33

92 12 22
                                    

Hari pertama.

Seira menatap datar sekelilingnya, bersama bunyi gesekan kursi rodanya dengan ubin koridor rumah sakit. Angga sedang menemaninya berjalan-jalan di sekitar taman rumah sakit sebelum hari operasi di tentukan. Hari ini, Angga kembali bolos sekolah.

"Kepala Seira ga bakal dibotakin kan kak?" tanya Seira mendongak ke arah Angga.

Angga terkekeh pelan, mengacak rambut Seira yang memang sudah terasa tipis. "Engga Sei, kan yang dioperasi bukan kepala kamu."

Seira mengangguk tersenyum tipis, selama di perjalanan Seira hanya melamun. Angga menyadarinya, tapi ia memilih diam. Angga tahu—ini berat bagi Seira.

"Kak?" panggil Seira menatap kosong hadapannya.

Angga membalasnya dengan gumaman pelan.

"Mama Ana, papa Fauzan, Kak Rey, Kak Lania, dan yang lain nungguin Seira kan?" Seira berucap seperti anak kecil yang butuh sandaran.

"Iyaa Sei, kita semua nungguin kamu sembuh." Jawab Angga.

"Berarti Seira harus bertahan dan berusaha lebih keras kan?"

"Berusaha semampu kamu Sei."

Seira menunduk, memerhatikan jemarinya yang terasa dingin.

"Boleh ga, Seira berharap kalau kak Angga adalah kakak kandung Seira?"

Angga menghentikan dorongan pada kursi roda Seira, ia berpindah ke hadapan Seira. Meraih jemari Seira yang berkeringat, menatap lekat wajah Seira.

"Ini kakak kandung kamu Sei, selamanya ga akan pernah berubah."

Hari ke-2.

Semuanya sibuk mengurus administrasi untuk pelaksanaan operasi. Seira masih asik melamun di kamar inapnya, Angga di sekolah karena Seira memaksanya untuk hadir, Angga sudah banyak membolos.

Hari ke-3.

Hasil cek darah sudah keluar, Seira diperbolehkan melaksanakan operasi. Jadwal operasi sudah ditentukan, dua hari lagi.

Hari ke-4.

Semua orang menyemangatiku, keluarga dan sahabatku, mereka datang menjengukku untuk membuatku sedikit tenang. Tapi aku tetap takut.

Hari ke-5.

"Seira pasti sembuh, mama sama kakak Lania jangan nangis ya selama Seira di dalam." Seira berucap yakin, ia sudah duduk di brankar dengan pakaian khas operasi.

Lania mengangguk, kemudian ikut mengekori Seira menuju ruang operasi.
"Janji jangan nangis ya.." pinta Seira saat brankarnya berhenti di ambang pintu ruang operasi.

Ana mengangguk, seluruh orang disana mengangguk. Seira tersenyum—bahkan tetap tersenyum saat brankarnya didorong masuk ke dalam ruang operasi.  Ana dan Lania melangkahkan kakinya menuju kursi ruang tunggu di depan kamar operasi, bersama Fauzan, dan Reynand.

Kemudian, saat lampu operasi menyala merah, mereka mulai menautkan jemarinya. Dengan mata terpejam, bibirnya tak henti merapalkan doa untuk keselamatan Seira.

Sementara, di dalam sana. Seira merasakan jantungnya berdetak kencang. Tangannya terasa dingin dan berkeringat, ia ketakutan. Takut sekali kalau boleh jujur.

Ia menatap langit-langit ruangan putih itu lamat-lamat, berucap di dalam hatinya, Gue harus bangun lagi.

Itulah hal terakhir yang ia ingat sebelum cairan bius memasuki aliran darahnya dan membuatnya mengantuk. Kemudian ia memejamkan matanya dalam tidur panjang yang menenangkan.

HER  √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang