Apaan sih, orang enggak."

Lisa dan Helma sepertinya ikut terpancing. Buktinya mereka berhenti main ponsel.

"Enggak tapi blushing gitu," tambah Lisa.

Bola mataku berotasi malas. "Kalo nggak percaya ya udah."

"Emang kita nggak percaya." Lisa dan Raisa puas menertawakanku. Menyebalkan!

Sialnya lagi, kenapa Angga harus duduk dengan teman-temannya di depanku? Tentu saja aku bisa melihat jelas bagaimana dia begitu bahagia bercanda dengan temannya itu. Cewek dan cowok. Untung saja dia nggak ngeliat ke sini.

"Cewek itu keliatan akrab banget ya sama cowok," entah apa maksudnya Lisa ngomong gitu. Tapi kulihat mukanya masam. Barulah aku sadar, di antara 5 orang itu, Uji ada di sana.

"Oh si Acha maksud lo?" tanyaku retoris.

Lisa menolehku. "Kok lo tau namanya Acha?"

"Taulah. Dulu pernah segrup waktu pramuka," jawabku santai.

"Ohh."

"Iih lo cemburu ya sama si Ujian itu?" aku menahan tawa.

"Nggak. Tapi dia mendadak cuek gitu kalo sama temen-temennya, kayak gak kenal. Padahal tadi berpapasan," jelas Lisa pelan.

Aku manggut-manggut. Persis kayak si Angga. Kalo lagi sama teman-temannya cuek banget. Kayak orang asing. Batinku tertawa. Entah apa yang aku tertawakan.

"Widiiiww!! Gaya juga ya elo elo datang ke sini!"

Kami tersentak kaget dan nyaris copot jantung mendengar suara yang tiba-tiba datang. Kayaknya dekat banget dan ditunjukkan padaku, Lisa, Raisa dan Helma.

Begitu kami menoleh, ternyata dugaanku benar! Munir, Andi, Gino dan Wawan berdiri di depan kami. Dan yang tadi mengagetkan orang sekafe tak lain adalah Andi, yang punya suara mirip toa Masjid.

Kami melengos dan langsung menutup wajah dengan telapak tangan ketika orang-orang menatap kami dengan tak suka. Termasuk Angga dan teman-teman.

"Eh, Sa, kok Aiko nggak ikut ke sini?" Munir menyikut Raisa.

"Ya mana gue tau."

"Yaelah lo kan temennya."

"Iya, tapi gue bukan emaknya."

Munir mencibir sebelum akhirnya cowok itu menghampiri Acha, bahkan tos dengan cewek itu.

Aku terdiam. Akrab juga?

Sebenarnya itulah yang aku kagumi dari cewek itu sejak lama. Ambisiku untuk menjadi cewek sekelas Acha, yang akrab dan ramah sama siapa pun kayaknya nggak bakalan terjadi. Karena aku lebih suka sendiri ketimbang ramai. Ya, aku memang introvert. Karena itulah kadang aku iri.

***

-Inayivsil
-21-05-2018

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang