25

65 5 0
                                    

Seira Pov-

"Seira datang sendiri hari ini ma,"

Kusematkan setangkai mawar di tepi nisan mama dan papa. Memandang sendu kedua nisan itu bergantian, lalu mendesah pelan.

Kuusap punggung tanganku sambil berjongkok, tersenyum tipis,

"Tangan Seira ditusuk jarum lagi ma,"

Semilir angin memainkan helai rambutku, menutupi sebagian sisi wajahku, aku menunduk dalam.

"Seira harus minum obat ma, obatnya banyak banget, Seira ga suka, pahit."

Bulir air akhirnya menetes dari mataku, kukulum bibirku agar tak mengeluarkan tangis.

"Seira ga sakit kok ma, mama jangan khawatir sama Seira ya?" ku tegakkan wajahku menatap penuh nisan mama.

Lama ku pandangi nisan itu, kuperbaiki letak tangkai mawar tadi yang oleng akibat angin.

"Lain kali, Seira kesini bareng kak Rey, kak Lania sama kak Angga deh ma.. jadi mama ga kesepian." Aku tersenyum tipis.

Pandanganku memburam karena genangan air di mataku. Bersamaan dengan gemuruh yang kian terdengar menakutkan, aku masih betah duduk dalam diam.

Hujan ini tak kan membuatku mati bukan? aku terisak, sementara tubuhku telah dihujani tetes tetes air dari langit.

Aku menunduk, menelusupkan wajahku diantara kedua lututku, mengeluarkan isakku yang sedari tadi menyesakkan dada.

Dingin, sangat dingin.
Tetapi aku enggan untuk beranjak, disinilah tempatku bisa menangis sepuasnya.

***

Kak Lania menyodorkan piring kecil seukuran telapak tangan kepadaku, kulirik isi piring itu lalu menunduk kembali.

"Minum obatnya dulu Sei," ucap kak Lania mengingatkan.

Aku berjengit di tempat,
"Kok obatnya tambah banyak sih kak? perasaan kemaren cuma tiga, sekarang kok lima?"

"Buat nambah tenaga sama vitamin Sei, kamu kurusan tuh." Sambar kak Reynand dari kursinya.

Aku mendengus sebal, "Sejak kapan Seira pernah gendut kak?"

Kak Reynand dan kak Lania nyengir kuda menatapku.

"Dihabisin ya, besok kakak bungkusin obatnya buat abis makan siang." Kak Lania bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju dapur.

Aku masih diam, menunduk memandangi lekat sebuah foto di jemariku yang ku sembunyikan agar tak ada yang melihat. Kugenggam foto itu ditangan kiriku,

Kualihkan mataku ke arah obat-obatan di atas piring itu, melihatnya saja aku ingin muntah.

Kuraih gelasku lalu kumasukkan beberapa obat itu ke dalam mulutku, setelah kuteguk habis isi gelasku, aku masih terpaku di tempat. Memandang tak berarti piring yang telah kosong itu, rasanya begitu pahit ditenggorokan dan menyakitkan saat di telan.

Harus sampai kapan aku mengkonsumsi obat obat itu ya Tuhan?

Nyaris saja bulir airmata ku menetes, secepatnya aku bangkit lalu berjalan cepat menuju kamarku, mengabaikan pandangan aneh kak Reynand.

HER  √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang