31

79 13 2
                                    

"Udah stop Ga! Biarin mereka pergi." Teriak Alfian sambil melepaskan cengkraman tangan Angga dari salah satu berandal yang tadi mencoba memerkosa Lala.

Namun, Angga tak bisa diam. Ia terus saja memukul, menendang, meninju orang tersebut dengan penuh dendam. Alfian yang kepayahan sedari tadi akhirnya menarik paksa tubuh Angga menjauh dari lelaki yang nyaris tak bernyawa itu. Sekuat tenaga ditahannya tubuh Angga lalu berteriak menyuruh pergi lelaki yang kini terduduk ketakutan.

Angga masih mencoba mengejarnya tapi Alfian dengan sigap memeluk tubuh Angga dari belakang, hingga lelaki itu benar-benar menghilang di telan kegelapan diujung jalan sana, barulah Alfian mau melepaskan tubuh ringkih Angga. Emosinya yang mulai mereda membuat tubuhnya terhuyung jatuh bertemu permukaan aspal yang basah malam itu, ia menolehkan kepala, melihat samar gadis yang meringkuk di tepi jalan sana.

Dengan sisa tenaga yang ada, Angga bangkit, berjalan tertatih-tatih menuju ke arah gadis itu. Tubuhnya ambruk tepat di depan gadis yang kini memeluk lututnya takut. Angga mencengkram kuat kedua bahu Lala, lalu dibawanya kedalam rengkuhannya dengan erat.

"Kamu ga papa kan?" tanya Angga getir seraya mengusap pipi serta kening Lala, merapikan rambut Lala yang telah basah dijatuhi hujan.

Lala diam saja, melihat tanpa fokus wajah Angga yang penuh luka dan lebam di beberapa area. Lala menggigil kedinginan, lengan bajunya sobek dan ada darah di sudut bibirnya, akibat ia menolak saat lelaki mabuk tadi ingin memerkosanya.

Angga mengusap darah disudut bibir Lala dengan wajah menyesal, berani-beraninya lelaki itu melukai gadisnya. Karena itu juga Angga hilang kendali dan hampir saja membunuh lelaki sialan itu.

Lala menyentuh pipi Angga hati-hati, menyeka darah yang mengalir dari pelipisnya.

"Jangan terluka lagi, aku mohon."

Gadis itu menatap lekat kedua mata sendu itu, tangannya tak lagi bergerak untuk menyentuh luka-luka kecil disekitar wajah Angga.

Angga menarik tangan Lala yang masih bertengger di wajahnya, membawanya ke dalam genggamannya. Lala menunduk, bahunya berguncang.

Dulu, di tempat yang sama. Dia datang dengan wajah penuh luka, dari sudut bibirnya mengalir darah segar, begitu juga dengan pelipisnya. Ia berjalan tertatih dan terbatuk-batuk. Aku menolongnya di tengah hujan, di tengah dinginnya malam itu, dia berbisik. Mengatakan betapa hangatnya pelukanku.

***

Dimata ini, segalanya ingin terpenjara, segalanya ingin lenyap dan berlalu.
Tak ada mata yang mampu membaca bising dalam heningku.


Seira menenggelamkan wajahnya dikedua lututnya dan mulai menangis sejadinya. Bahunya bergetar menahan isakan tangisnya yang tak kunjung mereda sejak Raka menceritakan hal-yang sebenarnya ia benci mengetahuinya-Seira tak percaya semua ini. Ia terus saja menangis semalaman sampai airmata membawanya ke alam mimpi. Di tengah malam, ia kembali terbangun paksa seperti malam-malam kemarin. Ia terbangun dengan rasa yang campur aduk, berdiri lalu melangkah ke meja riasnya. Matanya bengkak dan ada lingkaran hitam disana, ia menunduk dalam. Seira meraih ponselnya, mengecek beberapa pesan atau panggilan tak terjawab dari Raya tapi setelahnya ia hanya mengabaikannya. Seira beranjak, berjalan keluar kamar menuju dapur, ia butuh minum.

Tak ada Angga lagi disana, Seira mencelos. Dibawanya segelas air mineral itu kembali ke kamarnya, melangkahkan kaki dengan gontai di anak-anak tangga dengan penerangan secukupnya. Pandangannya kosong, tak ada aura yang bersarang disana. Banyak pertanyaan yang ingin sekali ia temukan jawabannya, Apa benar aku bukan bagian dari keluarga ini? Apa benar tante Ana adalah ibu kandungku? Apa benar Raka itu kakakku?

HER  √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang