30

83 9 3
                                    

"Kamu kenapa ga ikut rapat osis tadi?"

Raka hanya melirik sekilas gadis yang berdiri di sebelahnya.

"Lagi ga mood aja,"

Gadis itu ikut duduk di sampingnya, "Bahas apaan tadi?"

"Turnament basket," jawabnya.

Raka mengangguk,

"Seira sakit lagi ya? dia absen hari ini."

Sejenak Raka terdiam lalu merubah posisi duduknya sedikit menghadap ke arah gadis itu.

"Seira absen? yang bener?" Raka mengernyit bingung, padahal semalam keadaan Seira masih baik-baik saja.

Gadis itu mengangguk cepat.

"Gue kurang tau sih, ntar pulang sekolah gue cek ke rumahnya deh."

Lebih kurang dua menit mereka diam, sibuk menyaksikan anak basket yang mulai aktif kembali latihan untuk persiapan turnamen.
Raka menyunggingkan senyum tanpa sadar saat dilihatnya Alfian mencetak angka beberapa kali, hingga akhirnya ia sadar—tidak ada Angga disana. Ia bahkan teringat tentang Angga yang mabuk-mabukan semalam. Alfian belum menjawab pertanyaannya tadi malam.

Raka menoleh menatap gadis di sebelahnya yang juga sedang memerhatikan permainan basket.

"Ng—lo ada hubungan apa sama kak Angga?" tanya Raka ragu.

Gadis di sebelahnya tampak terkejut, dahinya berkerut cukup lama.

"Kak Angga, senior kita kelas 12 Ipa 1. Gue yakin lo tau maksud gue." Jelas Raka jengah.

Gadis itu menelan salivanya susah payah, "Aku—aku cuma temenan."

Raka terlihat tak puas sama sekali dengan jawaban gadis itu, ia meneliti mata gadis itu tajam.

"Lo tau ga? semalam kak Angga pulang mabuk-mabukan."

"Ha?" mata gadis itu membulat kaget.

"Lo ada hubungannya sama kejadian itu? cerita aja lagi sama gue. Nyantai." Bujuk Raka saking penasarannya.

Jemari gadis itu bertaut, terlihat gelisah dan khawatir. Ia menarik napas dalam lalu menatap lurus Raka.

"Aku pertama kali ketemu kak Angga waktu aku masih pakai baju merah putih, dia masih pakai seragam putih biru. Pas saat itu aku kelas enam sekolah dasar dan kak Angga kelas delapan."

Raka membenarkan posisi duduknya, fokus mendengar penuturan gadis bernama Lala itu.

"Kelas enam sekolah dasar, aku bener-bener stres karena sekolah dan masalah keluarga. Hari itu, sebelum matahari terbenam aku berdiri di tepi danau taman kota, masih dibalut seragam karena aku emang belum pulang ke rumah sore itu. Dan yang ada dipikiran aku cuma satu—pengen kabur atau bunuh diri sekalian."

"Tapi saat aku belum mutusin jalan mana yang harus aku pilih—dia datang—cowok bernama Angga itu datang. Nyeret aku jauh dari pinggir danau tiba-tiba. Aku pengen banget marah waktu itu, tapi ngeliat dia penuh luka—aku malah ngebungkam mulut saking kagetnya."

"Kaget karena lo takut di apa-apain atau.."

"Kaget karena aku takut. Aku ga bisa liat orang luka,  aku punya kenangan buruk sama luka dan ada ketakutan tersendiri kalau liat orang luka-luka dan berdarah." Lala menyambar pertanyaan Raka.

"Tentang keluarga lo?" tanya Raka hati-hati.

Lala mengangguk pelan, wajahnya mulai menyendu.

"Aku ketakutan, sedangkan dia ketawa dengan wajah penuh lukanya. Dia ngajak aku buat duduk di salah satu bangku pinggir taman itu—tempat yang selalu kami kunjungin setelah kejadian itu. Aku ngobatin luka dia disana, dan aku kaget waktu dia cerita tentang darimana asal semua luka di tubuhnya. Sebelum aku dengar penjelasannya, aku pikir dia cowok bandel—aku benci cowok bandel yang suka kelahi." Ungkap Lala sedikit menarik senyum.

HER  √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang