34

101 16 13
                                    

Sepulang sekolah hari ini, Angga memacu sepeda motornya cepat menuju taman. Ia harus menemui Lala, gadis yang telah diabaikannya selama beberapa bulan kemarin. Ia ingin menjelaskan semuanya—semuanya tentang kemarin.

Angga berlari ke arah bangku yang kini kosong itu, berdiri mematung di depannya. Dadanya yang tadi naik turun akibat napas yang tidak teratur, perlahan mulai stabil. Satu hal yang didapatnya sore itu—

—tidak ada Lala yang menunggunya.

Ia meraih ponselnya yang bergetar di saku seragamnya, tanpa melihat nama yang tertera di layar ponselnya, ia mendekatkan ponselnya ke telinganya. "Gue terlambat."

Netranya tetap fokus memandang kosong bangku itu, helaan napas kecewa dari ujung panggilan membuat Angga kembali terseret ke alam sadarnya—Lala benar-benar pergi.

Itu kenyataan pahit bagi Angga.

"Gue bener-bener kehilangan dia kali ini." Ucap Angga menyesal.

Alfian menelan salivanya susah payah, ikut merasakan penyesalan yang kini menghantui Angga. Lala—gadis itu benar-benar pergi. Satu jam yang lalu, Alfian menelepon Angga untuk segera menemui Lala sebelum ia pergi, tapi Angga terlambat. Lala memilih kota Bandung untuk pelariannya, meninggalkan Angga dan kenangannya.

Angga terlambat, ia tak bisa pergi begitu saja saat brankar Seira diperbolehkan pindah ke ruang inap, ia menemani Seira seharian. Mengabaikan semua panggilan dan pesan dari Lala maupun Alfian.

Kali ini, Angga kembali menjadi pengecut seperti dulu karena tidak bisa melakukan apapun. Tidak bisa melakukan apapun untuk membuat Lala kembali, sekalipun ia masih ingin terus bersama Lala. Kapanpun.

***

Seira mengerjapkan matanya berulang kali, mencoba menggerakkan tangannya. Ana segera berlari menuju brankar Seira, Lania yang sedang menyibak tirai ruangan Seira juga ikut berlari mendekat.

Seira menyipit melihat kedua wanita dihadapannya, setelahnya ia tersenyum. Ana nyaris meneteskan airmatanya melihat Seira sadar setelah operasi ketiganya.

"Syukurlah, kamu sadar sayang." Ana menangis bahagia seraya mengelus rambut Seira sayang.

Lania juga memandang penuh syukur Seira yang kini telah membuka mata sepenuhnya. Lania segera memanggil dokter, memberi tahu kabar bahagia ini.

"Kesehatannya membaik, diharapkan keluarga bisa membantu pasien untuk melatih alat geraknya agar normal kembali. Agar Seira bisa cepat pulih dan kembali ke rumah. Mungkin terapi seperti, menulis dan berjalan. Karena pasien sudah terlalu lama terbaring, ia akan kesulitan mengendalikan alat geraknya." Dokter itu tersenyum ramah.

"Alat bantu pernapasan akan kami cabut segera, dan Seira.. selamat kamu berhasil sembuh." Dokter itu menepuk lembut lengan Seira.

Setelah kepergian dokter, beberapa perawat masuk ke ruangan untuk melepas semua alat-alat medis Seira, kecuali inpus. Ia bisa menghirup udara segar sekarang. Kondisinya belum terlalu pulih, dokter menyarankan untuk tetap tinggal beberapa hari sampai Seira bisa bergerak sempurna.

Siang ini, Lania melatih Seira menulis. Seira sudah bisa duduk di atas kasurnya, walaupun sebelumnya mengeluh nyeri di bagian perutnya. Ana sedang keluar, entah kemana Seira tidak tahu. Lupa bertanya atau memang sedang semangat kembali belajar menulis. Awalnya jemarinya sulit digerakkan, untuk menggenggam saja rasanya sulit. Namun, sekarang ia bisa berhasil menulis walaupun hurufnya berantakan dan terlihat seperti—tulisan anak kecil yang baru belajar menulis.

HER  √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang